Mohon tunggu...
Finda Rhosyana
Finda Rhosyana Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang bercita-cita ingin jadi jurnalis

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

UN, SBMPTN, Kegagalan Hingga Jatuh Pada Pilihan Terbaik di Tahun Berikutnya (Part 1)

8 Desember 2017   09:36 Diperbarui: 8 Desember 2017   09:53 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi ceritanya begini, bukan maksud sok memotivasi atau pamer usaha. Bukan! Tapi disini saya hanya ingin bercerita tentang masa kritis mengejar bangku kuliah. Sungguh ya! Waktu SMK saya (mungkin semuanya) pasti pengen cepet-cepet merasakan gimana rasanya jadi mahasiswa. Apa lagi bisa lulus di Universitas Negeri di Pulau Jawa lewat jalur SBMPTN. Itu cita-cita sebagian besar dari kami.

Kelas XII SMK mungkin adalah masa dimana aku merasakan kegalauan. Ya, wajar saja sih, aku ini orangnya gak terlalu pintar, tapi aku bisa dikategorikan siswa pemalas dengan tampang baik. Saya sudah memikirkan banyak pilihan untuk saya isi di SBMPTN nanti, mulai dari Sastra Indonesia, Ilmu Komunikasi, Ekonomi, Ilmu Politik, Psikologi sampai pilihanku mengerucut pada dua pilihan yang telah dipilih dengan beberapa pertimbangan, yaitu Sastra Indonesia dan Psikologi.

Oke, nanti dulu ya aku bercerita mengenai alasan dan pertimbanganku memilih dua jurusan itu. Aku akan bercerita tentang kelalaianku semasa SMK. Sudah aku sebut di atas bahwa aku seorang pemalas. Lebih tepatnya malas belajar di dalam kelas, malas belajar hal yang tak aku suka. Saat memasuki semester V, ya beberapa bulan menjelang UN dan ujian-ujian lain di sekolah, aku baru mulai sedikit serius. Aku mulai mengakrabkan diri dengan buku-buku, kebiasaan menunda-nunda aku kurangi. 

Aku baca lagi buku-buku kelas X dan XI yang mata pelajarannya akan diujikan dalam UN, terutama pelajaran produktif dari jurusanku: Akuntansi. Dan entah konspirasi apa yang terjadi, di masa-masa kritis itu, handphone kesakunganku raib di tangan maling. Ya, sedih dan jengkel tentu saja! Yapss, berbagai cara aku lakukan agar bisa pass. Karena target saya  bukan saja lulus UN tapi juga berdiri menjadi yang terbaik, mengingat tiga tahun lalu aku telah terang-terangan menargetkan diri masuk peringkat 10 besar nilai UN tertinggi di sekolah, yang di hari kemudian aku terbelalak menengok target yang aku tulis itu. 

UN tinggal beberapa hari lagi, namun masih banyak materi yang tak aku kuasai. Ah, pungguk merindukan bulan tentu saja. Tidak realistis, sangat mustahil. Dengan fakta demikian, aku mengubah haluan, mulai saat itu target aku hanya lulus UN,  tak penting seberapa buruk hasil yang aku toreh, yang penting aku bisa lulus kuliah. Hanya itu yang tergambar dalam kepalaku kala masa kritis itu.

Saat pengumuman mengenai siapa saja siswa yang mendapat kehormatan mengisi formulir undangan atau SNMPTN, aku sudah begitu yakin, kelalaianku selama ini tidak akan cukup bagiku untuk dapat menerima rekomendasi itu. Kecewa? Sudah pasti, apa lagi aku ini seorang anak perempuan yang hatinya cenderung lembut. Tapi aku tak ingin tenggelam dalam kesedihan yang tidak bermanfaat. Kejadian ini malah menjadikan aku termotivasi, aku ingin membuktikan kepada guru-guru bahwa aku dapat lulus SBMPTN.

Saat itu aku masih kelas XI, aku merengek meminta restu kepada ibu agar diizinkan kuliah setelah lulus nanti. Ya, aku masih ingat bagaimana keluarga pernah tidak mendukung aku untuk kuliah selulusnya dari sekolah, terutama ibunda. Alasannya klasik, masalah biaya dan pandangan awam kalau tidak begitu penting menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi. 

Aku sudah mencoba meyakinkan beliau bahwa di universitas nanti pasti banyak beasiswa yang bisa meringankan membiayai pendidikan, tapi ibu masih saja tak bergeming. Abangku yang pertama juga tidak bisa menjanjikan akan bisa menguliahkanku, mengingat dia sendiri banyak sekali kebutuhannya. Mereka menyarankan agar aku bekerja lebih dulu saja, setidaknya satu tahun setelah itu baru melanjutkan pendidikan lagi. Dengan menuruti saran seperti itu, berarti aku kembali pada rencana awalku di tiga tahun yang lalu, saat dimana aku belum betul-betul paham kalau kuliah itu penting sekali. Ya,  aku mencoba melapangkan dadaku, meski sesak tak tertahankan rasanya.

Seorang teman bertanya padaku, setelah lulus mau kerja atau kuliah. Kujawab dengan tidak sepenuh hati kemungkinan besar bekerja dulu. Dia bertanya alasannya kujawab tak direstui ibu karena masalah biaya. Dia terdiam memahami, meski dia juga tahu bahwa sesungguhnya aku sangat ingin kuliah. Temanku yang satu ini, dia sangat mengerti aku.

Waktu semakin berlalu, dari bulan menjadi minggu dan selanjutnya hari demi hari. Ajaibnya waktu, ia mampu meluluhkan hati ibuku. Yup!! Kini, beberapa hari menjelan UN, aku mendapat restu Ibu untuk kuliah. Aku begitu bahagia. Ini memang hanya restu, tapi bukankah ini melebihi apa pun, Kawan? Langkahku terasa jauh lebih ringan, hatiku yang terluka perlahan menguapkan segala perih yang setahun ini menjeratnya. Aku semakin semangat belajar, aku belajar sampai jauh malam. Aku ingin lulus UN dan aku sangat-sangat ingin lulus di PTN tahun ini.

Yups! Akhirnya saya lulus UN! Dengan kegalauan saat ujian dan menunggu hasilnya. Ah, alhamdulillah, aku menangis terharu melihat hasil milikku. Tentu saja aku tidak masuk 10 besar nilai UN di sekolah, tapi hasil yang kutorehkan jauh dari yang aku perkirakan. Ini sangat tak terduga, melebihi harapan. Tidak terlalu tinggi, namun cukup memuaskan hatiku. 35,12 dengan nilai terendah menimpa pelajaran yang paling tak aku kuasai dan tak begitu kusukai memang, produktif akuntansi. Maaf, bila aku ini mengecewakanmu, Ibunda Guru. Percayalah, aku telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk bisa mencintai Akuntansi. Sungguh.

Pengumumna hasil UN dan SNMPTN kebetulan terjadi pada hari yang sama. Karena aku tidak mengikuti SNMPTN tentu saja aku tak begitu mengkhawatirkan pengumuman yang satu ini. Pada malam hari, aku bertanya hasil SNMPTN pada kawanku---yang di atas tadi menanyaiku akan kuliah atau kerja---aku tahu kalau dia tidak lulus, namun telah mendaftar di sebuah Institut Seni di Yogyakarta. Lalu aku meminta doa padanya agar dimudahkan menghadapi SBMPTN. 

Dia terkejut aku memilih untuk kuliah dulu. Dia ikut senang juga. Dia sangat berbeda, jika teman-teman sekolahku yang lain menanyai mau kuliah dimana dan jurusannya apa, maka dia malah sangat bersyukur aku telah memilih 'jalan yang tepat'. Ya, mungkin dukungan darinyalah salah satu yang memotivasiku agar lebih sungguh-sungguh.

Sebetulnya saya tidak begitu mantap akan pilihan saya untuk Sastra Indonesia dan Psikologi. Saya ingin memasukkan Ilmu Komunikasi dalam pilihan tersebut, pilihan pertama lebih tepatnya. Tetapi, saya berpikiran lain. Hal itu dikarenakan, keluarga hanya mengizinkan aku kuliah di sekitar Jabodetabek, ya, lebih spesifiknya sih di Jakarta saja gitu. Sedangkan kampus di Jabodetabek yang punya Ikom yang bagus --bahkan, bagus banget---itu pastilah UI. Saya tahu kapasitas diri saya, bayangan saya tak akan mampu menarik perhatian Ikom UI. Itulah sebabnya saya tak jadi memilihnya.

Alasan saya memilih Sastra Indonesia? Ya! Karena saya suka dengan sastra, bukan pandai akan sastra! Jadi tolong bedakan itu. Saya suka membaca, menulis, dan saya sangat ingin menjadi Jurnalis. Ya, jurnalis, bukankah kalau mau jadi jurnalis sebaiknya mengambil Ikom? Nah, alasannya ya karena yang di atas tadi itu. Yaks, I choose my first choice, Sastra Indonesia, Universitas Indonesia. Kenapa UI? Ya, saya kira UI sangat  tepat, dengan akreditas yang baik, dan UI masihlah berada di kawasan Jabodetabek, Kawan!

Meskipun Sastra Indonesia tidak begitu banyak peminatnya, tapi sebetulnya untuk ukuran manusia seperti saya bukanlah hal yang mudah juga untuk bisa mendapatkannya. Pilihan kedua saya adalah Psikologi UNJ. Hmm, memang penempatan pilihan ini jika dilihat dari passing gradenya rasanya terbalik, ya. Tapi tidak terbalik dari segi urutan yang saya minati. 

Kenapa Psikologi? Ya, sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik menjadi semacam life observer, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti mereka tampaknya, bahwa banyak orang yang salah dipahami. Aku suka mempelajari motivasi orang,  mengapa ia berlaku begitu, mengapa ia tampak seperti ia adanya, apa perspektifnya terhadap suatu situasi, dan apa ekpektasinya. Itulah daya tarik menjadi seorang life observer.Dan aku kira psikologi sangat mendukungku. Pilihan ketigaku adalah jurusan yang sama di pilihan pertama. Kali ini aku memilih Sastra Indonesia di UNJ.

Setelah aku menengok betapa sulitnya soal-soal SBMPTN itu, aku jadi berpikir harus punya satu pilihan yang setidaknya dapat mengamankanku agar bisa lolos di PTN. Maka dari itu SI UNJ kurasa adalah pilihan yang tepat. Yaks, sebelum menentuka pilihan, ukurlah dulu tinggi bayangan kita. Peluang untukku masuk di sini lebih banyak. 

Mungkin akreditasinya B, tapi itu tidak jadi masalah. Yang ada di kepalaku, aku mau kuliah dibidang yang aku minati. Sudah cukup bagiku yang namanya SALAH JURUSAN itu. Aku tak peduli orang akan bilang apa pada pilihanku. Terserahlah, itu urusan mereka. Aku adalah aku, aku bukan mereka. Sudah direstui kuliah saja, sudah sangat membahagiakan bagiku. Pasti bedalah dengan kalian yang tinggal pilih universitas. Hehe.

Untuk menempuh SBMPTN saya sama sekali tidak ikut bimbel manapun. Saya ini belum bisa menghasilkan uang, jangankan untuk bayar bimbel, untuk jajan saja saya masih minta ibu, jadi saya tak ingin merepotkan beliau lagi. Saya tidak mau tidak dapat restu lagi. Itu menyakitkan. Saya belajar sendiri dari buku-buku yang di jual di tokonya dan membaca sebanyak mungkin dari internet. 

Saya tidak pernah sekali pun ikut try out. Saya hanya mengandalkan pemahaman konsep yang saya lihat dari soal tahun ke tahun. Untuk menguasai pelajaran soshum saya membaca buku sebanyak-banyaknya. Ya, sangking terlalu asik membaca pelajaran soshum, saya tanpa sadar menelantarkan TPA. Ah, tentu manajemen belajar saya ini sangat kacau. Tapi saya tidak kehilangan semangat, optimis!

Saya yakin dengan pilihan saya!!

Brave your self. The real examination will come!!

Tanggal itu adalah hari pertaruhan. Persiapan selama ini saya rasa cukup menjadi bekal untuk saya bertarung dengan soal-soal ini. Yaks, saya jalani ujian itu dengan lancar dan berhati-hati.

Sebulan penantian sudah ditunggu! Setelah hari pertaruhan itu, saya tak membuka lagi soal-soal itu, tak berniat pula mengetahui kunci jawabnnya. Satu-satunya yang saya lakukan hanya memulangkan segala urusan kepada Allah swt, saya pasrah. Bagaimana hasilnya saya yakin itu adalah yang terbaik. Kalau tidak lulus tahun ini, itu berarti Allah ingin aku kerja lebih dulu. Supaya nanti punya uang dan bisa kuliah di Jawa di kampus yang sesungguhnya aku mimpi-mimpikan selama ini. Ya, terus berpikir positif, berkata yang baik-baik dan menghargai yang telah terjadi. Itu semua akan membuat hati selalu bahagia.

"MOHON MAAF, PESERTA ATAS NAMA FINDA RHOSYANA DENGAN NOMOR PESERTA *********
DINYATAKAN TIDAK DITERIMA PADA SBMPTN 2016
JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT !!!"

Galau? Of course!

Namun, aku yakin. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Esok akan lebih baik.

Barang kali jalan takdirku bukanlah di UI atau UNJ, namun sebuh tempat yang sejak lama telah aku rindukan. Yang kelak, semoga bisa benar-benar menjadi masa depanku. Kini, aku harus mencari uang, Kawan. Memangnya mau apa lagi ya? Hahaha. Aku harus membanting tulang agar bisa sekolah lagi di tempat yang ku inginkan. Allah pasti simpan rencana baikknya untukku. Aku yakin itu!

Bagaimana pun, aku telah merasakan manisnya madu restu kuliah dulu. Meskipun kini aku belum berhasil, setidaknya aku tidak punya lagi rasa sakit hati terhadap orang tuaku.

Ya, karena kita hidup tidak hanya untuk hari ini. Maka, bijaksanalah. Aku insaf karena telah menjadi si penikmat masa ini yang tak pernah memikirkan tujuan hidup. Aku sudah dewasa kini. Sangat memalukan bila masih saja jalan di tempat. Penting menentukan visi kita kedepan!

Intinya saat teman-teman SBMPTN nanti, pikirkanlah pilihan yang realistis bagi teman-teman, bukan pilihan yang membuat teman-teman akan gagal, memang faktor lucky.Optimis boleh, tapi realitislah karena kita hidup di dunia nyata, bukan dongeng!

Terima kasih sudah membaca, semoga ya bisa menjadi inspirasi, bukan sok memotivasi atau menggurui, saya hanya ingin berbagi.

Jakarta, 30 Juni 2016

NB: Sejujurnya saya sengaja baru memposting tulisan ini sampai di hari di mana saya merasa sudah siap, saya berniat mempostingnya di hari di mana saya sudah resmi dinyatakan berkuliah di perguruan tinggi negeri. Alhamdulillah, hari itu tiba di tahun ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun