Mohon tunggu...
Fini Bestiara
Fini Bestiara Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Novel "Bidadari-Bidadari Surga" yang Tak Boleh Dinilai dari Judulnya Saja

25 Februari 2018   12:33 Diperbarui: 26 Februari 2018   07:48 4174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kutipan penokohan tadi dan keseluruhan isi novel dapat di ambil satu fakta bahwa novel ini memiliki sudut padang "orang ketiga serba tahu". Bukti lain dapat dilihat pada kutipan berikut:

Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik, merasa bersalah— (hal. 146)

Penulis seolah menjadi saksi dari setiap kejadian tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan oleh maasing-masing tokoh. Bisa dikatakan jika ia hanya menerka tanpa tahu apa yang sebenarnya terselip di hati atau pikiran tokohnya.

Untuk membuat cerita semakin terasa nyata tentunya latar dalam cerita ini juga disebutkan. Jujur, bagi saya Tere Liye sempurna membuat imajinasi saya bermain. Terbayang apa yang terjadi dalam cerita tersebut.

Wak Burhan setelah puas menatap air tumpah membanjiri ladang-ladang mereka, beranjak mengajak penduduk kampung pulang. Lembah mulai remang. Saatnya beristirahat. Esok masih panjang, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Dan malam ini, perjalanan panjang itu telah dimulai dengan perasaan lega. Menyenangkan…. (Hal. 145-146) 

Dari kutipan di atas dapat di lihat jika cerita berlatar di Lembah Bahayan, matahari mulai bersembunyi dan hendak digantikan dengan rembulan sebagai tanda penduduk yang harus pulang ke rumah mereka masing-masing. Suasana lega setelah melakukan pekerjaan, lelah tapi puas. Siap menanti hari esok yang sudah terbayang indah. Benar, kejadian itu adalah awal dari majunya desa ini. Semuanya berkat Dalimunte yang mempresentasikan hasil rancangan kincir-kincir airnya dan tentu saja bantuan dari Kak Laisa sehingga masyarakat mau menyetujuinya dan ikut membantu.

Kampung itu sejak dua puluh tahun silam pelan tapi pasti memang berubah jadi lebih baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan sanitasi dan halaman yang rapi. Jika kalian sempat datang ke sana, kalian seperti melihat deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk rumah tua Mamak Lainuri.(Hal. 147)

Begitulah pemandangan di Lembah bahayan setelah bertahun-tahun. Maju. Semua anak sudah mulai menempuh pendidikan yang tinggi, akses menuju desa ini juga semakin mudah karena jalanan sudah dicor. Kebun strawberi membentang berhektar-hektar, jelas sekali buah yang kemerahan menggantung di masing-masing batang terbungkus polybag itu. Sunnguh desa yang indah.

setelah selesai membaca novel ini tentu saja saya sangat takjub dengan ide-ide dari Tere Liye yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh saya kalaupun saya menjadi penulis. Namun, setelah membaca bagian akhir buku yaitu “Ucapan terima-kasih dan persembahan” saya dapat menarik beberapa kesimpulan. Jika Tere Liye menulis novel yang ini terinspirasi dari keluarganya sendiri.

Untuk Ibuku, semoga ini jadi bacaan yang menyenangkan di sore hari menunggu maghrib, Jika ada survey tentang siapa Ibu yang paling hebat dan keren di seluruh dunia, maka saya akan berteriak kencang-kencang: siapa lagi? Untuk kakak- kakakku (spesial buat Ayuk Mardiana), terima kasih sudah memberi pengorbanan, teladan, dan nasehat yang baik…. …Untuk ponakan-ponakanku (special nuat Shinta, Billa dan Qoonitah), terima kasih sudah menjadi sumber inspirasi. Semakin nakal kalian di rumah, semakin seru, loh. 

Tokoh Mamak, Kak laisa, dan adik-adiknya terinspirasi dari orang terdekat Tere Liye. Tingkah merekalah yang menjadi sumber hidupnya novel ini. Di sini juga terungkap bagaimana Tere Liye bisa memasukkan percakapan dalam bahasa Italia ketika Wibisana dan ikanuri tengah berada di sana. Awalnya saya kira Tere Liye memang mampu berbahasa Italia. Saya salah besar setelah tahu bahwa ia minta translate-kan pada mahasiswanya yang tengah menempuh pendididkan S2 di Prancis. Ya, Tere Liye jugalah seorang dosen, bahkan ia adalah seorang guru TPA yang membuat saya makin tahu lagi latar belakang sifat religious dari beberapa karakter novel Bidadari-Bidadari Surga.

Lalu untuk latar pedasaan itu, saya juga baru mengetahuinya setelah membaca lebih lajut bioadata Tere Liye. Ia dari lahir memang sudah tinggal di pedalaman Sumatera Selatan dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai petani. Tak perlu ditanya lagi, Tere Liye tumbuh dalam keluarga sederhana. Secara tak langsung ia juga menceritakan kisahnya sendiri hingga menjadi sesukses seperti sekarang.

 Kembali lagi ke paragrap awal yang mungkin masih membuat kalian bertanya “Kenapa novel ini dinamakan Bidadari-Bidadari Surga? Mungkin penulis senganja membuat novelnya demikian agar para pembacanya penasaran dengan asal usul judul novel ini. Ketahuilah, jawaban tersebut akan kalian temukan jika kalian telah membaca habis novel ini. Saya pun sengaja membuat para pembaca penasaran dengan hal ini. Jadi tunggu apa lagi untuk  membacanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun