Menginginkan kemerdekaan yang lebih besar dari orang Papua karena mereka hidup dengan standar hidup yang lebih rendah daripada provinsi lain di Indonesia. Padahal, pemerintah pusat telah memberikan triliunan rupiah kepada Papua Nugini. Itu belum termasuk banyaknya dana tambahan yang diajukan Gubernur DPR. Selain pendanaan Otonomi Khusus selama lima tahun, yakni sekitar 30 triliun, pembangunan Papua sudah seharusnya terjamin. Namun, dana tersebut tidak cukup untuk membantu orang-orang yang kurang mampu. Ada banyak masalah birokrasi di Papua yang mempersulit masyarakat untuk berbagi sumber daya secara adil. Sederhananya, Barry Buzan menyatakan bahwa memahami keamanan nasional mensyaratkan saling ketergantungan semua pemangku kepentingan untuk menjamin setiap orang merasa aman.
Untuk sumber daya yang akan didistribusikan secara adil, saling ketergantungan diperlukan. Sayangnya, hal ini tidak diamati di Papua. Penulis berpendapat bahwa Papua akan mengalami ketidakstabilan akibat kondisi tersebut. Kondisi ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan nasional jika dibiarkan. Kekerasan berbasis karakter dan berkembang, seperti “api dalam sekam” yang memiliki komponen kesukuan, kekerasan antar kelompok yang terutama disebabkan oleh sifat kekerasan, agama, dan ras, misalnya. Tentu saja, situasi ini mengancam stabilitas sosial dan politik, seperti yang ditunjukkan oleh gerakan separatis atau keinginan untuk merdeka.
Eksploitasi sumber daya alam, kesenjangan ekonomi, homogenisasi identitas budaya, dan homogenisasi pemerintah daerah merupakan faktor ancaman non-militer di Papua jika kita tidak berbuat apa-apa. Ketiga unsur tersebut di atas, yang dapat kita klasifikasikan sebagai bagian dari proses sekuritisasi, merupakan ancaman stabilitas keamanan jangka panjang Papua karena secara tidak langsung “menyerang” tatanan sosial negara. Jika sumber daya alam tidak mencukupi, ketimpangan akan meningkat dan ekonomi akan berkembang jika identitas budaya dan komunitas tidak dilestarikan. Individualisme dan kepribadian saingan perlahan menghancurkan identitas budaya Papua.
Penulis menyimpulkan bahwa efek domino berurutan menurunkan kualitas Indonesia secara keseluruhan sebagai akibat dari faktor-faktor tersebut. Secara khusus, konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah atas isu-isu seperti keseragaman identitas, budaya, dan pemerintahan daerah, serta seringnya pemerintah pusat menggunakan langkah-langkah keamanan yang represif, yang menimbulkan ancaman signifikan terhadap papua berdasarkan kekohesifan budaya serta perdamaian dan keadilan sosial Indonesia secara general. Akibatnya, jika terjadi konflik non-militer, keamanan nasional Papua kembali terancam.
Mendukung hak pilih rakyat Papua dalam referendum Papua Merdeka (OPM) yang akan berlangsung setelah referendum OPM, merupakan prioritas utama Indonesia dalam rencana pemerintah mengakhiri konflik. Sebuah faksi politik di partai yang berkuasa di Indonesia memiliki saham yang lebih kecil di OPM. Dalam skenario ini, mereka tidak dapat mengklaim Papua sebagai wilayah Indonesia karena hal tersebut. OPM melanjutkan praktik separatisnya dengan merekomendasikan referendum warga negara Indonesia. Dalam hal ini, horse-trading merupakan metode negosiasi yang jika digabungkan dengan dialog antara dua orang atau lebih, bisa menjadi sangat efektif. Di sisi lain, pemerintah Indonesia perlu bersiap menggunakan strategi dialog yang menitikberatkan pada peningkatan efektivitas aspek politik, arah pembicaraan, dan negosiasi. Selain itu, pemerintah Indonesia telah memulai pembahasan tentang pemilihan HAM. Namun, beberapa faktor harus diperhitungkan agar pilihan ini berhasil.
Nama : Filzah Evelin Amirah Barges
Nim : 07041282126091
Mata Kuliah : Studi Keamanan Internasional
Dosen pengampu : Nur Aslamiah Supli, BIAM., M.Sc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H