Mohon tunggu...
Humaniora

Curhatan Kami Masyarakat Lokal; Ketika Aset Kekayaan Kawasan Timur Tersentuh Investor

17 Juni 2016   09:31 Diperbarui: 17 Juni 2016   09:48 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika kita berbicara mengenai kawasan timur, tentu kita akan berbisik senang menemukan harta yang terpendam dan kita akan menggumam pongah seketika "inilah firdaus yang tersembunyi".

Aset yang berharga bagi siapa pun yang menyentuhnya, mengolesnya perlahan akan menghasilkan permata nan elok. Semua tergiur, semua berlomba- lomba, berlari kencang untuk menjadi yang terdepan untuk dapat menyentuhnya. Ya, semua pasti setuju. Siapa pun itu !

Pertanyaannya sangat sederhana dan simpel. Ketika disentuh oleh mereka yang "berlari kencang", apakah sesuatu yang mereka sentuh itu akan sepenuhnya milik mereka ? Dan apakah kami penduduk lokal tak bisa menikmati itu ?

Ketika saya kecil, begitu gampangnya saya menyentuh bibir pantai, bermain bercanda dengan riaknya ombak. Saya pun dengan mudahnya bercengkrama dengan pasir nan halus. Sangat mudah dan begitu gampang. Tanpa sedikit pun saya ditegur, tanpa sedikit pun saya dibentak. Oleh siapa pun, karena itu adalah aset kami, kekayaan kita semua, rekreasi publik yang notabene adalah bercengkrama alam dengan manusia. Alam pun pasti tentu punya keinginan bebas bercengkrama dengan siapa pun, bukannya dikurung sekaligus diatur- atur.

Ketika saya sudah beranjak dewasa, kekuatiran yang berkelibat di kepala yang menjadi momok yang menakutkan, takut kehillangan asetku, takut kehilangan pantaiku sekarang benar- benar terjadi.

Ketika pemerintah membuka gerbang star, seperti yang saya kemukakan di atas semua berlomba- lomba jadi yang terdepan. Merebut dengan politik, menabrak dengan hasutan. Kami cuman terdiam dan dibuat terbengong dengan ulah- ulah ini. Oh, dan akhirnya ternyata alamku dijadikan komersialisasi, menikmati alam ciptaan Tuhan pun harus membayar, sungguh akan sangat marah Tuhan melihat makluk bijaksana ciptaannya mempunyai ulah seperti ini.

"Alamku masuk dunia politik" demi satu tujuan "keuntungan sebesar- besarnya".

Para investor akan menggunakan akal apa pun demi alamku semua didekati dengan kerjasama keuntungan.

Pertanyaanan kembali muncul, siapa yang didekati ?

Yang mempunyai kewenangan seenak hati mengatur aset tanpa tau itu milik siapa, petinggi provinsi didekati dan mengambil ahli kebijakan, semua diatur olehnya, padahal itu aset punya pemerintah daerah. Dan, alhasil karena salah pendekatan dan semau kewenangan gubernur, rakyat jadi sasaran tak bisa sesuka hati bercengkrama dengan alam. Ini akan berlangsung lama karena sudah terikat kontrak 25 tahun.

Begitu lamakah alamku dikurung ?

Butuh kepedulian semua pihak. Terutama yang benar- benar punya kewenangan. Alamku tak mau dikurung tapi tak menolak diperdayakan. Aset itu setidaknya memberikan dampak positif kepada orang- orang di sekitarnya, bukan malah sebaliknya alamku begitu jauh dari orang- orang yang telah puluhan tahun hidup bersamanya. Serasa dipisah setelah besar sedangkan dari kecil sudah bersama- sama.

"Sentulah alamku, manjakan dia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun