Beberapa waktu belakangan ini, berita tentang pembukaan tambang di Sangihe, pulau di utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina ini, semakin mencuri perhatian mata kita. Apalagi setelah BBC News Indonesia mengunggah salah satu video singkat yang menceritakan realitas yang miris ini.
Saya bukanlah seorang ahli pertambangan atau pun geologi. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengantar anda untuk melihat dari logika sederhana dan "suara sumbang" seorang rakyat Sangihe yang akan diuraikan di bawah.
1. Luas Tambang Melebihi Luas Habitat Makhluk Hidup
Dalam unggahannya, BBC News menyebut tambang yang diberi ijin oleh pemerintah ini melebihi setengah dari luas pulau Sangihe. This is ridicuolous! Sangihe bukanlah suatu pulau seluas jawa, bahkan jika anda pernah berkunjung ke Sangihe, anda akan menjumpai bahwa ada begitu banyak masyarakat yang hidup jauh dari berbagai fasilitas dunia modern, mereka tinggal di daerah-daerah yang dapat dikategorikan pedalaman, meski karena pulau ini kecil, maka pedalaman tidak dapat disamakan dengan pulau besar lainnya.
Mari kita melihat fakta ini secara komparatif. PT Freeport, salah satu pertambangan emas terbesar di dunia ini, memiliki luas sekitar 212.950 hektare yang bahkan tidak mencapai sepuluh persen dari luas Papua yang mencapai 312,224 kilometer persegi. Namun, anda bisa melihat dengan jelas bagaimana kerusakan alam yang diakibatkan oleh PT Freeport ini. Dari hilangnya perlahan-lahan salju abadi di atas puncak Cartenz, dan berbagai kerusakan lainnya. Freeport yang sebetulnya didirikan tidak begitu dekat dari pemukiman warga pun bisa menghasilkan dampak yang begitu buruk bagi lingkungan. Ya, sekalipun ada begitu banyak bantuan dana dan beasiswa yang diberikan Freeport, toh, rusaknya lingkungan tidak bisa dipulihkan. Dan sampai sekarang, masyarakat Papua masih banyak yang terjajah di tanah mereka sendiri.
Tentu kita tidak bisa serta-merta menyamakan Freeport dengan Tambang Mas Sangihe. Namun, setidaknya kita bisa melihat adanya kemungkinan dan "glimpse" yang bisa merenggut masa depan daerah tercinta, kepulauan Sangihe, bahkan bisa lebih buruk, mengingat wilayah Sangihe lebih kecil dan TMS akan memakan lebih dari setengah luas wilayah.Â
Selain itu, salah satu alasan yang disebutkan sebagai pendorong keluarnya izin Tambang Mas Sangihe adalah dugaan mengenai adanya aktivitas penambangan liar. Saya kira isu utama di sini bukan masalah ada atau tidaknya tambang, melainkan kerusakan lingkungan yang akan menciptakan sengsara bagi rakyat. Kemudian, apakah dengan melegalkan pelanggaran adalah cara mengatasi pelanggaran? Tentu tidak! Kalau memang ada penambangan liar, ya itu seharusnya menjadi concern pemerintah untuk diberantas, bukan malah dilegalkan atau membangun tambang yang legal. Sungguh Irasional!
Dari premis pertama ini, saya kira jika izin yang diberikan pemerintah ini dilakukan secara sadar, maka mugkin saja ada metanarasi di balik narasi pemberian izin ini. Bisa jadi, ada rencana memindahkan penduduk Sangihe dari rumah mereka ke tempat lain yang nantinya akan menjadi lebih layak huni ketimbang pulau Sangihe yang sudah tercemar dan rusak habitatnya. Ya, apapun itu, tentu jika pemeritnah melegalkan izin operasi TMS, sudah sepatutnya atau memang sudah dipikirkan bahwa cepat atau lambat, pulau ini akan rusak dan menjadi tidak layak huni.
2. Tujuan yang Tidak Bersifat "People Oriented"
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran pertambangan emas dapat mendorong gerak ekonomi bangsa atau masyarakat sekitar. Namun, apakah faktor ekonomi menjadi dasar utama segala keputusan? Sebagai seorang teolog Kristen yang berkutat dengan masalah teks dan masalah kehidupan jemaat, salah satu kegagalan umat, bahkan gereja adalah menjadikan uang sebagai orientasi mereka. Padahal, ada banyak faktor lain yang mendorong tertatanya sebuah kehidupan. Saya kira, hal tersebut berlaku juga dalam konteks kehidupan masyarakat Sangihe, di mana faktor sosial dan budaya pun turut merumuskan tatanan kehidupan.
Jika pada bagian pertama di atas saya mencoba memposisikan diri sebagai orang luar, maka pada bagian ini saya akan menguraikan dari persepktif seorang masyarakat Sangihe.Â
Jika anda pernah berkunjung atau pernah hidup membaur dengan masyarakat Sangihe, saya jamin anda akan mengerti apa itu kehidupan komunal di tengah kehidupan dunia yang kian individualis ini. Kami, masyarakat Sangihe (orang sanger) tidak pernah melihat hidup kami untuk diri sendiri. Hal ini akan tercermin dari tradisi hidup. Masyarakat Sangihe mengisi kehidupanya sehari-hari bukan dengan mengejar kekayaan atau mengejar ambisi (tentu tetap ada pribadi-pribadi yang mengejar kekayaan atau ambisi, namun tidak dapat dijadikan budaya yang general), melainkan dengan berbagi bersama. Jika ada acara di suatu keluarga, maka keluarga tersebut tidak hanya membagikan makanan kepada orang-orang yang datang, namun juga akan memberikan makanan kepada para tetangga dan orang-orang yang dikenal untuk dibawa pulang.Â
Salah satu teman isteri saya dari Yayasan Pelita Harapan, memberikan kesaksian kepada saya bahwa ketika berkunjung ke Sangihe dalam rangka mendirikan Sekolah Lentera Harapan, mereka diperkenalkan dengan sebutan "gantung belanga" alias tidak masak, dan ini hampir setiap hari terjadi, karena guru-guru SLH selalu mendapat undangan makan dan kiriman makanan. Ya, this is Sangihe. Tidak heran orang Sanger sering berkata, "hanya orang gila yang bisa kelaparan di Sangihe" saking komunalnya kehidupan masyarakat Sangihe. Dan kehidupan sosial-budaya ini ternyata menyentuh orang lain, bukan hanya internal, tetapi juga mereka yang pernah bersentuhan dengan masyarakat Sangihe.
Dari cerita singkat yang menggambarkan sosial dan budaya masyarakat Sangihe di atas, maka dapat kita lihat bahwa masyarakat Sangihe, sekalipun tidak sekaya kaum sosialita Ibu Kota, namun tidak ada kelaparan di sana. Kehidupan yang sangat komunal membuat masyarakat ini hidup untuk sesama mereka dan saling mendorong kehidupan bersama. Selain itu, ketercukupan bersama tidak lepas dari peran alam sebagai penyedia. Alam adalah sumber penghidupan masyarakat Sangihe. Dan jika alam ini rusak, tentu kehidupan sosial dan budaya komunal yang begitu indah terjalin selama puluhan bahkan ratusan tahun ini akan menemui akhir yang ironis dan tragis. Oleh sebab itu, dengan jelas bisa kita lihat bahwa ide maupun izin Tambang Mas Sangihe lebih berorientasi kepada faktor ekonomi dan mungkin ego pemerintah ketimbang masyarakat Sangihe itu sendiri.
KESIMPULAN
Pengabaian melihat komparasi wilayah, dampak lingkungan, serta konteks sosial dan budaya masyarakat menunjukkan miskinnya kepeduliaan pemerintah terhadap masyarakat Sangihe. Sungguh ironis, alih-alih memajukan ekonomi masyarakat, ide dan izin pembukaan tambang ini justru merusak tatanan alam dan sosial yang sudah terjalin dengan baik dan tentu menghancurkan masyarakat. Berhentilah melihat, bahkan mendefinisikan suatu masyarakat atau individu dari lensa rusak yang condong individualis dan seringkali bernuansa materialis. Jika anda mengira faktor ekonomi adalah jawaban dengan mengorbankan lingkungan dan jalinan kehidupan yang tertata indah dan harmonis ini, saya kira anda perlu berefleksi kembali dan melihat kami, masyarakat Sangihe bukan sebagai objek. Tanah kami pun bukan objek eksploitasi. Kami adalah subjek dan tanah kami adalah rumah. Tanah kami adalah tangan Sang Pencipta yang merengkuh setiap insan. Oleh karena itu, bagi kami, emas yang sesungguhnya adalah pulau ini, rumah ini, dan semua orang yang mendudukinya, dan bukan apa yang ada di bawah tanah kami. Jadi, Stop Tambang Mas Sangihe, Selamatkan Sangihe dari eksploitasi. #Savesangihe - stop being ridiculous!
Catatan: Masih ada klausa dan argumentasi lain yang memperkuat penolakan terhadap tambang mas Sangihe ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H