Mohon tunggu...
Deffina Aprinanda
Deffina Aprinanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga Program Studi Sosiologi

Menulis adalah cara keluar dari pikiran yang rumit dan menjengkelkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tercekik Ekspektasi Keluarga Berujung Depresi dan Bunuh diri?

9 Juni 2023   10:53 Diperbarui: 9 Juni 2023   11:05 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Apa itu sekolah seni? Mau jadi apa kamu? Masuk kedokteran aja!"  

"Konsultasi psikolog? Kamu cuma kurang ibadah!"

Percakapan diatas hanyalah salah dua contoh belenggu yang diberikan orang tua pada anak. Keluarga yang baik untuk tumbuh kembang anak adalah lingkungan yang membuatnya tumbuh dengan sehat baik secara fisik maupun mental. Anak yang mampu bercita-cita serta keluarga yang mampu dan mau mengusahakan tercapainya cita-cita membuktikan bahwa ia tumbuh di keluarga yang baik, hal tersebut tentu akan mempengaruhi perkembangan karakter anak.

Pada kenyataannya, banyak keluarga yang tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus depresi pada anak karena tidak berjalannya sosialisasi primer secara sempurna. Sosialisasi primer sendiri didefinisikan sebagai sosialisasi pertama yang dijalani oleh individu semasa mereka kecil dan belajar menjadi anggota masyarakat.


Sebagai mestinya, sebuah keluarga berfungsi sebagai tempat pulang di mana anak-anak mampu merasakan rasa aman, nyaman, dan terpenuhinya afeksi dari anggota keluarga terkhususnya dari ayah dan ibu. Namun, hal sesepele itu saja orang tua tidak mampu memberikannya, orang tua yang memiliki pola pikir seperti itu tidak layak memiliki tanggungan hidup seumur hidup. Karena anak tidak bisa memilih seperti apa orang tuanya, namun orang tua bisa memilih mau menjadi orang tua yang seperti apa untuk anaknya.
Orang tua yang melakukan toxic parenting tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan itu salah. Dalam beberapa kasus, orang tua yang melakukan toxic parenting adalah korban dari toxic parents sebelumnya. Istilah mengerikan itu membuat banyak orang tua bersikap defensif atau bertahan.

"Strict parents? Toxic parenting? Nggak lah, ya kalau anak nggak dididik tegas gini malah bandel!" (contoh respon orang tua terhadap opini di atas)

Perlakuan toxic parenting ini tidak hanya memperlakukan kasar anak secara fisik namun juga secara mental, orang tua tanpa sadar 'membunuh' anaknya sendiri dengan kata-kata dan harapan yang berlebihan sehingga membuat anak-anak yang merasa sudah tidak didukung secara mental juga ditambah dengan ekspektasi berlebih orang tua.

"Saya mukul anak saya ya karena saya sayang, biar dia gak bandel lagi dan jadi nurut!" (contoh respon orang tua terhadap opini)

Berlebihannya ekspektasi orang tua pada anak bukannya menambah semangat untuk maju dan berproses namun makin menekan dan mematahkan semangatnya. Hal ini bisa dilihat dari banyak kasus anak-anak yang memendam cita-citanya karena terpaksa memenuhi impian orang tuanya. Memang awalnya orang tua merasa hanya mengarahkan, namun sebenarnya ada tekanan yang diberikan dan penolakan akan impian sang anak yang susah payah disampaikan seperti memberikan komentar negatif tentang cita-cita sang anak demi mengunggulkan impian kedua orang tuanya. Penekanan yang dilakukan orang tua memberikan bukti nyata bahwa mereka memiliki sifat egois dan kurang empati dalam merespon keinginan anak. Selain dua hal di atas masih banyak lagi contoh toxic parenting yang dilakukan oleh orang tua di luar sana tanpa sadar. Seperti contohnya orang tua yang mengatur hidup anaknya dari A sampai Z, semuanya harus sesuai dengan kriteria dan rencana orang tua tanpa memikirkan dan mempertimbangkan pendapat sang anak, hal tersebut selain menganggu proses pembentukan respon dan perkembangan anak dalam menyampaikan pendapat juga mampu menganggu kinerja otak dan psikologis anak sejak dini.


Anak yang tumbuh dari lingkungan toxic parenting akan lebih sulit untuk bangkit menemukan jati dirinya karena kekangan orang tuanya yang menjadikan sang anak sulit bertahan di luar zona nyamannya. Mereka yang menjadi korban akan membawa efeknya hingga dewasa. Efek negatif yang mereka rasakan ialah tumbuh menjadi pribadi yang memiliki citra buruk, merasa tidak berharga, merasa tidak memiliki teman, dihantui rasa bersalah, stress, mudah marah, dan gangguan mental lainnya.


Depresi yang dirasakan anak-anak bukanlah masalah sepele yang bisa diselesaikan hanya dengan mendekatkan diri pada Tuhan, memang tidak ada salahnya melakukan itu, namun akar masalahnya bukan karena kurangnya ibadah anak tapi kurangnya kesadaran orang tua akan kondisi mental anak yang mereka rusak tanpa sadar dilakukan terus menerus. Melempar kesalahan ke anak karena mengidap gangguan mental dan tidak melakukan refleksi diri atau introspeksi diri menjadikan depresi yang anak-anak alami semakin parah, apalagi terus menyalahkan dan menuntut anak menjadi sempurna.


Tekanan yang datang bertubi-tubi dari berbagai arah tanpa adanya sandaran untuk berkeluh kesah atas perasaan yang mereka rasakan harusnya membuat orang tua sadar diri bahwa anak adalah milik mereka sendiri, bukan milik orang tua. Karena itu, orang tua sebenarnya tidak memiliki hak untuk menuntut dan menekan anak mereka sendiri. Alhasil, anak akan mengalami gangguan mental dan tak jarang yang buntu dalam menemukan solusi dan memilih untuk mengakhiri hidupnya.


Pernahkah orang tua merasakan apa yang dirasakan anak saat mereka terus menekan dan menuntut anak agar menjadi yang orang tua inginkan? Sepertinya hal tersebut jarang dilakukan. Karena orang tua cenderung berpikiran kolot dan meremehkan perasaan anak, tak sedikit yang akhirnya menyesal dan menyalahkan orang lain setelah sang anak memutuskan mengakhiri hidup. Yang dirugikan dalam hal ini adalah anak, karena mereka tidak bisa hidup sesuai impian mereka karena cekikan dari orang tua yang semakin ketat, kurang bebasnya ruang gerak mereka karena kekangan orang tua yang tidak mempercayai pilihan yang diambil juga menjadi faktor stress pada anak-anak.

"Loh, saya nggak mengekang anak saya, saya begini biar masa depan mereka nggak berantakan. Saya kan punya banyak pengalaman dari dia." (contoh respon orang tua terhadap opini di atas)

Depresi dan percobaan bunuh diri pada anak-anak bukanlah hal sesepele karena mereka kurang dekat dengan Tuhan, namun bisa karena orang tua yang tidak sadar diri akan apa yang sudah mereka lakukan pada anak mereka. Biarkanlah anak-anak bebas memilih impian mereka, tak perlu mengekang sampai menolak mimpi anak karena dianggap tidak sesuai dengan idealis orang tua, jika begitu orang tua bagi anak hanyalah manusia yang kejam dan tidak berperasaan pada mereka. Kasarnya, sang anak adalah korban pembunuhan karakter dan orang tua adalah pelaku pembunuhan karakter anak.


Lalu bagaimana jika orang tua yang sudah terlanjur melakukan kejahatan tersebut? Yaitu dengan introspeksi diri dan merangkul anak agar bisa merasakan 'rumah' dari orang tuanya, perbanyak family time dan berikan kepercayaan penuh pada anak dalam menentukan langkah selanjutnya. Lalu pencegahan untuk calon orang tua yang tidak mau melakukan toxic parenting adalah belajar ilmu parenting sebelum memiliki anak, menunda punya anak jika kondisi mental sebagai orang tua masih tidak stabil, lalu tidak memaksakan mimpi kita pada anak. Dengan begitu kita bisa menjadi orang tua yang siap dan baik sebelum memiliki anak dan membantu menekan angka depresi dan kematian karena bunuh diri pada anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun