Jika pada bagian pertama di atas saya mencoba memposisikan diri sebagai orang luar, maka pada bagian ini saya akan menguraikan dari persepktif seorang masyarakat Sangihe.Â
Jika anda pernah berkunjung atau pernah hidup membaur dengan masyarakat Sangihe, saya jamin anda akan mengerti apa itu kehidupan komunal di tengah kehidupan dunia yang kian individualis ini. Kami, masyarakat Sangihe (orang sanger) tidak pernah melihat hidup kami untuk diri sendiri. Hal ini akan tercermin dari tradisi hidup. Masyarakat Sangihe mengisi kehidupanya sehari-hari bukan dengan mengejar kekayaan atau mengejar ambisi (tentu tetap ada pribadi-pribadi yang mengejar kekayaan atau ambisi, namun tidak dapat dijadikan budaya yang general), melainkan dengan berbagi bersama. Jika ada acara di suatu keluarga, maka keluarga tersebut tidak hanya membagikan makanan kepada orang-orang yang datang, namun juga akan memberikan makanan kepada para tetangga dan orang-orang yang dikenal untuk dibawa pulang.Â
Salah satu teman isteri saya dari Yayasan Pelita Harapan, memberikan kesaksian kepada saya bahwa ketika berkunjung ke Sangihe dalam rangka mendirikan Sekolah Lentera Harapan, mereka diperkenalkan dengan sebutan "gantung belanga" alias tidak masak, dan ini hampir setiap hari terjadi, karena guru-guru SLH selalu mendapat undangan makan dan kiriman makanan. Ya, this is Sangihe. Tidak heran orang Sanger sering berkata, "hanya orang gila yang bisa kelaparan di Sangihe" saking komunalnya kehidupan masyarakat Sangihe. Dan kehidupan sosial-budaya ini ternyata menyentuh orang lain, bukan hanya internal, tetapi juga mereka yang pernah bersentuhan dengan masyarakat Sangihe.
Dari cerita singkat yang menggambarkan sosial dan budaya masyarakat Sangihe di atas, maka dapat kita lihat bahwa masyarakat Sangihe, sekalipun tidak sekaya kaum sosialita Ibu Kota, namun tidak ada kelaparan di sana. Kehidupan yang sangat komunal membuat masyarakat ini hidup untuk sesama mereka dan saling mendorong kehidupan bersama. Selain itu, ketercukupan bersama tidak lepas dari peran alam sebagai penyedia. Alam adalah sumber penghidupan masyarakat Sangihe. Dan jika alam ini rusak, tentu kehidupan sosial dan budaya komunal yang begitu indah terjalin selama puluhan bahkan ratusan tahun ini akan menemui akhir yang ironis dan tragis. Oleh sebab itu, dengan jelas bisa kita lihat bahwa ide maupun izin Tambang Mas Sangihe lebih berorientasi kepada faktor ekonomi dan mungkin ego pemerintah ketimbang masyarakat Sangihe itu sendiri.
KESIMPULAN
Pengabaian melihat komparasi wilayah, dampak lingkungan, serta konteks sosial dan budaya masyarakat menunjukkan miskinnya kepeduliaan pemerintah terhadap masyarakat Sangihe. Sungguh ironis, alih-alih memajukan ekonomi masyarakat, ide dan izin pembukaan tambang ini justru merusak tatanan alam dan sosial yang sudah terjalin dengan baik dan tentu menghancurkan masyarakat. Berhentilah melihat, bahkan mendefinisikan suatu masyarakat atau individu dari lensa rusak yang condong individualis dan seringkali bernuansa materialis. Jika anda mengira faktor ekonomi adalah jawaban dengan mengorbankan lingkungan dan jalinan kehidupan yang tertata indah dan harmonis ini, saya kira anda perlu berefleksi kembali dan melihat kami, masyarakat Sangihe bukan sebagai objek. Tanah kami pun bukan objek eksploitasi. Kami adalah subjek dan tanah kami adalah rumah. Tanah kami adalah tangan Sang Pencipta yang merengkuh setiap insan. Oleh karena itu, bagi kami, emas yang sesungguhnya adalah pulau ini, rumah ini, dan semua orang yang mendudukinya, dan bukan apa yang ada di bawah tanah kami. Jadi, Stop Tambang Mas Sangihe, Selamatkan Sangihe dari eksploitasi. #Savesangihe - stop being ridiculous!
Catatan: Masih ada klausa dan argumentasi lain yang memperkuat penolakan terhadap tambang mas Sangihe ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H