Namun dengan kian membesar nya daerah kekuasaan Dinasti Abbas, membuat para Khalifah dikala itu mengalami problematika yang begitu rumit, baik itu dari permasalahan internal maupun eksternal, mengakibatkan melemahnya kekuasaan Islam pada saat itu.
Terjadinya perpecahan besar-besaran antar golongan suku Arab membuat Dinasti Abbas keok dalam perpolitikan dengan Bangsa-bangsa besar lain nya. Hingga pada masanya, akhir keruntuhan Abbasiyah terjadi oleh serangan Bangsa Mongolia secara besar-besaran terhadap umat Islam di berbagai wilayah kekuasaan Abbas.
Salah satunya kota Baghdad sebagai pusat peradaban Intelektual Islam, ikut di bumi hanguskan oleh penguasa Mongolia yang bernama Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M.
Seseorang cucu dari Jengis Khan, yang merupakan pencetus dari terjadinya penyerangan bangsa Mongol terhadap Negeri-negeri Islam tersebut. Bangunan-bangunan megah di ratakan oleh tanah, termasuk juga perpustakaan Bait Al-hikmah sebagai pusat penelitian keilmuan terbesar sepanjang sejarah, ikut hancur oleh serangan tersebut.
Pada masa inilah umat Islam mengalami kemunduran pemikir-pemikir keilmuan sejati yang menghasilkan banyak disiplin keilmuan, disebabkan oleh peperangan antar Bangsa dan Kerajaan yang berangsur lama. Semakin terpuruk peradaban Intelektual muslim, ketika pada masa dinasti Mamalik (mesir) para Khalifah menolak keras Ilmu Filsafat, mereka beranggapan bahwa ilmu itu bukan berasal dari Agama Islam dan bertentangan dengan ajaran Alquran.
Dikarenakan Pada masa ini, metode berpikir umat Islam telah berubah menjadi tradisional kembali. Dengan datangnya pemikiran Imam Al-Ghazali yang lebih condong menjauhkan diri dari hal duniawi mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam, nan melahirkan Ilmu baru yakni Tasawuf (Ilmu pembersihan hati).
Hal ini berakibat tidak kritisnya kembali pemikiran umat Islam, terhadap Politik, Ekonomi, serta masih banyak hal lain nya yang membuat umat Islam tidak berpikir kritis akan hubungan duniawi. Selama itu pula yang dapat dilakukan mayoritas umat Islam hanya mengikut pendapat serta fatwa tokoh-tokoh Islam.
Umat malas mengasah dan mengembangkan pemikirannya, dikarenakan telah terbiasa oleh budaya tradisional yang hanya mengikuti pendapat tanpa berfikir kritis akan pemikiran nya sendiri. sedangkan jika hanya mengandalkan hal itu, akan berakhir pula jawaban-jawaban yang diberikan para tokoh islam tersebut, dengan keadaan wafat nya para tokoh tersebut.
Kembalinya pemikiran tradisional umat Islam bukan hanya pada abad dinasti Mamalik saja. Akan tetapi pemikiran tersebut terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga masih terasa pada abad saat ini (modern). Pemikiran tersebut seolah telah menjadi budaya Islam dan mengakar pada pemikiran mayoritas umat muslim.
Bukanlah sesuatu kesalahan fatal kenyataan tersebut, akan tetapi yang ditekankan penulis dalam artikel ini. Alangkah luar biasanya jika dua Ilmu kutub (Ilmu yang amat berbeda) tersebut yakni Filsafat dan Tasawuf, digunakan bersama sebagai sarana kebangkitan Intelektual muslim pada era disrupsi saat ini, dan meraih tahta keemasan nya kembali.
Era disrupsi merupakan zaman "sesuatu tercabut dari akarnya". Pada masa ini umat Islam telah mengasah kembali akal kritisnya, menggunakan Filsafat sebagai alat menaklukkan hal duniawi serta mematahkan Argumen orientalisme sekularisme dan lain-lain.