Pada zaman yang semakin canggih dan tantangannya yang luarbiasa, ternyata banyak diantara masyarakat kita yang luntur kepercayaannya terhadap pendidikan, selain itu ditambah masyarakat kita yang semakin pragmatis. Memandang kesuksesan sebuah pendidikan hanya berdasarkan keberhasilan di dunia pekerjaan. Sebagian masyarakat menggangap bahwa pendidikan itu tidak penting. Sekolah atau tidak sekolah, dinilai sama saja. Tidak mendapat dan mejadi apa-apa, anggapan itu muncul karena masyarakat tersebut hanya berpatokan pada lulusan sarjana yang sulit diserap oleh bidang pekerjaan.
 Data angka putus sekolah di Indonesia meningkat, padahal anggaran dana yang dikeluarkan tinggi. Penelusuran saya terkait masyarakat di Indonesia tahun ajaran 2022/2023 disemua jenjang mencapai 76.834 orang. Rinciannya, pada Tingkat SD 40.623, SMP 13.716, SMA 10.091 dan SMK 12.404.
Apa Faktor Yang Paling Berpengaruh Pada Putus Sekolah?
Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor ekonomi pada putus sekolah. Padahal pemerintahan Jokowi telah mengalokasikan sekitar 20% anggaran pendidikan dari APBN. Pada perjalanannya, anggaran pendidikan dari tahun ke tahun makin meningkat.
Namun juga, tidak semua masyarakat yang tidak menyekolahkan anaknya benar-benar memiliki masalah ekonomi yang berat. Selain faktor ekonomi, ada juga masalah mental masyarakat kita yang harus terus dibangun. Hal ini terkait kepercayaan masyarakat yang memudar tentang pendidikan. Mereka pesimis pada nasib masa depan, bahwa dengan bersekolah ataupun tidak, mereka tidak akan kemana-mana. Dibanding belajar di sekolah, mereka diarahkan langsung bekerja mencari uang. Membantu perekonomian keluarga. Inilah yang sangat disayangkan, sebab mereka hanya anak-anak yang tidak tau arah. Mereka dalam kondisi putus sekolah sebab tidak memiliki dukungan. Kebanyakan yang tidak menlanjutkan pendidikan dipaksa bekerja. Menurut mereka itu jauh lebih baik, dibanding sekolah hanya buang waktu dan uang. Apa benar demikian? Bagaimana nasib akan membawa mereka di masa depan?
Pendidikan hadir ditengah kehidupan masyarakat tentu untuk mencerahkan, membawa kebaikan. Dan kebaikan itu akan tercapai dengan catatan antara pendidik dan yang terdidik beserta lingkungan siswa khususnya orangtua juga bersinergi. Saling bekerjasama menjalankan proses pendidikan dengan baik. Ketika sistem pendidikan kita terus berinovasi, berusaha memberikan yang terbaik, maka yang terdidikpun diharapkan mampu mengikuti perosesnya dengan baik pula. Karena tidak mungkin pendidikan menghasilkan buah yang baik jika salah satu dari komponen  tersebut tidak berusaha dengan baik.
Saya pribadi sering bertanya-tanya. Apa yang saya peroleh selama proses pendidikan dari SD hingga SMA/sederajat. Terlebih lagi saya dari generasi 2000an. Dimana tekhnologi informasi masih seadanya. Apakah akan berbeda dengan lulusan SD-SMA yang saat ini? Mungkin yang jadi barometer hasil belajar dari SD hingga SMA memang tidak bisa diukur dari materi atau pekerjaan. Tapi mempersiapkan kematangan karakter anak menuju masa dewasa awal inilah, sebagai hasil dan bekal seorang anak melanjutkan fase kehidupan yang selanjutnya.
Peroses belajar di sekolah, bertemu dengan teman-teman dengan karakter berbeda, serta guru dan matapelajarannya yang beraneka ragam. Itu adalah bentuk peroses  yang kompleks menjadikan seorang memiliki bekal pada saat memasuki dewasa awal. Bekal itu diantaranya mampu; menjadi pribadi yang bisa beradaptasi dengan keadaan. Sadar segala sesuatu yang akan dihadapi dimasa yang akan datang butuh dengan yang namanya proses; proses belajar, proses berpikir kritis, mampu menghadapi tantangan, percaya diri, berdisiplin, dan berpikir kreativ.
Memang kalau dikaitkan, buat apa yaaa kita dulu sekolah belajar Geografi secara njelimet. Sedang, sekarang ketika kita didunia kerja, ternyata tidak terpakai sama sekali. Nah, kita tidak fokus ke satu-satu materi pelajaran yang kita dapat di sekolah. Tapi hasil yang lebih luas, pendidikan ternyata menjadikan kita lebih matang secara karakter untuk menjajagi dunia yang lebih luas lagi. Entah, mungkin paparan bagian terakhir ini opini saya semata, atau teman-teman juga relate dengan saya. Contohnya saya sendiri, andai saya tidak menempuh pendidikan sama sekali. Apakah ketika saat ini, ketika saya sedang berperan menjadi full ibu rumah tangga. Mampukah saya berpikir terbuka, terus belajar menjadi manusia yang baik, menjadi istri dan ibu yang baik, mampukah saya mengikuti perkembangan zaman di usia saya saat ini jika tidak sekolah?