Mohon tunggu...
Filma Dewi Lukito
Filma Dewi Lukito Mohon Tunggu... Lainnya - See The World By Writing

See The World By Writing

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Lakon Anak di Balik Pertanyaan "Kapan Kawin?" Lewat Film Kapan Kawin (2015)

16 Desember 2020   01:03 Diperbarui: 17 Desember 2020   13:00 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapan Kawin (2015) Sumber: @Kapankawinmovie via Twitter 

Kemudian dari bahasa yang digunakan oleh orang tua Dinda. Ya! bahasa Jawa. Jadi film ini juga dapat kita anggap sebagai ungkapan budaya Jawa tentang pernikahan.

Lahir dan besar dalam budaya Jawa dan beberapa kali melihat orang dekat menikah dalam adat Jawa, saya cukup mengerti bagaimana kondisi Dinda juga merupakan tekanan dari budaya yang direpresentasikan dalam film.

Dalam adat Jawa, seorang perempuan yang membujang hingga usia 30 tahun disebut sebagai 'perawan tua' dan 'ora elok'. Artinya, kalau kita wanita Jawa punya status jomblo sampai usia 30-an, itu artinya hal yang tidak baik. Sehingga menikah merupakan suatu hal yang krusial untuk dapat digapai.

Belum lagi, biasanya orang Jawa memiliki kebiasaan bersengkuyung alias sosialis. Sehingga di lingkungannya, semua orang terkesan lebih akrab dan dalam kebersamaan itu seolah tercipta 'urusanmu bisa menjadi urusanku'.

Film "Kapan Kawin" turut menunjukkan kekhawatiran kedua orang tua Dinda yang tidak mau untuk menjadi bahan omongan tetangga sehingga memperkuat desakan kepada Dinda untuk mau menikah.

Hal lainnya yang dapat kita lihat dalam film ini adalah bagaimana seorang Dinda memiliki gejolak dan atau konflik batin dalam dirinya sebagai seorang anak. Hingga keputusasaan Dinda membawanya untuk mengakali keadaan dengan memutuskan untuk menyewa pacar demi orang tuanya.

Cerita Dinda yang berjuang mengalihkan perhatian orang tuanya untuk dirinya lepas dari pertanyaan 'kapan kawin' rupaya tidak berhenti setelah Dinda membawa Satrio, sang pacar bayarannya. Justru Dinda harus terjebak dalam kondisi kepura-puraannya bersama dengan Satrio.

Maksa abis! Itulah kesan yang saya rasakan untuk sikap kedua orang Dinda. Saya dapat melihat representasi budaya Jawa yang digambarkan cukup kolot di sini. Hal tersebut merupakan sisi patriarki dan otoriter yang dimilliki sebagian orang tua dalam mendidik anak dan keluarganya.

Tidak lupa bukan bahwa Dinda beperan sebagai anak di dalam film ini? Ya, film yang sangat apik untuk ditonton ini menggambarkan sosok Dinda sebagai anak yang patuh ke pada orang tuanya.

Namun kepatuhannya dihadirkan dalam film adalah sebagai bentuk patuh untuk menyamankan hati orang tuanya. Hal itu terjadi oleh karena keinginan orang tuanya yang ini dan itunya bersifat "harus" seusai dengan ekspektasi mereka.

Selain itu, ayah Dinda digambarkan sebagai sosok laki-laki pemimpin yang memegang kendali dalam kapal keluarganya dan mengharapkan anaknya untuk dapat bertindak sesuai dengan keinginan dan perkataannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun