Mohon tunggu...
Fini Rayi
Fini Rayi Mohon Tunggu... Editor -

Love: Travelling, Teaching, Sosial Movement

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Penolong dari Tepi Musi

8 November 2015   07:10 Diperbarui: 8 November 2015   07:58 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Fini No.60

"Jangan makan anak itu, Tapah!" teriak ikan Baung sambil menghalangi laju ikan Tapah yang semakin ke tepi sungai. Di tepi sungai, terlihat sekelompok anak bermain-main di atas sampan yang terikat di jerambah. Mereka terlihat bahagia karena kali itu pertama kali mereka ikut ke tempat kerja bersama orangtua mereka.

"Kamu ingin membela manusia?" emosi ikan yang besarnya bisa seukuran orang dewasa itu mulai meningkat.

"Aku tahu kamu marah, tapi tidak dengan cara seperti ini membalasnya," ikan Baung masih berusaha menghalangi meskipun dia tahu akan terluka jika ikan Tapah sudah emosi sekali.

Ikan Siluang yang terdiam terlihat berenang ke atas permukaan sungai lalu masuk lagi ke dalam sungai. Tidak lama, dia menghampiri ikan Baung dan Tapah. Segala kegundahannya diutarakan kepada keduanya.

"Baung, tidakkah kamu merasakan keadaan sungai ini setelah manusia-manusia rakus itu datang? Lihatlah air sungai ini, tidak jarang air sungai ini terlihat bening, namun nyatanya mengandung limbah hingga kawan kita mati. Lihatlah udang-udang yang dulu menemani kita, kini mereka tiada. Karena apa? Limbah yang dihasilkan dari perusahaan-perusahaan manusia itu."

Ikan Baung terlihat sedih. Dia teringat kepada anak-anaknya yang masih kecil, mereka telah mati karena limbah saat itu. Sebenarnya, ikan Baung tidak pernah marah jika dia atau anak-anak mati karena tertangkap kail pancing masyarakat. Baginya, itu kodrat hidupnya untuk ditangkap lalu dimakan manusia. Namun, dia teramat sedih jika dia atau anak-anaknya mati karena limbah.

Ikan siluang melanjutkan, "Kita yang di sungai terkena limbah, sedangkan kawan kita di darat terusir tempat tidurnya. Hutan mereka dihanguskan lalu diganti dengan sawit." Air mata menetes dari matanya, namun dia tetap ingin terus berbicara. "Dulu, kita bisa melihat beruang menyebrangi sungai, tapi kini dia tidak terlihat lagi. Entah kemana dia tinggal. Mungkin dia jauh ke dalam, mencari hutan yang masih ada."

Ikan Baung bergerak menjauh dari ikan Tapah, seolah memberinya jalan untuk memangsa anak-anak itu. Namun, dia berkata terlebih dahulu sebelum pergi, "Hidup kini memang tidak setenang dulu sejak mereka datang. Limbah mencemari sungai, juga perahu-perahu bermesin mereka yang membuat gaduh pada banyak waktu, pagi hingga larut malam. Namun, anak-anak itu tidak bersalah. Orangtua mereka yang membuat kita begini. Lantas kita harus membalas ke manusia-manusia dewasa yang tak dewasa itu? Mungkin jika kita semua hewan di sini balas dendam, habislah manusia-manusia itu. Lalu, bagaimana jika mereka membalas dengan membunuh hewan-hewan? Tiada berakhir dengan baik. Semua saling bunuh."

Ikan Tapah dan Siluang terdiam, sementara Baung pergi berenang menjauhi mereka. Ketika itu terdengar suara panik dari tepi sungai, "Tolong, tolong! Ara tercebur ke sungai." Tidak lama sekumpulan manusia terlihat di tepi sungai. Beberapa orang menyelam untuk mencari Ara. 

Manusia yang berada di tepi sungai, ada yang berujar, "Jangan-jangan Ara dimakan ikan Tapah."

Anak yang berteriak minta tolong membantahnya, "Tidak. Ara yang memasukkan kepalanya ke dalam sungai. Dia bilang, dia ingin tahu kehidupan di dalam sungai. Dia penasaran ada apa saja yang ada dan bagaimana kehidupan di dalam saja. Katanya, kasian mereka yang berada di sungai ini karena air sungainya tidak bersih lagi."

Seorang perempuan 30 tahunan terkulai lemas. Dia menangis sejadi-jadinya, "Ara memang selalu penasaran dan kritis. Dia sering bertanya papanya tentang kehidupan hewan-hewan dan tempat tinggal mereka. Seringkali dia protes kepada papanya ketika melihat kebakaran hutan. Memang dari kecil, dia suka dan peduli pada hewan-hewan." Perempuan itu terus menangis hingga matanya sembab.

Setelah 1 jam, tubuh Ara yang kecil terlihat di tengah sungai. Dia mengambang begitu saja seolah ada yang membawanya dari dalam sungai. Semua orang bersorak gembira. Ara segera dibawa ke tepi. Tidak terlihat sedikit pun luka di tubuhnya.

***

Ketika Ara jatuh, tadinya ikan Tapah siap melahapnya. Namun, dia melihat kebaikan yang terpancar dalam diri anak itu. Dia seolah merasa anak itu akan menyelamatkan habibatnya pada masa depan.

 

 Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ 

Selengkapnya silakan baca: http://www.kompasiana.com/finirayi/fabel-penolong-dari-tepi-musi_563e92f192937305048b4568

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun