Mohon tunggu...
finka afrilianti
finka afrilianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 di Universitas Nasional

Mahasiswa S1 di Universitas Nasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polarisasi dan Identitas Politik Mengancam Demokrasi: Cara Mencegah Supaya Tidak Terpancing Menjadi Bagian Dari Polarisasi Politik

12 Mei 2022   00:16 Diperbarui: 12 Mei 2022   00:18 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sedangkan di pihak Anies Baswedan-Sandiaga Uno seolah memberi kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang amat pro pada kalangan islam sehingga sangat nampak jelas pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 merupakan kontes demokrasi yang paling brutal dan terpecahnya dua kubu ini didukung oleh media sosial yang mana pada zaman sekarang media sosial merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia hal ini selaras dengan yang diucapkan oleh pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali. 

Akibat isu SARA yang sangat kental pada pemilihan gubernur ini juga semakin terlihat jelas saat ada penolakan dari sejumlah kelompok  pengurus jenazah yang tidak mau mengurus dan menshalatkan jenazah yang memilih Ahok pada putaran pertama yaitu pada tanggal 15 Februari 2017.

Selain itu polarisasi politik identitas juga bisa kita lihat ketika pemilu 2019 yang mana pada saat pemilu marak sekali panggilan antara kedua kubu yaitu antara kubu Joko Widodo dengan kubu Prabowo Subianto. Pada saat pemilu 2019 kita familiar dengan panggilan cebong yang ditujukan untuk pendukung Joko Widodo dan panggilan kampret untuk pendukung Prabowo Subianto. 

Panggilan antara cebong dengan kampret ini bermula sejak tahun 2015. Maraknya panggilan untuk kedua kubu didukung oleh masifnya sosial media. Sama seperti waktu pilgub 2017 media sosial turut menjadi alat utama yang digunakan untuk menyebarkan politik identitas dan dengan pola yang sama juga isu yang diangkat adalah isu SARA. 

Panggilan cebong dan kampret bermula pada pemilu 2014 yang mana kandidatnya sama yaitu Joko Widodo dengan Prabowo Subianto selain itu sempat terdengar kabar hoax bahwa Joko Widodo merupakan keturunan Tionghoa sehingga memperparah politik identitas yang menyebabkan polarisasi politik identitas. 

Selain istilah kubu kampret dan cebong, terdapat istilah kadrun dan BuzzerRp yang mana istilah kadrun merujuk pada orang yang anti dengan Joko Widodo dan BuzzerRp merujuk pada pendengung yang biasanya adalah berasal dari kalangan aktivis. Dengan maraknya trend panggilan-panggilan mengisyaratkan adanya pengelompokkan-pengelompokkan atau antara ''Kita dengan Mereka". 

Oleh karenanya panggilan-panggilan yang nyeleneh ini menarik perhatian lembaga survey untuk meneliti terkait panggilan-panggilan antara cebong, kampret, kadrun, dan BuzerRp. Menurut Ismail Fahmi selaku founder Drone Emprit and Media Kernels Indonesia yang dikutip oleh merdeka.com bahwa total untuk setiap panggilan: cebong 4,67 juta, kadrun 4,33 juta, kampret 3,94 juta, buzzeRp 943 ribu, buzzerRp 352 ribu. Dan terjadi peningkatan panggilan cebong dengan kampret yaitu pada bulan April 2019 atau tepatnya pada saat pemilu berlangsung.

Melihat adanya fenomena polarisasi politik identitas di Indonesia tepatnya pada pesta demokrasi pemilihan pimpinan hendaknya kita sebabagi warga negara harus fokus pada visi misi yang mereka bawa sebagai calon pemimpin negara bukan fokus pada identitas SARA dari masing-masing kandidat. Apalagi di era internet yang semakin gencar yang mana berita hoax akan dengan mudah menyebar. 

Sehingga ada baiknya kita harus melakukan cek validasi darimana asal informasi itu berasal dan carilah sumber informasi sebanyak mungkin yang valid karena beda media maka akan beda sudut pandang yang menyoroti suatu permasalahan. Karena media massa akan melakukan framing. 

Framing merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi yang dicetuskan oleh  Murray Edelman, Robert N. Etman, William A. Gamson, serta Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Framing adalag penonjolan atau pembingkaian suatu sudut pandang dalam berita dengan cara menonjolkan fakta lainnya atau bisa saja mengabaikan fakta lainnya padalhal fakta lainnya ini merupakan pokok dari suatu permasalahan. 

Tujuan media massa melakukan framing adalah memengaruhi pembaca berita ataupun audiens agar bisa merubah perilaku dari audiens. Teori framing juga sebenarnya ada hubungan kaitan dengan teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun