Mohon tunggu...
findraw
findraw Mohon Tunggu... Administrasi - Indescripable

Indescripable

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gelandangan yang Bersedekah Jutaan, Bahkan Lebih

5 Juli 2016   08:26 Diperbarui: 5 Juli 2016   08:36 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

..berdasarkan kisah nyata..

Seorang laki-laki tengah galau di atas mobil yang tengah dikendarainya. Kejadian menyebalkan yang dialaminya barusan kembali mengusiknya.

Saat itu ia baru saja mengambil uang dari ATM dan baru saja masuk mobil. Belum sempat ia menutup pintu tiba-tiba ada tangan nyelonong masuk di antara daun pintu dan bodi mobilnya. Dengan keheranan dia melihat seorang berpakaian compang-camping menengadahkan tangan. Paham dengan keadaan itu, laki-laki itu pun mengambil uang 5 ribu rupiah di dashboard dan memberikannya kepada si gelandangan. Tapi bukannya menarik tangannya, si gelandangan malah menggerutu, "Kurang!".

Sebal dengan kelakuan sang gelandangan yang dianggapnya tidak tahu terimakasih, si laki-laki pun membalas ketus, "Sudah itu saja", dan melanjutkan, "Tolong, Pak, tangannya disingkirkan. Pintunya jadi tidak bisa ditutup, nih!" Dan sang gelandangan pun ngeloyor pergi.

Dan beberapa saat kemudian, si laki-laki merasa gundah di atas mobil yang dikendarainya. Baru sekarang nuraninya terusik dan mempertanyakan apakah kata-kata yang telanjur diucapkannya kepada si gelandangan tadi tidak berlebihan? Apakah gelandangan itu tidak terluka dengan kata-kata yang diketuskannya tadi? Tapi bukannya si gelandangan sendiri yang bikin gara-gara; ga tahu sopan-santun? Tapi bukankah dia dalam posisi yang lebih mampu sehingga sudah selayaknya dia bertindak lebih sabar dan maklum? Segera dia beristigfar. Dia merasa malu. Pada dirinya sendiri. Pada gelandangan itu. Dan takut. Sebuah kejadian lain terbetik dalam benaknya.

Saat itu dia sedang menimang putra kecilnya di ayunan di teras rumahnya. Lalu seorang penjual kerajinan kaligrafi hiasan dinding mampir dan menawarkan dagangannya. Meski sebenarnya tidak tertarik, sebagai basa-basi si lelaki bertanya berapa harga kaligrafi yang dibawanya itu sambil menebak harganya pasti ga sampai 20 ribu-an. Sambil mengangkat hiasan kaligrafi kecil yang terbuat dari plastik dan tripleks bertuliskan lafadz Ayat Kursi sang penjual pun menjawab, "Limapuluh ribu, Pak."

Demi mendengar jawaban tak terduga itu si lelaki merasa dirinya tengah dilecehkan. Memangnya pedagang ini menyangka dirinya tidak tahu harga? Mentang-mentang dia tinggal di kompleks perumahan lalu pedagang ini merasa boleh seenaknya pasang harga dan mengambil untung ga kira-kira? Dengan emosi dia menyahut, "Heh, Pak.. kalo pasang harga yang bener, dong! Masa benda kaya gini harganya lima puluh ribu? Udah, saya ga mau beli!" Sebenarnya nurani lelaki itu terusik demi melihat si penjual tertegun mendengar ucapannya. Tapi karena kekesalannya masih segar, dia menepiskan kenyataan itu.

Penjual itu memang pergi. Sementara si lelaki masih kesal itu ngomel-ngomel tentang kelakuan si penjual yang dianggapnya keterlaluan. Lalu kejadian itu pun berlalu. Tapi beberapa hari kemudian laki-laki itu terjatuh dari sepeda motor yang sedang dikendarainya. Dan beberapa minggu setelahnya hidung si lelaki mengalami pendarahan hebat yang menyebabkan dirinya harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Dan yang membuatnya penasaran, hingga saat kepulangannya tiba sampai sekarang, dokter yang merawatnya tidak mampu menentukan penyebab pendarahan di hidung lelaki itu.

Hal itulah yang saat ini kembali mengusik pikiran laki-laki itu. Dia takut kejadian yang dialamainya barusan merupakan pengulangan atas keteledorannya dalam menjaga hati dan lisan sama seperti beberapa tahun silam. Dia ingat biaya yang harus dikeluarkannya sekeluar dari rumah sakit; sekitar lima juta rupiah. Itu setara dengan 100 kali harga hiasan dinding yang pernah dicacinya dahulu! Dia khawatir, dia takut. Dia tahu doa orang yang terdzolimi tidak bersekat dengan Alloh.

Laki-laki itu pun memutar balik kendaraannya untuk kembali ke tempat awal kejadian itu bermula. Berharap dapat menemukan gelandangan itu, meminta maaf kepadanya, dan menyerahkan hak-haknya. Namun sayang, tempat itu telah sepi. Gelandangan itu tidak nampak dimana pun. Dan selama beberapa hari berikutnya lelaki itu menghilir-mudiki ke tempat itu dengan harapan dapat menjumpai gelandangan yang memberati hatinya itu. Tapi usahanya sia-sia.

Beberapa hari kemudian laki-laki itu membaca di sebuah koran lokal bahwa pembangunan jembatan swadaya di sebuah wilayah di kotanya masih membutuhkan suntikan dana. Maka dia pun memutuskan untuk menyumbang dana pembangunan jembatan sebesar satu juta rupiah yang diatas-namakan sang gelandangan yang gagal dijumpainya.

Demikianlah, ketika Alloh berkehendak, ketika kita layak mendapatkannya, tidaklah sulit bagi Alloh untuk menyediakan sumber pahala yang tiada putusnya. Siapa yang bakal menyangka, bahkan mungkin si gelandangan sendiri pun tidak, bahwa seorang gelandangan akan bershodaqoh sebesar jutaan rupiah, bahkan lebih.  Memang besaran shodaqoh sang gelandangan itu hanya satu juta rupiah. Tapi ketika jembatan itu telah berdiri (dan memang demikianlah adanya).. dan dimanfaatkan oleh banyak orang (dan jembatan itu memang digunakan sebagai jalan tembus bagi banyak orang di kotanya).. dan ketika orang-orang yang menggunakannya merasa terbantu dan puas lalu melakukan kebaikan-kebaikan karenanya.. maka aliran pahala akan terus mengalir kepada sang gelandangan, sejak shodaqoh itu dikeluarkan hingga (insya Alloh) hari kiamat kelak. Dan itu semua terjadi bahkan tanpa disadari oleh sang pemilik shodaqoh itu sendiri.

Maka jangan putus asa dari shodaqoh yang rasanya mustahil bakal dapat kita tunaikan. Cukup niatkan dan semangatkan diri untuk terus dapat bershodaqoh maka Alloh sendiri yang akan merampungkan niat itu, tanpa harus kita sendiri mengetahui bagaimana caranya. Melalui kebaikan-kebaikan kecil yang kita lakukan, melalui kesabaran atas ketidakadilan-ketidakadilan yang kita alami, melalui hal-hal kecil yang kelihatannya sepele, bisa jadi tersimpan potensi sumber pahala abadi yang akan mampu membuat kita ternganga pada Hari Perhitungan kelak.

Insya Alloh..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun