Â
      Keluargaku terdiri dari 3 anggota aku, ibu dan ayah. Kami tinggal di kecamatan Njaluk kota Nelangsa sudah kurang lebih 14 tahun, dari aku lahir sampai sekarang duduk di kelas 2 SMP. Mata pencaharian ayah dan ibu adalah pengemis. Keduanya sudah menjalankan peran itu saat masih remaja. Bahkan cerita dari keduanya mereka berdua bertemu ketika sama-sama sedang mengemis di alun-alun Medit. Kemudian ayah dan ibu saling berkenalan, jatuh cinta, dan memadu kasih dalam bahtera rumah tangga.
      Sejak kecil ayah dan ibu menanamkan padaku kalau mengemis adalah usaha untuk mendapatkan uang dengan mudah, karena tidak mengeluarkan modal apapun. Akan tetapi cukup berpenampilan dan bersikap layaknya seorang pengemis. Bahkan tak jarang ayahku menjelaskan tips-tips agar dapat menjalankan perannya dengan profesional. Tutur kata ayahku yang begitu melekat padaku, "Nanti kalau sudah lulus SMP kamu mulai ikut mengemis ya! Katanya mau minta dibelikan motor, ya harus nabung sendiri dulu!. Nanti kalau kamu pintar memelas (ekspresi yang membuat orang lain iba) pasti dapat uangnya tambah banyak"
      Aku sendiri beranggapan jika yang dilakukan ayah ibuku sudah baik dan benar. Sewajarnya bagi seorang anak saat semua kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi, pasti akan sangat menyayangi kedua orangtuanya. Dan ketika keadaan hati sudah membela, maka ragapun akan marah saat keduanya dihina?
      Kejadian sore kala itu merupakan gambaran dari tidak terimaku. Sepulang sekolah sambil menunggu angkot lewat, segerombolan teman berjalan di depanku. Dengan gayanya sok dan songong salah seorang mereka menghinaku dengan ucapan yang menyakitkan, "Hey anak orang kaya kok gak punya motor sih". "Iya rumah-rumah lagi pada ditutup ya" timpal yang lain. Aku pun masih cuek dan tidak peduli. "Eh atau tempat-tempat sudah ditulis larangan kalau gembel dilarang masuk!" saut yang lain.Â
Dari sini tanganku mulai mengepal ingin rasanya memukul mereka, "Eh eh mulai marah ni ya! Apa bisa pengemis itu kasar kan harusnya terbiasa lemah lembut dan merintih kalau sedang melarat (keadaan ekonomi sulit)!" Ejek temanku dengan suara yang lebih lantang. Sampai-sampai siswa yang lain menoleh semua ke arahku. Maka wajahku menjadi merah padam, hati bergejolak, mulutku gatal, aku sangat emosi!, tanpa berpanjang kata ku lemparkan botol kaca ke arah mereka. Perjalanan masa pendidikan ku mulai berhenti saat peristiwa ini.
      "Wiu, wiu,wiu" suara ambulan yang membawa tubuh temanku. Darahnya bercucuran mengotori jalan dan mengundang keramaian. Warga sekolah yang belum pulang juga berlarian ikut melihat apa gerangan yang terjadi. Pemandangan ini seolah pisau yang menusuk perutku. Ingin berlari kencang menyadarkan diri kalau ini hanyalah mimpi. Namun tanganku digenggam teman laki-laki ku dengan kasar. Aku menunduk terdiam, teringat ayah ibuku tetaplah sosok yang sangat pantas untuk ku bela, bahkan jika taruhannya nyawa aku rela. Maka aku tidak peduli sama sekali kalau nanti nasib ku berujung di penjara.
      Setelah berlarunya peristiwa pahit satu persatu pasca insiden itu. Statusku kini bukan lagi pelajar, tapi narapidana yang masih belia. Tadinya hakim memutuskan seharusnya aku bisa saja dimaafkan karena masih dibawah umur, akan tetapi bertolak dengan papa temanku yang sangat tidak ingin aku lolos dengan mudah. Papanya si penghina orangtuaku sampai melakukan aksi penyogokan demi diriku agar bisa tinggal dalam jeruji besi.
      Sudah dua pekan waktuku berjalan dalam tahanan. Suatu hari ayah dan ibu datang menjenguk ku dengan membawa makanan favoritku pizza, burger, steak dan tentnya es boba. Snack yang dibawa oleh keduanya diangkut menggunakan mobil pick up, jumlahnya sangat banyak sekali! Ibuku mengatakan, "Itu makanannya dibagikan sama yang lain!". Dengan antusias aku memanggil ibu-ibu narapidana yang satu sel bersamaku. Kemudian kami membawanya ke setiap sel dan seluruhnya bersuka ria karena bisa menikmai hidangan yang lezat.
      Hanya penghuni penjara Mbeler ini yang faham kalau aslinya aku berasal dari keluarga yang berkecukupan. Karena setiap tiga hari sekali datang makanan atas namaku yang dikirim oleh ayah dan ibu hebatku. Mereka sangat tidak mengerti kalau aku anak dari pasangan pengemis. Aku pribadi menyembunyikannya sebab aku takut tangan ini akan kembali berulah ketika profesi ayah ibuku direndahkan.
      Selesai membagikan makanan, aku duduk berbincang dengan ayah ibu. Kali ini ibuku yang memulai pembicaraan, "Sekarang ayah ibu kalau kerja berangkat pagi sampai sore cuman dapatnya yaa mentok (maksima) 60 ribu!" "Iya geh ndis (panggilan sayang anak perempuan) sepi kerja nya aya ibu. Tapi alhamdulillah dulu penghasilan bisa sampai 300 setiap hari dan bisa nabung. Jadi tabungan itu cukup untuk kebutuhan kita semua ndis sampai nanti akhir taun." Terang ayahku. "Berdoa ya ndis kalau biar yang ayah ibu peroleh bisa banyak" pinta ibuku padaku.