Redup pendar cahaya itu,
Sayup-sayup tatapan yang membatu.
Ada yang terjerat di antaranya,
Lagi malu meminta untuk singgah.
Kendati di balik bilik rumah;
Bangunan utuh yang entah.
Namun kian memaksa lebih lama,
Sampai esok,
atau mungkin lusa.
Berjuang bersama?
Asas apa yang batasi percikan sinar,
saat saling rampas bola mata?!
Kemudian berenang-renang,
hingga tak menemukan satu pun sudut karang,
untuk bercerita.
Perihal gunung dan laut,
tiada sempat bersua.
Perihal fajar dan senja,
mustahil bersama.
Serupa mengukir pada air,
Dipahatnya sedari hulu ke hilir.
Lalu hanya peluh dan letih yang terlahir,
Karena sihir tak mampu mengubah takdir.
***
Cirebon, 23 Juli 2019
Fingga Almatin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H