"Assalamualaikum...
"Masih inget gua gak?
"Gua lagi pulang ke rumah kakek, kalo lu ada waktu gua pengen ketemu..."
      Kubaca sekali lagi pesan yang terkirim tadi malam, nomornya tak dikenal tapi aku tau siapa pengirimnya. Namanya kak Dea, ia seniorku saat SMP. Awalnya aku hanya mengenalnya sebatas sesama anggota PMR, sampai suatu hari tanpa sengaja kami bertemu di salah satu event di luar sekolah dan berbincang-bincang . Sejak saat itu kak Dea sering mengajakku berdiskusi tentang apapun, kami pun sering menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Sejak kecil Ia  tinggal bersama kakek dan neneknya, setelah lulus SMP kak Dea dibawa orangtuanya ke Jakarta. Setelahnya kami masih sering bertukar cerita lewat media namun saat masuk ke pondok aku kehilangan jejaknya.
      Pagi itu mendung mengantarku pergi ke tempat yang sudah kami sepakati, cafe yang dulu sering kami kunjungi bersama. Di tengah perjalanan, gerimis mulai turun. Sesampainya di sana aku bergegas masuk dan mencari sosoknya. Mataku tertuju pada gadis yang sedang termenung di samping jendela, rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Dengan langkah ragu aku berjalan ke arahnya.
"Kak Dea..." panggilku pelan.
Yang dipanggil pun menoleh. Ia tersenyum dan bangkit memelukku. Aku terpaku. Kuperhatikan pakaiannya dari ujung ke ujung,
"Weh, mana jilbabnya neng?" tanyaku spontan melihat stylenya sekarang.
Dia tersenyum simpul, "Wiih, udah alim aja baju lu, tobat nih?" balasnya mengalihkan.
Aku hanya menjawab dengan isyarat mata, kutarik kursi lalu duduk dihadapannya. Diluar hujan mulai deras, ku awali percakapan dengan meminta maaf karena tak pernah menghubunginya lagi, Dia memaklumi posisiku di pondok yang tidak leluasa mengoperasikan media. Kami saling bertukar kabar sembari bernostalgia masa lalu. Tak lama kemudian pelayan datang membawakan pesanan kami, untuk sejenak kami sibuk dengan makanan masing-masing.
"Ada apa di Jakarta?"
Kak Dea menatapku kosong, sejenak kemudian ia menaruh sendok dan garpunya, matanya menerawang ke luar jendela.
"Yaah, lu tau lah hidup di Jakarta keras.." jawabnya.
"Sekeras apa sampe lu bisa kehilangan pendirian?", tanyaku heran.
 Aku tak tau latar belakang keluarganya, tapi kakeknya adalah orang terpandang di desa yang paham agama. Bahkan saat di SMP dulu jilbab dan seragamnya lebih lebar dari kita, padahal dalam aturan sekolah jilbab tidak boleh terlalu panjang agar tidak menutupi lambang-lambang sekolah di lengan. Tapi ia tetap memakainya sesuai dengan perintah kakeknya. Setelah beberapa kali ku pancing ia mulai bercerita.
"Banyak yang terjadi di 2 tahun ini fa, berat banget sampe gua sempat nyoba bunuh diri." Ia tertawa kecil.
"Trus berhasil gak bunuh dirinya?", tanyaku tanpa menatapnya.
"Heh kalo gua berhasil, sekarang lu lagi ngobrol sama arwah", Ia memukulkan sendoknya ke arahku.
Aku tertawa, kutatap matanya yang sendu. Aku tak menyangka kisah hidupnya akan seperti itu, dulu aku sempat iri dengannya karena ia punya segalanya. Wajah yang rupawan dengan banyak prestasi gemilang, hidupnya pun berkecukupan dibawah kasih sayang keluarganya meski hidup jauh dari orang tuanya.
      Saat Ia pindah ke Jakarta awalnya baik-baik saja, ayahnya  mendaftarkan kak Dea ke SMA favorit di daerahnya, dengan kecerdasannya ia diterima bahkan berhasil masuk ke kelas akselerasi. Awalnya ia masih teguh dengan pakaiannya dan kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan oleh kakeknya namun lama-lama ia terbawa arus pergaulan modern, ajaran agama yang dulu didapat saat tinggal bersama kakek neneknya mulai ditinggalkan, pakaiannya pun mulai terkikis sedikit demi sedikit. Orang tuanya tak mempermasalahkan pergaulannya, mereka sibuk bekerja. Seperti pola pikir kebanyakan orang tua yang mengira anaknya akan bahagia dengan harta, kak Dea dibebaskan asal tetap bisa menjaga prestasinya. Satu tahun SMA, pergaulan remaja metropolitan banyak membawa perubahan bagi pribadi kak Dea, dirumah Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, Ayah ibunya bekerja sampai larut malam dan mereka hanya berkumpul saat sarapan pagi.
Di tahun kedua SMA inilah kak Dea berada di titik terendah dalam hidupnya. Beberapa minggu ini kak Dea sering mendapati kedua orang tuanya bertengkar, Ibunya  menuduh sang Ayah selingkuh dan mengungkit-ungkit masa lalu. Tanpa sengaja kak Dea beberapa kali mendengar mereka bertengkar namun Ia ragu dengan apa yang Ia dengar. Sejak saat itu kak Dea enggan pulang ke rumah, Ia sering menginap di rumah temannya dengan alasan sedang mengerjakan tugas. Hingga suatu malam saat kak Dea pulang ke rumah Ia mendapati kedua orang tuanya di ruang tamu, dihadapan mereka ada sebuah kertas. Awalnya kak Dea tidak peduli dan langsung berjalan menuju kamarnya.
" Dea! Duduk sini, ada yang mau Papa sama Mama omongin." Panggil Ayahnya.
Dengan malas kak Dea berjalan ke arah mereka, Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Apa sih pa? Udah malem ini, Dea capek mau tidur," jawabnya ketus.
"Dea pilih ikut Papa atau Mama?" Kali ini ibunya yang berbicara.
"Hah? Apa maksudnya?" kak Dea menatap kedua orang tuanya tak mengerti.
Ibunya hanya diam, matanya menuju ke arah kertas di atas meja, segera Kak Dea mengambil kertas yang tergeletak di atas meja. SURAT PERCERAIAN . Ia langsung melempar kertas tersebut dan berlari ke kamarnya.
"DEA!!!" terdengar panggilan ayahnya.
      Pagi harinya kak Dea keluar dengan mata sembab, orang tuanya sudah menunggunya di meja makan. Namun kak Dea hanya melintasi mereka dan berjalan ke arah pintu,
"Terserah Papa sama Mama, Dea bisa hidup tanpa kalian," Kata kak Dea sebelum keluar dari pintu.
Setelah hari itu kak Dea tidak pulang ke rumahnya, Ia menyewa kost di dekat sekolahnya dengan simpanan uang yang Ia miliki. Kabar perceraian orang tuanya sampai ke kakeknya di desa, mereka segera menghubungi kak Dea menanyakan kabar. Namun, bukannya menenangkan, sore itu kak Dea seakan membuka kotak pandora, setelah mengucap salam kak Dea langsung melempar Hpnya ke kasur dan merebahkan diri. Suara kakek neneknya masih terdengar, Ia memejamkan mata.Tiba-tiba terdengar suara pamannya memmbahas masa lalu orang tua kak Dea tanpa sadar bahwa sambungan telepon belum diputuskan. Kak Dea yang mendengarnya langsung bangkit dari tidurnya dan mendengarkan tanpa berbicara sepatah kata pun. Percakapan berlangsung lama dan terhenti saat pamannya mengambil HP. Ketika menyadari bahwa telepon masih tersambung mereka semua panik.
"Dea!!!" panggil pamannya berkali-kali dari seberang telepon, tapi tak ada jawaban dari yang dipanggil.
"Dea! lupain apa yang kamu denger tadi De, kita disini tulus nerima kamu." Ujar pamannya.
Di dalam kamar kost kak Dea hanya diam menatap kosong tembok di depannya, pikirannya kalut, akhirnya Ia tau latar belakang kelamnya. Ada kenyataan pahit yang baru Ia ketahui, orang tua kak Dea dahulu menikah karena kecelakaan, Ia adalah anak diluar nikah. Kondisi orang tuanya yang saat itu masih di bangku sekolah belum siap menerima kehadiran kak Dea hinggga oleh Ayahnya Ia dititipkan ke rumah Kakeknya. Sekarang semuanya jelas, alasan orang tuanya yang baru menjenguk kak Dea saat SD dan semua sikap orang tuanya, Â terlebih Ibunya.
 Malam itu Ia memutuskan pergi ke club menemui teman-temannya. Semua depresinya Ia lampiaskan malam itu. Di tengah hiruk pikuk music, dalam keadaan mabuk kak Dea meraih pisau buah di hadapannya dan mengiris pergelangan tangannya, darah mengucur deras tapi Ia tak peduli. Temannya yang baru kembali dari bar mendapatinya sudah tergeletak di sofa dengan darah bersimbah di sekitarnya. Suara teriakan terdengar dan kak Dea dilarikan ke rumah sakit. Alhamdulillah nyawanya masih tertolong meski Ia kehilangan banyak darah. Ayahnya segera dihubungi lalu datang mengurus biaya rumah sakit dan kepolisian. Setelah pulih Ayahnya mengajak kak Dea pulang namun dengan keras Ia menolak. Akhirnya Ayahnya mengalah dan mengantarnya ke tempat kost yang Ia tinggali.
Tiga bulan berlalu, orangtuanya sudah resmi bercerai. Kak Dea tinggal di kost sampai lulus SMA. Ayahnya selalu mengirimkan uang ke rekening kak Dea untuk biaya hidupnya namun tidak pernah menghubunginya. Rupanya ujian belum usai, saat kak Dea sedang menjalani test kelulusan SMA kabar duka datang dari desa, Kakeknya meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Ia tak bisa pulang dan hanya melihat kakeknya untuk terakhir kali lewat layar HP. Saat kelulusan SMA Ayahnya datang. Ayahnya sudah menikah lagi sedang ibunya kembali ke rumah keluarganya. Ayahnya menawarkan untuk tinggal bersama namun kak Dea tetap menolak, Ia memilih pulang ke rumah kakeknya.
Diluar hujan mulai reda, aku menghela napas perlahan. Mendengar kisahnya aku bersyukur tidak diberi ujian seberat itu, entah apa jadinya jika aku yang berada di posisinya. Kak Dea adalah korban dari kesalahan orang tuanya, seorang bayi tidak bisa memilih dari rahim mana Ia dilahirkan. Titipan Tuhan yang seharusnya di limpahi kasih sayang malah ditelantarkan. Bagaimana orang tuanya akan bertanggung jawab di akhirat nanti?
Dengan kecerdasannya kak Dea melanjutkan kuliahnya di luar negeri, kehidupannya di sana semakin bebas, posisiku yang masih seorang santri membuatku tidak bisa leluasa menghubunginya. Namun setiap ada kesempatan tak lupa ku sapa Ia lewat sosial media, kak Dea mengenalkanku dengan kekasihnya, Ia juga pernah memamerkan bekas luka di pergelangan tangannya yang Ia tutup dengan tato.
"Liat fa, cantik kan..." tulisnya.
Aku tak tau harus merespon apa lagi, yang ku bisa hanya memberi sedikit nasihat yang mungkin suatu saat akan Ia dengarkan.
####
      Sudah berlalu tiga hari sejak kelulusanku dari SMA, hari ini aku harus mengunjungi seseorang. Setelah bersiap-siap segera ku pacu motorku menyusuri jalanan yang padat kendaraan, tak lupa kubeli oleh-oleh untuk dirinya. Setelah sampai, ku parkir motorku di luar. Ku eratkan jaketku dan berjalan masuk, ku ucapkan salam spesial namun tak ada jawaban. Tempat ini sunyi sekali. Agak lama aku berjalan akhirnya ketemukan apa yang ku cari.
DEANDRA CAMELLIA
Lahir : 26-08-2000
Wafat : 15-02-2021
      Kak Dea terjerumus dalam dunia obat-obatan terlarang dan meninggal karena overdosis. Dalam surat yang ditinggalkan Ia berpesan agar jasadnya dimakamkan di tempat kakeknya. Aku hanya bisa mendoakan semoga diampuni segala dosanya dan Ia tenang di alam sana. Kubersihkan makamnya lalu kuberi taburan bunga mawar. Kutaruh oleh-oleh yang tadi kubeli di dekat nisannya. Sebuket bunga Camellia.
"Selamat beristirahat kak, maaf gua belum bisa jadi teman yang baik. Sampai jumpa." Aku berpamitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H