2. Marah dengan tidak mengumpat
Ketika saya marah saya harus tetap waspada khususnya dalam lisan. Menjaga lisan itu sangat penting dalam situasi apapun. Orang bijak pernah berkata bahwa lidah yang tak bertulang lebih tajam daripada pisau.Â
Kalau luka  terkena pisau masih bisa disembuhkan, tetapi luka karena lisan menjadi penyakit seumur hidup. Maka jangan sampai dalam situasi marah kita mengumpat orang lain yang membuat mereka tertekan,luka batin dan tidak nyaman setiap kali bertemu dengan kita
3. Berdoalah
Setiap kali marah , jangan lupa untuk berdoa. Mohon petunjuk Tuhan agar Ia membantu atau menolong kita untuk meluapkan amarah tanpa menyakiti orang lain.Â
Terkadang saya merasa bahwa ketika saya  marah, sayalah yang paling benar, sayalah yang paling tinggi. Maka dari itu saya belajar bahwa perasaan saya itu tidak benar. Untuk menghindari hal ini, yang saya lakukan ketika marah ialah diam dan pergi bahkan mungkin lost contack dan menjadi slow rest. Pelan-pelan saja...
4. Mengambil posisi paling rendah
Sampai pada fase ini memang tidak mudah. Karena mengalah itu sulit, minta maaf itu rasanya sulit karena terkait dengan harga diri. Namun, ini bukan soal harga diri dan harus menang.Â
Untuk saya secara pribadi adalah suatu langkah yang bijak ketika saya marah saya memposisikan diri sebagai korban. Betapa sakitnya, betapa pilunya harus menanggung kata-kata dan sikap yang berlagak sebagai petinggi.Â
Oleh karena itu, ketika saya marah dengan memposisikan diri sebagai korban saya mampu memahami dan memaklumi dan mengerti persaan orang lain ketika saya marah.Â
Reaksi dari amarah itu banyak, namun saya merasa rugi ketika harus mendiamkan orang lain, menjaga jarak dengan orang lain. Daripada saya menghabiskan waktu untuk menyiksa diri dan orang lain lebih baik saya katakan ,ya saya maafkan, semoga tidak terulang lagi. Hargai saya maka saya akan menghargai anda.Â