Mohon tunggu...
EconoSphere
EconoSphere Mohon Tunggu... Penulis - Kuasai Ekonomi dengan Sederhana

Thank you for your time, don't forget to drink water and happy reading.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Uji Kelayakan Calon Anggota Legislatif Berbasis FIT and Proper Test

1 Oktober 2023   00:46 Diperbarui: 1 Oktober 2023   01:17 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UJI KELAYAKAN CALON LEGISLATIF BERBASIS FIT AND PROPER TEST DAN TES WAWASAN ASPIRASI DAERAH UNTUK MENYIKAPI MANUVER PARTAI POLITIK DALAM MENGUSUNG CALEG ARTIS SEBAGAI VOTE GETTER

Pendahuluan

Demokrasi sebagai dasar asas pemilu merupakan wujud manifestasi  negara dalam rangka memilih pemangku mandat kekuasaan rakyat melalui lanskap politik. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang 'Utopia' dimaknai satu tingkat di atas idealis, sehingga hampir mustahil dalam melaksanakan demokrasi yang sempurna. Teori yang ditawarkan demokrasi seakan memberikan harapan melalui blue print yang menggambarkan masyarakat berkeadilan hingga makmur. Namun teori memang selalu tidak seindah angan-angan, seringnya demokrasi justru berjalan tak sesuai harapan.

Bertonggak pada label negara demokrasi, Laissez Faire-- Biarkan apa adanya, menjadi ungkapan yang tepat dalam representasi pemilu di Indonesia. Upaya realisasi Demos dan Kratos (Kekuasaan Rakyat) dalam pemilihan umum dijadikan sebagai sarana legitimasi rakyat yang dinilai kental akan nilai-nilai politik yang 'dibuntuti' dengan pola perilaku masyarakat sebagai respon terhadap pemilu. Indonesia sendiri mengalami empat perkembangan demokrasi dalam versi yang berbeda. Demokrasi liberal gaya barat dinilai tidak cocok di Indonesia dengan status negara baru merdeka, Demokrasi terpimpin dinilai bertolak belakang dari definisi dan fungsi demokrasi itu sendiri ditandai dengan pembubaran dewan konstituante dan menjadikan dekrit presiden sebagai landasan negara. Demokrasi pancasila bahkan kehilangan esensinya karena monarki gaya baru diciptakan dibalik sistem demokrasi. Kian demokrasi kembali bangkit di era reformasi yang sudah berlangsung selama 25 tahun hingga saat ini, dengan segala bentuk fenomena dan dinamika masyarakat dan negara, akankah reformasi akan kembali dikhianati setelah pemilu 2024?

Mahkamah konstitusi telah menetapkan pemilu 2024 tetap pada sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka memiliki relevansi yang kuat atas pengalaman 'sepah' sistem proporsional tertutup era orde baru yang tidak demokratis dan hanya melahirkan 'robot-robot' partai politik di kursi parlemen. Tidak terlepas dari kelemahan, sistem proporsional terbuka membuat bahagia para artis yang mendadak beralih profesi menjadi politikus jalur undangan partai tanpa proses kaderisasi, dan pemahaman politik hanya sebagai vote getter.

Pembahasan

Satu tahun dalam lini waktu menunjukkan semakin dekatnya menuju era pesta demokrasi 2024. Atmosfer politik dalam proses menuju titik momentum ditandai dengan naiknya suhu politik nasional. Rentetan manuver politik menunjukkan pesatnya persaingan antar partai politik dalam mengusung kader partai, menjadi representasi awalan pemilu tahun 2024. Gesekan antar parpol yang berupaya menarik masa dengan beragam macam cara semakin beragam. Terpampangnya wajah-wajah kader dengan gaya ciri khas partai mulai berjejer di tengah padatnya jalanan kota. Bagian yang menarik adalah, kemunculan wajah-wajah familier dalam segmen hiburan televisi juga turut memeriahkan rentetan baliho. Tentu menggaet artis bukan lagi genre baru, popularitas dan memanfaatkan fanatisme pengikut menjadi hal yang 'sexy' bagi partai politik dalam menggaet kader partai untuk dicalonkan sebagai Calon Anggota Legislatif, yang diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas partai (vote getter.) Partai politik di Indonesia bahkan dinilai hanya terkesan nafsu belaka dalam mengisi kursi parlemen sebanyak-banyaknya hingga tidak memperhatikan kompetensi dan
output yang jelas dari calon anggota legislatif yang diusulkan.

Keterlibatan artis dalam politik dikategorikan menjadi 2 tipe. Tipe Celebrity Endorser dalam konteks politik, popularitas artis digunakan untuk dapat mengajak masyarakat memilih calon yang telah melakukan endorsment terhadap artis tersebut yang dinilai berhasil mempengaruhi pandangan pemilih terhadap kredibilitas calon (Morin, dkk: 2012). Tipe yang kedua adalah Celebrity Politician, Berbeda fungsinya dengan Celebrity Endorsement, tipe ini secara langsung calon yang akan dipilih berlatar belakang entertainment dan cenderung menggunakan popularitasnya untuk mendapat perhatian dan suara dukungan dari masyarakat (Street, 2004). Calon berlatar artis, yang didaftarkan oleh partai politik layaknya komoditas yang laris dalam menjual nama partai yang diliput media.

Hingga saat ini, tercatat 65 nama caleg berlatar belakang artis, yang beberapa diantaranya menarik perhatian masyarakat hingga dinilai sebagai manuver politik. Seperti kemunculan Verrel Bramasta di Partai Amanat Nasional (PAN), dan Aldi Taher yang berawal dari Partai Bulan Bintang (PBB) kini beralih ke Partai Persatuan Indonesia (Perindo) setelah diketahui berstatus ganda sebagai bacaleg dua partai berbeda, yang bahkan dinilai telah 'menggocek' sistem pemilu Indonesia. Kehadiran Aldi Taher dengan branding diri yang berbeda dengan dengan Caleg lainnya membuat masyarakat menyoroti dalam beberapa wawancara. Salah satu wawancara yang paling fenomenal terjadi ketika presenter dari TV ONE justru menjadi panggung hiburan politik. Jawaban 'apa adanya' dinilai jujur oleh masyarakat hingga ramai di media sosial ungkapan "All in Aldi Taher" sebagai bentuk alienasi politik. Fenomenalnya kehadiran Aldi Taher dikaitkan dengan Alienasi politik yang berarti kekecewaan masyarakat pada sistem politik, rasa putus asa dan merosotnya partisipasi politik yang diprediksi akan mewarnai pemilu 2024.

Sampai saat ini, tidak terdapat data yang secara empirik menunjukkan artis yang berada dalam parlemen tidak berkompeten. Kemunculan stigma negatif atas inkompetensi caleg artis dilekatkan atas dasar kepopuleran. Dalam kasus maraknya Celebrity Politician, meninjau amanat Undang-Undang No. 2 Tahun 2008, Pasal 11 yang menegaskan seharusnya partai politik berfungsi sebagai media pendidikan politik, agregasi kepentingan masyarakat, dan rekrutmen dalam mengisi jabatan politik baik Capres, Caleg, atau Kepala Daerah. Dapat diartikan bahwa partai politik adalah satu-satunya lembaga yang memiliki peran strategis dalam proses kaderisasi menjelang pemilu. Saat ini justru Partai politik lebih cenderung mengundang caleg artis tanpa adanya proses kaderisasi dan minim pengetahuan politik sampai dengan tidak memahami isu sosial yang akan dibebankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun