Mohon tunggu...
Fini Rayi
Fini Rayi Mohon Tunggu... Editor -

Love: Travelling, Teaching, Sosial Movement

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mendaki Bersama Tuna Netra, Seru!

19 November 2015   22:07 Diperbarui: 20 November 2015   15:38 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Sebuah ajakan yang tidak biasa dilayangkan oleh sahabat saya pada Februari 2015. Ajakan ini seolah mengantarkan saya pada sebuah impian: jalan-jalan bermanfaat. Karena itu memang impian saya, ikut menjadi kata wajib. Saya bertekad ikut maka diajaklah sedgala macam teman-teman dengan berbagai cara. Alhamdulillah, banyak teman yang tertarik lantas mau ikut. Alasan ketertarikkan mereka sama seperti saya: ingin jalan-jalan bermanfaat.

Seperti apa jalan-jalan bermanfaat itu? Jalan-jalan yang tidak sekadar senang-senang, tetapi juga memberi manfaat. Nah, ajakan teman saya itu masuk kategori jalan-jalan bermanfaat. Bagaimana tidak? Jalan-jalan ini merupakan pendakian bersama tuna netra. Ya, kami akan mendaki Gunung Papandayan bersama tuna netra.

Pertengahan bulan April 2015, panitia mengadakan briefing. Sahabat yang mengajak saya termasuk panitia di dalamnya. Mereka tergabung dalam komunitas Fency (info lebih lanjut silakan kunjungi di Facebook komunitas ini). Saat briefing itu, kami dibagi menjadi beberapa kelompok karena banyak yang ikut. Di kelompok saya, ada 4 tuna netra dan 10 relawan pendamping. Relawan pendamping terbagi menjadi dua: pendamping tuna netra dan pembawa barang. Saat briefing ini, diinfokan bahwa setiap tuna netra wajib membawa tongkatnya. Untuk para relawan, kami diberitahui tentang cara menuntun yang benar. Sungguh, pengetahuan yang baru untuk saya dan itu sangat menarik.

Selepas briefing, saya pulang bersama salah satu tuna netra dalam kelompok saya, Dani namanya. Perempuan lulusan Unpad ini sedang menggarap Undang-Undang untuk difabel. Oh ya, Dani masih bisa melihat sedikit-sedikit. Buram, katanya. Penglihatannya mulai buram sejak sekolah dasar.

***

Kamis, 30 April 2015 menjelang tengah malam, dua bus melaju menuju Garut. Jalanan Jakarta sangat padat. Begitu juga dengan jalan tol. Maklum, long weekend saat itu. Baru menjelang Subuh, bus sampai di Sumedang.

Sesampainya di Sumedang, bus berhenti untuk para penumpangnya sholat atau sekadar ke kamar kecil. Sambil menapakkan kaki menuju mesjid, mata menatap kejauhan. Di sana, terdapat sederetan gunung. Kata yang tahu, itu gunung Papandayan, Cikurai, dan Guntur. Tiga gunung yang indah.Perjalanan berlanjut.

Sekitar pkl07.00, kami sampai di Cisurupan untuk berganti angkutan. Sebelum berganti angkutan, kami ganti pakaian dengan kaus seragam. Mungkin agar lebih mudah mengenali sesama rombongan. Selain itu, kami juga membeli kebutuhan yang belum lengkap di Cisurupan, seperti air mineral dan kebutuhan logistik yang kurang.

Buat ke Camp David, kami harus naik mobil pick up. Jalanan berkelok dan mendaki menjadi sensasi tersendiri. Kami terkadang terdiam, tertawa, tercengang, dan sedikit berteriak dalam menghadapi jalan sedemikian rupa. Namun, kami tetap bahagia apalagi pemandangannya indah sekali. Pemandangan ini mengingatkan saya pada Pagar Alam. Buat yang pernah mendaki Gunung Dempo di Sumatera Selatan, mungkin akan tahu Pagar Alam. Jalanan berkelok dengan pemandangn indah.

Sebelum mendaki, kami sarapan dulu dan mengecek setiap anggota kelompok plus barang bawaan di Camp David. Selain itu, kami juga foto bersama. Ternyata, banyak juga rombongan ini. Salut untuk orang-orang yang memiliki jiwa sosial.

Relawan yang membawa barang diminta jalan lebih dahulu karena akan memasang tenda dan mempersiapkan makanan. Sebagian besar yang lainnya mendamping tuna netra. Saat itu, sebenarnya, saya termasuk relawan yang membawa barang. Namun, akhirnya saya ganti posisi menjadi pendamping tuna netra (lebih tepatnya jalan bersama tuna netra, tuna netra sudah didampingi sekitar 2 relawan).

Saat pendakian ini, ternyata ada tuna netra yang justru ikut bersama relawan yang membawa barang karena staminanya yang baik dan tekadnya yang kuat. Salut dengan para tuna netra itu. Beberapa di antara mereka juga ada yang lebih kuat daripada relawannya. Applaus buat mereka. "Keterbatasan" ternyata tidak menghalangi tekad mereka. Ah, jadi ingat kata-kata seorang konsultan pendidikan, "Para difabel hanya ditutup satu kemampuannya, namun sebenarnya kemampuan lainnya dibuka."

Selain pengalaman itu, saya juga merasakan pengalaman lain yang tidak kalah menariknya. Selepas melewati kawah belerang Papandayan, kami melihat pemandangan di gunung yang indah. Saat melihat itu, para relawan membagikannya kepada para tuna netra. Begitu juga saat turun, para relawan membagikan pemandangan yang jauh lebih indah daripada pemandangan mendaki--saat mendaki kabut turun sehingga pemandangan indah hanya sedikit yang dapat dinikmati. Mereka mendeskripsikan pemandangan itu agar para tuna netra dapat menikmatinya juga. Syahdu, rasanya. Berbagi itu indah dan cukup sederhana.

Sesampainya di Pondok Seladah, para relawan juga setia menemani para tuna netra. Jalan yang licin dan becek tidak menjadi penghalang untuk menemani para tuna netra ke sana-sini. Meskipun hanya sebagian kecil rombongan yang sampai puncak karena hujan dan kondisi jalan yang becek, kami tetap bahagia. Masak bersama menjadi momen terseru saat pendakian ini. Kebersamaan terasa hangat, sehangat cokelat panas di antara dinginnya udara pegunungan.

***

Bukan ke mana, tetapi dengan siapa perjalanan itu ditempuh. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun