Mohon tunggu...
Finki Rianto Kantohe
Finki Rianto Kantohe Mohon Tunggu... Guru - Guru PAK di Sekolah Pelangi Kasih; Dosen Perjanjian Baru di STTHBI dan Reformasi Liturgi School of Theology

An Ordinary Dreamer IG @finkikantohe

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tambang Emas Sangihe: Irasionalitas dan Miskin Kepedulian Pemerintah

11 Juni 2021   11:15 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:30 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu belakangan ini, berita tentang pembukaan tambang di Sangihe, pulau di utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina ini, semakin mencuri perhatian mata kita. Apalagi setelah BBC News Indonesia mengunggah salah satu video singkat yang menceritakan realitas yang miris ini.

Saya bukanlah seorang ahli pertambangan atau pun geologi. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengantar anda untuk melihat dari logika sederhana dan "suara sumbang" seorang rakyat Sangihe yang akan diuraikan di bawah.

1. Luas Tambang Melebihi Luas Habitat Makhluk Hidup

Dalam unggahannya, BBC News menyebut tambang yang diberi ijin oleh pemerintah ini melebihi setengah dari luas pulau Sangihe. This is ridicuolous! Sangihe bukanlah suatu pulau seluas jawa, bahkan jika anda pernah berkunjung ke Sangihe, anda akan menjumpai bahwa ada begitu banyak masyarakat yang hidup jauh dari berbagai fasilitas dunia modern, mereka tinggal di daerah-daerah yang dapat dikategorikan pedalaman, meski karena pulau ini kecil, maka pedalaman tidak dapat disamakan dengan pulau besar lainnya.

Mari kita melihat fakta ini secara komparatif. PT Freeport, salah satu pertambangan emas terbesar di dunia ini, memiliki luas sekitar 212.950 hektare yang bahkan tidak mencapai sepuluh persen dari luas Papua yang mencapai 312,224 kilometer persegi. Namun, anda bisa melihat dengan jelas bagaimana kerusakan alam yang diakibatkan oleh PT Freeport ini. Dari hilangnya perlahan-lahan salju abadi di atas puncak Cartenz, dan berbagai kerusakan lainnya. Freeport yang sebetulnya didirikan tidak begitu dekat dari pemukiman warga pun bisa menghasilkan dampak yang begitu buruk bagi lingkungan. Ya, sekalipun ada begitu banyak bantuan dana dan beasiswa yang diberikan Freeport, toh, rusaknya lingkungan tidak bisa dipulihkan. Dan sampai sekarang, masyarakat Papua masih banyak yang terjajah di tanah mereka sendiri.

Tentu kita tidak bisa serta-merta menyamakan Freeport dengan Tambang Mas Sangihe. Namun, setidaknya kita bisa melihat adanya kemungkinan dan "glimpse" yang bisa merenggut masa depan daerah tercinta, kepulauan Sangihe, bahkan bisa lebih buruk, mengingat wilayah Sangihe lebih kecil dan TMS akan memakan lebih dari setengah luas wilayah. 

Selain itu, salah satu alasan yang disebutkan sebagai pendorong keluarnya izin Tambang Mas Sangihe adalah dugaan mengenai adanya aktivitas penambangan liar. Saya kira isu utama di sini bukan masalah ada atau tidaknya tambang, melainkan kerusakan lingkungan yang akan menciptakan sengsara bagi rakyat. Kemudian, apakah dengan melegalkan pelanggaran adalah cara mengatasi pelanggaran? Tentu tidak! Kalau memang ada penambangan liar, ya itu seharusnya menjadi concern pemerintah untuk diberantas, bukan malah dilegalkan atau membangun tambang yang legal. Sungguh Irasional!

Dari premis pertama ini, saya kira jika izin yang diberikan pemerintah ini dilakukan secara sadar, maka mugkin saja ada metanarasi di balik narasi pemberian izin ini. Bisa jadi, ada rencana memindahkan penduduk Sangihe dari rumah mereka ke tempat lain yang nantinya akan menjadi lebih layak huni ketimbang pulau Sangihe yang sudah tercemar dan rusak habitatnya. Ya, apapun itu, tentu jika pemeritnah melegalkan izin operasi TMS, sudah sepatutnya atau memang sudah dipikirkan bahwa cepat atau lambat, pulau ini akan rusak dan menjadi tidak layak huni.

2. Tujuan yang Tidak Bersifat "People Oriented"

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran pertambangan emas dapat mendorong gerak ekonomi bangsa atau masyarakat sekitar. Namun, apakah faktor ekonomi menjadi dasar utama segala keputusan? Sebagai seorang teolog Kristen yang berkutat dengan masalah teks dan masalah kehidupan jemaat, salah satu kegagalan umat, bahkan gereja adalah menjadikan uang sebagai orientasi mereka. Padahal, ada banyak faktor lain yang mendorong tertatanya sebuah kehidupan. Saya kira, hal tersebut berlaku juga dalam konteks kehidupan masyarakat Sangihe, di mana faktor sosial dan budaya pun turut merumuskan tatanan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun