Skripsi adalah sebutan akrab bagi mahasantri semester akhir, termasuk aku. Mengerjakan skripsi adalah kesibukan tersendiri, bahkan dapat merubah jadwal kegiatan harian, itu yang aku rasakan! Bagaimana dengan kalian?
Sebelum skripsi menjadi keharusan, jadwal harianku terasa begitu teratur dari bangun pagi sampai tidur malam. Tapi berbeda setelah menanggung skripsi, selalunya ada kegiatan yang terlalaikan atau sampai tidak dikerjakan seperti dzikir pagi dan sore, dzikir menjelang tidur, makan siang, istirahat siang, mandi sekali sehari, tidak mengulang atau menambah hafalan dan lain-lain.Â
Bukan bermaksud menyengaja, tapi entah alasan apa yang pantas untuk diutarakan, seolah bayangan waktu untuk pengumpulan skripsi ada di depan mata. Sehingga skripsi sekarang menjadi salah satu prioritas.
Deadline pengumpulan skripsi memang terasa sebentar lagi, tapi pengerjaannya juga belum kelar. Mungkin berbeda dengan mahasiswa lainnya. Mereka ketika momen skripsi mendapatkan waktu khusus bahkan yang aku dengar tidak ada jam masuk kuliah, Seluruh waktunya difokuskan untuk penggarapan skripsi. Berbeda dengan aku, seorang mahasiswa di sebuah pesantren.Â
Tidak hanya kewajiban skripsi melainkan ada tanggungan kelulusan yang lainnya, seperti ujian tahfidz 6 juz sekali duduk dan tetap mengikuti jadwal harian pesantren seperti KBM dan halaqoh Qur'an pagi dan sore.
Kegiatan harian yang aku lakoni memang terbilang padat, dimulai dari ba'da shubuh halaqoh tahfidz pagi satu jam, dilanjut masuk kuliah sampai dhuhur. Setelah dhuhur masih ada kegiatan dirosah maktabiyah (belajar membaca kitab gundul/kuning) sampai jam 2, setelahnya istirahat sampai ashar. Ba'da ashar halaqoh tahfiz lagi khusus untuk mengulang hafalan sampai jam 5, kemudian istirahat sejenak sampai adzan maghrib.Â
Ba'da maghrib diadakannya halaqoh qiro'ah (membaca al-Qur'an) sampai isya', selanjutnya lanjut belajar malam sampai jam 10. Dan waktu fokusku untuk mengerjakan skripsi adalah ketika jam belajar malam, tak jarang masih lanjut begadang sampai jam 1 dini hari. Kalau ceritanya sudah begadang malam, paginya akan berantakan.
Maka rasa pertamaku adalah sedih, akhir-akhir ini susah bangun pagi dan berujung tidak sholat tahajud. Pagi hari yang harusnya bersemangat, kini sholat shubuhnya menjadi telat, dan dzikir pagi kelewat karena harus persiapan untuk setor hafalan. Kalau dulu tidak demikian, persiapan hafalannya di waktu malam, lekas paginya langsung setor, dzikir pagi dan juga qiro'ah.Â
Masih banyak hal lagi yang mengundang sedih, namun tetap harus disyukuri, semua yang terjadi mengandung hikmah dan pelajaran. Hikmah yang bisa aku petik adalah sejatinya manusia serba terbatas, setinggi apapun kemampuan pasti memiliki garis batas. Dengan garis batas itulah, manusia akan mengerti kemana harus mengadukan sedih, meminta kemudahan, dan memohon pertolongan, kepada Rabb yang menciptakan manusia, Allah Ta'ala.
Rasa kedua adalah takut, ketakutan yang tidak pasti. Melihat pengalaman masa lalu bagaimana kakak kelas atau bahkan teman sendiri kemarin ketika ujian proposal. Tidak jarang dari mereka semua yang kena bantai, apalagi oleh dosen yang terkenal killer.Â
Aku sendiri saat ujian proposal kemarin alhamdulillah selamat, diuji oleh dosen yang terkenal rohim. Hehehehe terdengar lucu bukan? Istilah ini hanya dipahami mungkin oleh mahasiswa, padahal hakikatnya semua dosen sama, ingin memberikan perbaikan agar mahasiswanya lebih baik lagi.
Secuil cerita pasca ujian proposal kemarin, atau skripsi yang tahun lalu. Kalimat-kalimat dosen yang terasa menyakitkan, mengundang tawa, dan sangat berkesan. Seorang temanku dikatain, "Ini teks skripsi apa khutbah Jum'at, kok banyak dalilnya", atau ada lagi teman yang lain, "Lha skripsi kamu ini apa gunanya, kalau sama dengan skripsi yang lain?" atau "Kamu ini mau jadi orang apa, kok rujukannya ngambil dari buku liberal?" atau "Saya baca skripsi ini muter-muter ngalor ngidul gak ketemu intinya" dan masih banyak lagi.
Terkadang kenangan seperti itu yang mendatangkan ketakutan. Tapi layaknya aku harus menasehati diri sendiri, kalau ketakutan yang aku ciptakan adalah sebuah dugaan semata, tidak perlu terlalu dirisaukan! Pelajaran kali ini adalah agar lebih membutuhkan persiapan yang matang, banyak membaca dan berdiskusi, dan berusaha memahami apa sejatinya yang sedang dituangkan dalam tulisan berbentuk skripsi.
Rasa ketiga adalah bahagia dengan harapan. Skripsi adalah tugas akhir yang mengantarkan ke panggung wisuda. Nasehat dari dosen-dosen yang menjadi penyemangat adalah, "Nanti kalau kalian di wisuda, semua rasa lelah skripsi akan terasa seperti tidak pernah terjadi". Harapan ku adalah skripsi kelar tepat waktu, sesederhana mungkin isinya dan  bermanfaat untuk banyak orang. Membayangkan semua itu saja sudah membuatku bahagia, apalagi jika memang menjadi realita?
Selamat menikmati ke-tiga rasa ini bagi pejuang skripsi yang lainnya!Â
Semoga rasa sedih, takut dan bahagiamu karena harapan selalu mendapat ridho-Nya. Dan aku tau, aku tidak sendiri, diluar sana atau termasuk pembaca tulisan ini sedang sama-sama menggarap dan menyelesaikan skripsinya.Â
Se-asyik ini mengerjakan skripsi, masak iya kamu enggak mau ngerasain, dan malah butuh tukang perjokian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H