Mohon tunggu...
Filipus PanditoFS
Filipus PanditoFS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta

Aku ada maka aku berpikir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Krisis Integritas di Lingkungan Perguruan Tinggi: Kampus Penyumbang 80 Persen Koruptor bagi Negara?

20 Juli 2023   11:36 Diperbarui: 3 Agustus 2023   22:30 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Terkait hal tersebut, bagi saya kenapa kasus korupsi bisa dan sering terjadi di kampus walaupun tidak terlihat di permukaan atau kampus penyumbang terbesar seorang koruptor yaitu karena masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki moralitas dan etika yang bagi saya masih buruk. Moralitas dan etika yang buruk bisa terjadi beberapa faktor salah satunya budaya dan nilai-nilai yang dirinya dapatkan dilingkungan yang terkecil yaitu keluarga. Di Indonesia pendidikan di lingkungan keluarga masih buruk, contohnya ketika anak sedang menangis pasti orang tuanya langsung memberikan sesuatu misalkan uang atau barang yang bertujuan agar anak tersebut tidak rewel dan nangis. Padahal hal tersebut secara tidak langsung membuat anak bermental instan yaitu anak menjadi terdoktrin dan terbiasa ketika hendak menginginkan sesuatu maka ya pada hari itu harus terpenuhi. Sikap materialistik juga bisa dimunculkan dari kebiasaan memberi uang terhadap anak yang menangis atau rewel. Sikap materialistik tersebut akan bertumbuh menjadi sebuah karekter individu dan ketika dirinya menduduki jabatan strategis maka sikap tamak dan serakah akan masuk ke alam bawah sadar dirinya dan munculah tindakan korupsi.

Terkait masalah diatas, maka jawaban atas persoalan tersebut sebenarnya sangat kompleks selain pendidikan yang bagus di lingkungan keluarga, regulasi serta partisipasi publik dan transparasi juga harus ada. Misalkan dalam kampus, regulasi bahwa suksesi politik (pembatasan kekuasaan) harus dilakukan jadi untuk jabatan struktural harus di buat bergantian. Selain itu kebijakan bahwa tidak boleh ada dosen atau pegawai yang memiliki kekuasaan (otoritas) yang juga "nyambi" (sedang menjalankan bisnis tertentu) yang berkaitan dengan kegiatan operasional kampus. Hal tersebut rentan terjadi kolusi terkusus pada pengadaan barang dan jasa.  Lalu kampus juga harus memberikan kebebasan kepada kepada mahasiswa untuk melakukan pengawasan atau proses pengecekan atas kinerja keuangan kampus seperti melakukan audit laporan kampus. Badan independen seperti badan pemeriksaan keuangan kampus seharusnya ada di tiap perguruan tinggi. BPK tersebut juga tidak cuman mengaudit laporan keuangan lembaga kemahasiswaan atau organisasi kemahasiswaan bila perlu BPK melakukan pengecekan atau evaluasi atas laporan keuangan kampus. Walaupun kampus memiliki auditor internal akan tetapi auditor internal rentan untuk di intervensi atau di intimidasi sehingga tingkat objektivitas dan independensi auditor internal perlu dipertimbangkan dan diragukan. Kampus juga memiliki kewajiban untuk mempublikasi laporan keuangan atau realisasi anggaran kepada mahasiswa baik melalui website atau publikasi lainnya, sehingga ada partisipasi publik dan transparansi dalam birokrasi kampus. Mahasiswa setiap semester memberikan kontribusi dana bagi kampus maka mahasiswa memiliki hak untuk menanyakan penggunaan dana tersebut dan kampus memiliki tanggung jawab atas pelaporan laporan keuangan. 

Masalah korupsi yang melibatkan kalangan intelektual atau akademisi baik yang terjadi dilingkungan kampus atau diluar lingkungan kampus menandakan sebenarnya konsep pendidikan kita di Indonesia masih buruk. Pada dasarnya semakin bertambahnya ilmu pengetahuan seseorang yang tumbuh seharusnya kebijaksanaan bukan malah ego. Disini peran stakeholder Pemerintah dalam membuat kurikulum juga dipertanyakan. Di Indonesia kurikulum kita masih terpaku dengan hal-hal yang sifatnya teori, mata kuliah dan mata pelajaran yang mengajarkan terkait dengan pendidikan korupsi tidak ada hanya adanya mata pelajaran dan mata kuliah agama. Secara spesifik dan konkrit tidak ada didalam pendidikan kita terkait dengan pendidikan moral dan etika. Hal tersebut juga membuat hasil yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan adalah individu-individu yang tidak bermoral dan beretika ditambah lagi pendidikan di usia dini atau keluarga di Indoneisa masih buruk. Sistem tata kelola birokrasi di kampus juga tidak berjalan dengan baik tidak ada partisipasi publik dan transparansi. Maka dari itu tidak heran jika kampus penyumbang koruptor tertinggi bagi negara. 

DAFTAR PUSTAKA 

Dzulfaroh, A. N. (2023, Februari 02). Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia 2022, Warisan Buruk Jokowi. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/02/082900565/merosotnya-indeks-persepsi-korupsi-di-indonesia-2022-warisan-buruk-jokowi?page=all

Hanafi. (2022, Agustus Minggu). Pimpinan KPK Ungkap Perguruan Tinggi Sumbang 86 Persen Koruptor. Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/bali/berita/d-6258645/pimpinan-kpk-ungkap-perguruan-tinggi-sumbang-86-persen-koruptor/amp

Suara USU. (2023, Mei 27). Lulusan Perguruan Tinggi Penyumbang Korupsi Terbesar di Indonesia: Merefleksikan Peringatan Reformasi 1998. Retrieved from suarausu.or.id: https://suarausu.or.id/lulusan-perguruan-tinggi-penyumbang-korupsi-terbesar-di-indonesia-merefleksikan-peringatan-reformasi-1998/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun