Mohon tunggu...
Filivi Delareo Wanwol
Filivi Delareo Wanwol Mohon Tunggu... -

Stock Observer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesona Potretmu

3 Oktober 2017   15:29 Diperbarui: 3 Oktober 2017   15:36 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hei oper bola itu kepadaku!" teriak salah satu anak,

"Langsung tendang aja bolanya. Gausah pikir panjang!"

"Eh kiper nya fokus lah."

"GOLLL!!!!"

Suara-suara inilah yang selalu aku dengar setiap sore. Duduk di bangku kayu seperti biasa sembari melihat anak-anak yang sibuk bermain bola merupakan hal yang aku sukai. Sudah hampir 1 tahun aku melakukan ini, melihat bagaimana anak-anak itu berkembang menjadi sosok yang luar biasa dalam kurun waktu belakangan. Bocah botak itu sudah memiliki rambut, kiper dengan badan yang gempal itu sekarang sudah lebih mendingan, dan anak berkulit hitam itu masih kencang larinya seperti biasa. Aku biasa duduk di bangku ini dari sore hingga suara adzan Maghrib berkumandang. Karena disaat itulah, anak-anak yang sedang bermain ini akan pulang. Menikmati senja dengan roti isi daging dan susu cokelat yang selalu aku bawa memang menenangkan. Udara disini juga cukup segar. Namun, di sore ini ada yang berbeda. terlihat seorang gadis belia sedang duduk di bangku yang sama dengan diriku, melihat pertandingan bola ini juga. 30 menit aku dan dia hanya melihat pertandingan bola tanpa ada percakapan sedikitpun, lantas aku memberanikan diri untuk memulai percakapan,

"Suka bola juga?"

Dia tidak menjawab, hanya fokus dengan pertandingan bola tersebut. Aku yang sudah mulai merasa malu karena tidak dihiraukan, mulai berusaha untuk tidak menciptakan suatu perbincangan.

"Tidak, aku hanya disuruh menemani adikku." Jawabnya,

"Oleh kedua orangtuamu?"

"Tidak, hanya ibu yang menyuruhku. Ayah sedang bekerja." Gerutunya,

"Tapi kenapa kamu seperti kesal begitu? Bukankah seru melihat adikmu bermain bola?"

"Ya kenapa ibu tidak mengerti perasaanku, aku kan juga ingin bersantai di rumah."

"Siapa namamu?" tanyaku,

"Vela."

"Umurmu?"

"14 tahun."

Jawaban singkat-singkat seperti ini memang merepotkan, susah sekali bagiku untuk membuat sebuah percakapan yang nyaman diantara kami berdua.

"Namaku Altara. Umur kita terpaut jauh, kamu 14 sedangkan aku menginjak 23 tahun." Ucapku sembari menggaruk-garuk rambut yang tidak gatal ini.

Namun dia tidak merespon, hanya sesekali merapikan rambut dan melihat adiknya dari kejauhan. Aku yang sudah kehabisan kata-kata, tidak terlalu memikirkan gadis yang sedang kesal ini. Kembali aku menonton pertandingan bola.

"Apakah paman memiliki ibu?" tanyanya,

Mendengar pertanyaan itu, aku tersenyum dan melihat matanya,

"memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Ah tidak, aku hanya merasa bahwa ibuku merupakan ibu yang berbeda dari yang lain." Ucapnya,

Perlahan aku tatap wajah gadis ini, aku bisa menyimpulkan bahwa dia merupakan gadis belia yang sedang melewati masa pubertas dan mencari kebebasan tersendiri. Namun, masih terhalang oleh peraturan dan keinginan orang tua.

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" tanyaku.

"Ibu hanya selalu ingin menjadi ibu, tidak pernah sedikitpun ingin menjadi temanku, ataupun sahabatku. Aku juga mau seperti teman-temanku diluar sana. Yang bisa berbincang panjang lebar dengan ibu layaknya sahabat, yang bisa terbuka sampai dengan pengalaman pribadi tanpa ada sedikit batasan, yang tidak ada sedikitpun jarak yang lebar dan terbatas pada hubungan ibu-anak." Ketusnya,

Aku yang mendengar omongan gadis belia ini, mulai menulis sesuatu di buku kecil yang aku bawa. Lalu aku memberikan itu kepada dirinya. Dia yang membaca itupun bertanya,

"Ini apa?"

"Itu adalah perbincangan antara diriku dengan ibu. Dan kala itu ibu benar-benar menjadi sahabatku."

"Ini kan perbincangan sepele." Ucapnya,

"Tapi bukankah sahabatmu pasti pernah meminta bantuanmu?"

Gadis itu terdiam sembari melihat ulang kertas yang kuberikan.

Belikan Ibu gula sekilo di warung depan, nanti kalau ada kembalian ya kamu pake buat beli jajanan.

"Bukankah seorang sahabat pasti pernah meminta kamu untuk melakukan sesuatu? Entah itu hal besar atau kecil, pasti pernah. Ketika ibu sudah mengatakan hal sedemikian rupa, bukankah kita dapat memaknai kata itu sebagai sahabat yang meminta tolong kepada diri kita?"

Gadis belia itu tidak dapat berkata-kata, dia hanya mendengarkan omonganku namun tetap menatap adiknya yang bermain bola. Aku mengeluarkan roti isi daging yang aku bawa, kuberikan 1 potong kepada dirinya. Lalu dia mengucapkan terima kasih dan melahapnya.

"Menurutmu, roti isi daging itu aku berikan sebagai tanda apa?" tanyaku,

"Pertemanan?" dia mencoba menjawab,

"Bisa dibilang begitu. Bisa juga dibilang permusuhan, atau perselisihan, atau persahabatan, atau per-per yang lainnya. Tapi tahukah kamu, bahwa ibu pasti membuatkan makanan terbaik untuk dirimu. Mengapa kamu tidak pernah berpikir bahwa itu merupakan tanda pertemanan antara dirimu dengan ibumu?"

"Tapi paman, bukan pertemanan dan persahabatan seperti itu yang aku mau. Aku ingin ibu benar-benar menjadi seseorang yang memahamiku. Bukan hanya apa kemauan ibu yang aku turuti. Ibu selalu ingin aku bisa melebihi ibu yang lulusan sarjana." Gerutu Vela,

Aku meminum susu cokelat yang sudah kubawa, aku tidak perlu terburu-buru untuk menjawab atau menyanggah pertanyaan gadis belia ini. Karena aku tahu, jawaban yang dia butuhkan bukan jawaban filosofis dan bijaksana. Namun, jawaban yang sederhana dan dapat dipahami oleh dirinya.

"Ketika paman seusiamu, paman merupakan orang yang benar-benar nakal. Selalu membuat masalah di sekolah, jarang sekali tidur siang, menghabiskan waktu hanya untuk bermain bola ataupun mencari ikan di sungai. Hal itu selalu paman lakukan bersama teman-teman satu sekolah, dan mereka juga termasuk anak yang nakal seperti paman. Tapi tahukah kamu? Ibu paman selalu memasak masakan kesukaan paman, bukankah itu hal yang aneh? Seharusnya seseorang seperti paman yang nakal ini harus diberi pelajaran agar tidak nakal lagi. Tapi kenapa ibu malah tetap menjadi seorang ibu?"

"Ya karena itu tugas seorang ibu." Ketusnya,

"Iya itu benar, itu tugas seorang ibu. Menginjak umur 15 tahun, paman sudah mulai mengenal namanya cinta. Tapi, paman tidak sedikitpun berani untuk mengungkapkan itu kepada ibu. Karena paman takut kalau tidak disetujui oleh ibu. Namun Tuhan berkehendak lain, paman merasa menyesal jika selalu menutupi apa yang paman lakukan. Malam hari itu, ketika ibu sedang mengusap punggung paman. Paman berkata bahwa paman sedang jatuh cinta kepada seorang gadis. Dan kamu mau tahu apa yang beliau katakan?"

"Pasti beliau tidak setuju." Jawabnya,

"Iya itu benar, ibu tidak setuju dan mengatakan bahwa aku harus fokus belajar saja. Urusan itu belakangan."

"Ibu juga selalu berkata demikian kepadaku, tidak pernah sedikitpun beliau ingin memahami diriku ini. Padahal kan aku juga sudah dewasa, setidaknya ibu bisa memberikan jawaban yang bersahabat dan logis dibanding jawaban monoton itu." Gadis ini menjawab dengan nada kesal,

Aku menarik napas panjang, merapihkan pakaian, lalu berkata,

"Ibu selalu berusaha menjadi yang terbaik. Entah itu mendengarkan ceritamu, menemanimu disetiap langkah kaki kecil itu, menanyakan kabarmu, memasak makanan kesukaanmu, tertawa mendengar leluconmu, tersenyum ketika beliau sedang sakit, atau sekedar menciptakan kebahagiaan kecil dalam hidupmu. Ibu paman selalu berkata, bahwa paman belum pernah tua, sedangkan ibu sudah pernah muda. Ibu paman selalu punya harapan yang besar untuk setiap anak yang telah dirawat semenjak kecil. Ajaran dari dahulu kan sudah jelas. Bahwa dengan belajar yang keras kita pasti bisa mencapai tujuan kita. Ibu hanya ingin anaknya sukses dan bahagia, sehingga ibu mengharuskan kita untuk fokus dengan pelajaran dibanding hal yang lain." Ucapku,

Gadis ini mendengar omonganku dengan serius, sehingga aku melanjutkan lagi,

"Ibu paman merupakan wanita yang tangguh. Bahkan dapat dibilang benar-benar tangguh. Beliau hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama, tidak seperti ibumu yang menikmati dunia perkuliahan. Ibu paman tidak paham mengenai rumusan matematika atau fisika yang sangat rumit, beliau bahkan tidak terlalu paham mengenai struktur bumi atau bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, beliau punya jutaan pengalaman yang siap diberikan kepada paman ketika paman terjatuh dan membutuhkan dukungan." Mataku mulai berkaca-kaca ketika sedang berbicara mengenai ibu. Tapi tak apa, gadis ini harus mendapatkan jawabannya.

"ketika paman sakit, beliau selalu ada di samping paman untuk menemani hari-hari paman. Menanyakan apakah paman sudah lebih baik atau tidak, lalu memanjakan paman layaknya seorang raja. Ketika paman jatuh cinta, beliau berkata bahwa paman harus fokus dengan pendidikan terlebih dahulu. Karena dengan pendidikan yang tinggi kelak, kamu bisa sukses dan gadis-gadis akan selalu mau denganmu. Ketika paman ingin bercerita mengenai sesuatu yang paman takutkan di masa depan, beliau selalu berkata bahwa masa depan dapat kita ciptakan dari masa sekarang. Tinggal kitanya saja apakah ingin berusaha untuk menciptakan masa depan yang cerah atau tidak. Ketika paman ingin mendapatkan sesuatu, beliau selalu berkata bahwa jangan lihat hasil yang didapatkan. Tapi nikmatilah perjalanan untuk mencapai hasil itu. Semua nasehat ini merupakan nasehat seorang ibu. Namun, jika kamu bisa melihat lebih dalam lagi dan memahami mengenai perasaan yang disampaikan. Kamu bisa tahu bahwa semua kata itu merupakan kata-kata sahabat dan teman hidup. Permasalahannya bukanlah di ibu yang harus menjadi sahabat, tapi apakah kita mampu memahami setiap jerih payah yang ibu lakukan untuk memberikan kebahagiaan kepada kita, walaupun itu sekecil ucapan selamat pagi dan kecupan sebelum tidur."

 Air mata ini sudah membanjiri pipiku, aku mengusap air mataku dengan tangan. Lalu menatap gadis belia yang sedari tadi mendengarkan. Kulihat ada semangat di matanya yang tersamarkan oleh air mata. Ternyata gadis ini juga menangis.

"Paman, terima kasih sudah menasehatiku. Aku tidak pernah sedikitpun mau memahami ibu, aku merasa bahwa setiap keinginan yang ibu minta dan aku lakukan, itu sudah termasuk bagian dalam memahami ibu. Tapi ternyata aku salah, memahami ibu lebih dalam maknanya dibanding apa yang aku sadari selama ini. Aku seharusnya tidak egois memaksakan ibu untuk memahamiku, tapi lebih baik aku yang berusaha untuk memahami ibu dan menghargai setiap jerih payah yang beliau lakukan untuk kebahagiaanku." Ucap gadis itu, terdengar bijak dan cukup dewasa untuk anak seusia dia.

Kami menikmati sore itu bersama, sampai tidak terasa terdengar adzan pertanda sore ini telah berakhir. Adiknya datang menghampiri dirinya dan mengajak dia untuk segera pulang. Aku bangkit berdiri dan melangkah pergi. Namun, terdengar suara gadis itu berteriak,

"Sampaikan salamku untuk ibu paman yang hebat itu."

"Akan aku sampaikan melalui doa."

"Mengapa tidak langsung saja paman?" tanyanya,

"22 tahun paman dicintai dan mencintai ibu paman, menghabiskan setiap detik bersama beliau hanya untuk tertawa dan bercerita hal tidak penting. Namun, Tuhan lebih membutuhkan beliau di surga sana." Jawabku sembari tersenyum.

Gadis itu memahami apa yang kukatakan, dia lantas tersenyum dan mengajak adiknya untuk segera pulang. Sedangkan aku melangkah kecil menjauhi bangku yang selalu aku tempati itu. Mengingat ketika ibu selalu menontonku bertanding sembari membawa roti isi daging dan susu cokelat kesukaanku. Melambaikan tangannya yang mungil itu dari bangku ini. Aku mengeluarkan ponsel yang kubawa dan memasang headset.Kudengarkan lagu yang selalu mengingatkanku akan ibu.

Letih terlihat diwajah yang tua itu
Tertidur pulas dalam alunan gelap malam

Dibalik senyummu teduhkanku

Terbayang potret kala engkau masih muda

Ajarkan sebuah kata cinta dalam hidup

Kekuatan kasihmu nyata pulihkan jiwaku yang kadang goyah

Pesonamu masih jelas kurasa hingga kini

Menemani hingga ku dewasa

Derai airmata dan pengorbananmu takkan tergantikan

Terima kasih ibu..

Waktu cepat bergulir

Sisakan banyak kisah

Dia yang kau cintai tlah lama meninggalkan dirimu sendiri

Namun tetap kau berdiri tegak pada dunia

Lagu ini selalu menemaniku, Pesona Potretmu oleh Ada Band.

Ibu....

Apakah Ibu senang di surga sana?

Apakah doaku selalu sampai?

 Altara sayang ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun