Mohon tunggu...
Angelo Silesio
Angelo Silesio Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hoax! Lagi-lagi... Hoax

7 Januari 2017   10:27 Diperbarui: 9 Januari 2017   09:23 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik ketika menyimak fenomena kata “hoax” hampir menguasai pemberitaan media baik cetak, online maupun elektronik. Kata hoax kian bergaung di ruang publik, sehingga perlu dikaji secara gamblang. Tujuan agar masyarakat mendapatkan pemahaman secara benar, akurat perihal fenomena tersebut. Hal ini dikarenakan hoax acapkali  menularkan epidemi implikasi kepada kehidupan pribadi, sosial, berbangsa dan bernegara. Hoax, in se, telah menjadi injeksi konflik dan momok publik, karena sewaktu-waktu akan menggoncang harmonisasi kehidupan.

Dalam beberapa kamus kata hoax kerap dihubungkan dengan ketidakjelasan berita, atau lelucon belaka karena tidak didukung oleh fakta; sehingga  lebih dianggap sebagai sampah. Menarik bila hoax dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan partial guna meraup keuntungan sebesar-besarnya. Apalagi bila hoax dipakai untuk kepentingan pemilihan kepala daerah (Pilkada); mendegradasi kelompok dan golongan tertentu, untuk membangkitkan solidaritas sesaat tanpa memerhatikan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Hoax melampaui batas-batas nilai-nilai dasar yang dianut oleh masyarakat kita. Hoax berindikasi kepada kebohongan;  serangan baik kepada perseorangan maupun kelompok atau kepada negara sekalipun;  pembunuhan karakter, fitnahan atau belakangan dijadikan permufakatan untuk merendahkan martabat perorangan, kelompok sosial dan negara. Apalagi hoax dibangun untuk mendapatkan kekuasaan, uang atau popularitas publik.

Pada kesempatan tertentu hoax dianggap sebagai sebuah guyonan atau leluconan, dengan tujuan agar hidup lebih berwarna dan bervariatif. Hoax pun dalam hal ini dijadikan hiburan layaknya meme-meme untuk menyemarakan hidup harian dan melepaskan kepenatan akibat rutinitas. Sebagai pemberitaan hiburan, hoax menjadi santapan harian masyarakat dewasa ini, untuk mengendurkan otot-otot biar tidak tegang dengan rutinitas pekerjaan; tapi dalam batas-batas yang wajar; sembari memperhatikan nilai-nilai dasar martabat manusia. Dalam artian hoax bukan untuk tujuan negatif, tetapi dapat dijadikan hiburan. Sebagai misal “april mob” sudah menjadi “hoax yang menyejarah dan kontinyu” karena sudah mendunia.

 Fenomena lain ketika melihat semakin marak dan muda menemukan hoax di era digital dewasa ini. Bila dihubungkan dengan daya kritis dan analitis, kita dapat memberikan kesimpulan sementara bahwa masyarakat kita mengalami degradasi daya analitis dan sikap kritis. Pun pula etika dan moralitas hidup berbangsa dan bernegara yang syarat dengan nilai dan norma budaya serta agama seakan terisolir dari ruang publik. Orang dengan gampang lebih mengedepankan kebebasan berbicara sebagai hakikat dari kemanusiaan ketimbang memikirkan kebenaran dan kejujuran; lebih gampang membanggakan dampak negatif yang ditimbulkan, sehingga tercipta aneka macam konflik dan kerawanan. Masyarakat kebanyakan pada akhirnya menyoroti kelemahan pihak-pihak tertentu seperti keluarga, para guru dan pendidik, atau aparat keamanan bahkan pemerintah.

            Keluarga sebagai basis pendidikan generasi baru dipandang tidak mampu mendidik kaum muda untuk mengamalkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Para guru dan pendidik dinilai telah gagal mengajarkan aplikasi nilai-nilai dan norma seperti yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai edukatif, daya kritis dan analitis, mungkin kurang dikedepankan dalam proses pembelajaran. Seolah bangsa ini mengalami keterpurukan mentalitas hidup berbangsa dan bernegara. Generasi baru sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan tidak dapat dijadikan pijakan perubahaan. Pemerintah, khususnya aparat keamanan dengan sigap dan cepat mengambil langkah-langkah konstruktif untuk mengurangi implikasi kerawasan sosial nan akut.

Dalam survei disebutkan masyarakat Indonesia mendapat rating ketiga dunia dalam penggunaan internet aktif. Besar kemungkinan para pengguna internet aktif akan terus bertambah. Seiring dengan peranan era digital dalam memajukan dunia pendidikan, urgensi internet dalam  menstimulus inovasi-inovasi baru menjadi instrumen dan tolak ukur keadaban modern. Dahsyatnya pemakaian internet aktif tidak bisa dibendung dan dibatasi, kendati penggunaan di luar kewajaran, tanpa filter, moralitas dan etika publik. Tanpa dipungkiri, internet telah menempatkan posisi sentral dalam kemajuan peradaban modern di era globalisasi ini.

Sadar atau tidak sadar era digitalisasi telah menjadi intrumen dan media yang memberikan manfaat dalam membangun peradaban masyarakat dewasa. Sekarang saatnya untuk memberikan pemahaman kepada individu, kelompok sosial, pemerintah agar perkembangan era digitalisasi harus seiring dengan kematangan cara dan pola pikir individu dan masyarakat luas. Kemudahan-kemudahan yang didapatkan dari internet memberi ruang untuk generasi muda untuk terus berkembang, memajukan peradaban bangsa agar siap untuk memasuki kompetisi global, Masyarakat Ekonomi Asia khususnya. Untuk itu dibutuhkan peran-peran konstruktif dan edukatif dalam penggunaan internet baik melalui keluarga, pendidikan dan keterlibatan pemerintah.

Kita tentu menyepakati bahwa keluarga memiliki peranan sentral dan tak tergantingkan. Apalagi saat ini hampir semua rumah atau di kota-kota besar memiliki koneksi internet. Akibat maraknya tindak a-moral yang dialami beberapa kaum muda ketika memanfaatkan jasa warnet, orang tua menjadi khawatir dan waspada terhadap perilaku dan sikap sosial anak-anak mereka. Untuk itu orang tua ingin mengoptimalkan kontrol sosial; sehingga perkembangan mereka dapat terpantau dengan baik. Faktor penting dalam optimalisasi control orang tua lebih diarahkan kepada pendidikan nilai-nilai dasar dalam keluarga; seperti nilai kejujuran, keadilan, kebenaran. Menurut hati nuraninya, anak-anak dapat membedakan baik dan buruk, melakukan mana baik dan menjauhkan mana yang jahat. Filterisasi dan pembedaan baik-buruk menurut hati nurani sudah seharusnya dibangun dalam keluarga sejak dini.

Dunia pendidikan kerap kali mendapat kritikan keras dan menohok berkaitan dengan perilaku dan sikap a-sosial atau a-moral dari kaum muda. Pendidikan kita seolah gagal dalam mengelaborasi nilai-nilai dalam aplikasi pada kehidupan nyata. Air mata pendidikan tidak harus terurai karena sering mendapatkan musibah, dukacita karena perilaku dan sikap siswa. Pendidikan nilai-nilai universal tidak berhenti dalam satu generasi tetapi berjalan dalam seluruh peziarahan hidup manusia. Benih yang baik ditanam di tempat yang subur pasti akan menghasilan buah yang baik pula.

Momen dan fenomena ini memberikan insan-insan dalam dunia pendidikan untuk melakukan otokritik; sehingga output yang dihasilkan memberi manfaat untuk masyarakat luas dan Indonesia pada umumnya. Menyikapi fenomena tersebut,pertama pendidikan karakter menjadi garda depan menangkal aneka indikasi tindakan dan sikap non-edukatif. Kedua,peningkatan daya kritis dan analitis dimaksimalkan. Dengan demikian kaum muda kita tidak mudah menerima dan menyerap aneka informasi dana atau pemberitaan media, tapi harus dikritisi dan dianalisis; sehingga dengan bijak melihat kebenaran dan keakuratan suatu informasi.

Kesiagapan arapat kepolisian untuk mereduksir aneka pemberitaan dan informasi hoax yang berseliweran di internet perlu diapresiasi publik. Hoax mengarah kepada naiknya emosi publik dan mengarah kepada konflik horizontal. Hanya pemberitaan atau informasi hoax, sendi-sendi kehidupan dan harmonisasi hidup berbangsa dan bernegara dengan muda porak-poranda, akut dan chaos. Hoax penuh dengan fitnahan dan tuduhan bermuatan politis guna kepentingan kekuasaan semata.  Fundamen toleransi dalam kebinekaan kerap dipertaruhkan bahkan dipinggirkan.

Tindakan kepolisian untuk menangkal aneka macam kasus berbasis internet, dengan optimalisasi “cybre crime” dibutuhkan oleh masyarakat kebanyakan. Kerjasama aparat kepolisian dan kementrian informasi dan teknologi dalam merem laju perkemabangan media abal-abalan mendapat kepercayaan dan apresiasi publik. Kalau ruang digitalisasi diisi konten-konten non-edukatif, konspiratif ke arah konflik dan perpecahan, dapat merangsang komplikasi perilaku dan sikap masyarakat. Hal ini berimplikasi pada rasa tidak aman dan nyaman, dan ketakutan-ketakutan. Masyarakat dengan gampang bisa menyulut obor perpecahan dan melakukan tindakan preventif dan main hakim sendiri.

            Menarik bahwa hoax telah memberikan pelajaran berharga kepada kita untuk saling menghargai hakikat dan martabat manusia; membangun harmonisasi dan keadaban publik; memberi pemahaman urgensi pembinaan hati nurani; serta secara bersama menciptakan rasa aman dan solidaritas di kalangan anak-anak bangsa. Sekarang waktunya kita untuk bersatu memajukan bangsa yang beradab modern, saling menghormati dan siap untuk bersaing di kancah kompetisi global, era digitalisasi.

Angelo Silesio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun