Mohon tunggu...
Fila Haras
Fila Haras Mohon Tunggu... -

Mampir ngombe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drupadi Sang Putri Api

28 Agustus 2014   19:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:16 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

- pict: http://en.wikipedia.org/wiki/Draupadi -

“Ya, aku Drupadi, yang dilahirkan dari api.” ia menghela nafas, “dan tak ada yang percaya, aku lah yang menyalakan Bharatayuda.”

Lama, usai perang saudara yang dahsyat antara Pandawa dan Kurawa, di tepi sungai taman kaputren Astina, menjelang Pandawa madeg pandita,

sang putri bercerita, entah pada siapa.

“Ayahku, prabu Drupada, yang terbakar dendam pada Rsi Dorna, karibnya masa belia, yang dulunya Kombayana,

melakukan sammadhi Putrakarma Yadnya, bersama para pendeta utama.

Supaya beroleh putra yang akan melunaskan kesumatnya, yang akan membunuh Rsi Dorna, bagaimana pun caranya.

Dan dari api puja Yadnya, lahirlah aku,  Yadnyasni, yang terlahir dari api,

Tapi, sebut aku Drupadi, putri dari ayahanda Drupada, yang akan  menuntaskan dendamnya.

Juga saudaraku, Drestajumna, yang tercipta dari bara puja Yadnya, yang didoakan membunuh Dorna.”

Ada jeda yang panjang setelah kalimat yang panjang.

“Sedari awal, ayahanda prabu Drupada menginginkanku bersuamikan Arjuna, panengah Pandawa. Hingga diadakan swayambhara, mengangkat Pinaka, busur pusaka Pancala, dan menggunakannya untuk memanah patung burung yang berputar di tali tepat pada matanya. Ayahanda mengira, hanya Arjuna yang bisa melakukannya.

Tapi ada Karna, yang mewakili Duryudana. Tak dinyana, ia begitu perkasa. Mengangkat Pinaka dan memanah patung burung tepat di matanya.

Hingga aku harus menghentikannya dengan berkata bahwasanya anak kusir kereta bukanlah ksatria, tak layak memperebutkan putri Pancala.

Aku tahu, Karna murka karenanya, dan kuberi tahu kau, itulah benih pertama yang kutebar untuk Bharatayudha.

Tapi setelah itu tak kutemukan Arjuna di antara para peserta, putus asa rasanya.”

Terdengar hela nafas saat ia menganggit kata-kata, merangkai ulang kisah hidupnya. Entah hela nafas lega atau melepas penat di benak.

“Hingga akhirnya seorang berpakaian brahmana mendekati Pinaka. Aku merasa ia bukanlah brahmana sesungguhnya, hatiku berkata ia lah Arjuna. Tapi, andaipun bukan Arjuna, yang penting tak Karna yang bela Kurawa. Tapi aku yakin ia Arjuna, entah kenapa. Firasat wanita, kurasa.”

Ambang sandyakala, mentari merah di taman kaputren Hastinapura. Drupadi tak niat ingsut sedikitpun jua.

“Mencintai itu takdir, tapi takdirku mencintai Arjuna,

menikah itu nasib, dan nasibku menikahi Arjuna,

aku tahu itu,

Seperti aku tahu bhramana muda itu pasti Arjuna.

Tapi, saat itu, siapa percaya ?”

Drupadi tersenyum, membayangkan waktu itu.

“Ya, brahmana muda itu menggunakan Pinaka, busur pusaka Pancala, dengan indahnya, memanah patung burung yang berputar, tepat di matanya. Dan kurasakan murkanya Karna karena tak ada penolakan dariku kepada si brahmana muda, yang kuyakin Arjuna.

Teriak Karna, ‘ia bukan ksatria ! mengapa kau terima ikut swayambhara ?!’

Tak kujawab Karna, bahkan tak pula kupandang wajahnya.

Dan kuterima brahmana muda itu di dalam pendapa.

Hhhh…. dan keyakinanku benar adanya,

Dia Arjuna,

bersama saudara-saudaranya,

yang terlunta-lunta dan tersia-sia jauh dari Hastinapura,

karena peristiwa Bale Sigala-gala.

Dan Kurawa di luar sana, pasti kaget karena Pandawa tak binasa.

Aku yakin, para dewa memang sedang mempersiapkan Bharatayudha.”

Rembulan separuh bayang.

“Banyak yang bilang, salah ucap ibu Kunthi yang membuatku bersuami lima, para Pandawa. Tapi sesungguhnya tak begitu…

Saat aku tercipta dari api, ayahanda Drupada bertanya pada dewa, ‘Bagaimana mungkin anak wanita membalaskan dendam ayahnya ? Haruskah ia bersuami lima ?!’ Dewa Brahma kemudian menganugerahkan Destrajumna dari bara puja Yadnya, dan nyatanya  aku bersuamikan Pandawa berlima.

Tentu kami mengaturnya, tak semuanya di saat yang sama.

Setahun pertama, aku bersama Yudistira, sepenuhnya. Keempat suamiku lainnya bersumpah akan menjaga, bahkan melarang diri mereka memasuki kamar di mana aku sedang bersama Yudistira.

Setahun kedua, hanya dengan Bima. Hal yang sama berlaku pula.

Demikian pula tahun berikutnya, dengan Arjuna.

Dan berikutnya dengan Nakula,

Dan juga dengan Sadewa.

Jadi, suamiku lima, tapi hanya satu pada setiap saatnya.

Dan ini saatnya memperkuat rencanaku tentang Bharatayudha yang saat itu belum bernama.”

Rembulan yang separuh bayang, tersaput mega yang membayang.

“Karena Kurawa telah berkuasa di Hastinapura, Maharsi Bhisma memerintahkan Duryudana untuk memberikan tanah pada suamiku para Pandawa supaya tak hidup terlunta-lunta, supaya tak ada perebutan kekuasaan atas Hastinapura.

Ya, aku dan suami-suamiku para Pandawa berhasil membangun kerajaan baru, Amartapura. Dan istana yang megah di pusatnya.

Tak perlu kuceritakan bagaimana mustahilnya merubah hutan Wanamarta menjadi negara yang sejahtera.

Tapi perlu kuceritakan bagaimana tiap usai sanggama di istana Amarta, kubisikkan pada suami-suamiku Pandawa, tentang hak waris mereka atas Hastinapura.

Ya, Bharatayudha harus terlaksana. Entah apa pun namanya, tapi di perang besar itu akan tuntas dendam ayahanda. Itu janji para dewa.”

Kelelawar kecil melayang, mencium rembulan yang separuh bayang.

“Yudistira menyetujui usulku untuk mengundang sepupu mereka, Kurawa, pada upacara slup-slupan, peresmian istana Amartapura. Menurut Yudistira, kedatangan Kurawa akan melambangkan mencairnya ketegangan antar saudara, menuju sejatinya perdamaian. Tapi aku sudah menyiapkan.

Dan pada harinya, Kurawa datang dengan berisik yang membahana, terutama Dursasana.

Ia selalu tertawa, merasa paling lucu dan paling bisa melucu.

Kita lihat saja.”

“Antara pringgitan dan nDalem Agung,

kubangun kolam ikan dengan kaca yang bening di atasnya, sehingga kau bisa berjalan di atasnya memandangi kolam,

di sebelah kirinya kubangun kolam yang jernih seperti kaca.

Dan Dursasana yang jumawa berhenti di depan kolam kaca, takut berjalan di atasnya. Dipikirnya harus melepas alas kaki dan menyeberang kolam untuk sampai ke seberang tepi.

Setelah dilihatnya yang lain menikmati berjalan di atas kaca, Dursasana lunjak-lunjak gembira di atas kaca.

Tak diketahuinya yang sebelah kiri adalah kolam tanpa kaca, dan terhenti tawanya bersamaan dengan kuyup badan dan pakaiannya.

Aku tertawa, dan terus tertawa.

Suami-suamiku mengingatkanku untuk menghentikan tawa, tapi kuteruskan tertawa.

Hingga Kurawa memutuskan kembali ke Hastinapura dan merasa terhina karena tawa seorang wanita.

Benih berikutnya untuk Bharatayudha.”

Titi sonya madya ratri,

swasana lelana laladan sepi.

“Hingga datang undangan dari Hastinapura, uwa Destarata menginginkan perbaikan hubungan trah Bharata, rukunnya Kurawa dan Pandawa – ada tambahan ajakan bermain dadu dari Duryudana.

Aku sudah tahu yang Kurawa mau,

Suamiku Yudistira, sulung Pandawa, kecanduan main dadu.

Tak bisa berhenti biarpun dewa menghalangi.

Jadi, tak kan kurintangi benih Bharatayudha yang ini.

Suami-suamiku yang lain, meminta Yudistira tak ikut main dadu,

setelah kujelaskan bahwa penolakan akan memperburuk hubungan yang belum membaik, mereka menganggapku memberikan solusi.

Suami-suamiku tak tahu bahwa aku tahu yang Kurawa mau.

Dan berangkatlah kami, aku, suami-suamiku, dan ibu Kunthi.”

Putri itu, Drupadi,

yang dilahirkan api,

melanjutkan lagi.

“Di Kaputren Hastinapura, aku menemani ibu Kunthi dan uwa Gandari yang membutakan diri demi sang suami.

Aku tak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di pendapa,

aku tak mau tahu detil kejadian di judi dadu.

Katanya Yudistira mempertaruhkan segalanya, bahkan negara Amarta hasil keringat bersama.

Tapi aku merasa para dewa sedang menunjukkan jalan menuju Bharatayudha.

Tak cukup hanya bisikan usai sanggama,

kehilangan negara yang bukan hasil waris ayah mereka,

pastilah membarakan benih yang telah ada.

Ya, perhitunganku sangat matang kurasa,

hingga sekelompok prajurit menjemputku paksa.”

Ada senyum kecil di wajah Drupadi,

Entah mengapa…

“Firasatku berbisik, sesuatu di luar perhitunganku telah terjadi

di ambang pendapa kulihat Kresna,

matanya berkata ‘Aku melindungimu, Drupadi !’

Dan aku percaya Kresna.

Dursasana menghampiriku dengan dendam membara,

menjambak rambutku, melemparku ke tengah pendapa.

Di mana suami-suamiku para Pandawa ?

Mataku mencari-cari gerangan mereka.

Dursasana tertawa, Kurawa tertawa…

Pandanganku berputar-putar, terpusing, terhuyung karena jambakan Dursasana.

Aku percaya Kresna, dia akan melindungiku,

tapi di mana suami-suamiku ?

Semakin jelas dari teriakan Kurawa,

setelah kehilangan Amarta, Yudistira mempertaruhkan dirinya dan saudara-saudaranya,

budak lah mereka.

Kemudian Yudistira mempertaruhkan aku, istri mereka.

Kesempatan ini… kesempatan ini tak akan terulang lagi !

Kupucat pasikan wajahku, kulemahkan tubuhku, kuambangkan keluh dan teriakku.

Semua begitu jelas kini, sastra cetha suksma sejati”

Sedikit menghela nafas,

tapi senyuman itu tetap ada.

“Dursasana merampas kemben penutup dadaku.

Kali ini benar-benar panik aku,

tapi aku percaya Kresna.

Dursasana menarik kain kemben itu,

terhempas aku,

setengah berlari kuhampiri Yudistira, dan lemah kutanya

‘Yudistira, mengapa kau diam saja ?’

juga Bhima yang biasanya perkasa,

hanya bisa menggeretakkan giginya.

Kuhampiri Arjuna, Nakula dan Sadewa,

sama saja…

Dursasana semakin bernafsu menarik kembenku,

dan aku percaya Kresna,

dan kembenku tak ada habisnya.

Terhempas lagi dari tarikan Dursasana,

kuhampiri eyang Bhisma, yang terbijak dari semua.

‘Eyang Bhisma,

bukankah Yudistira yang budak tak lagi punya hak atas sahaya ?

meskipun sahaya  istrinya,

tapi ia budak dan sahaya merdeka !

bagaimana bisa dalam judi dadu ia pertaruhkan sahaya ?’

keluh, tangis, teriakku pada Bhisma.

Hingga akhirnya Bhisma menghentikan Kurawa dan Dursasana.”

Lewat duapertiga malam,

rembulan separuh bayang telah menghilang.

“Uwa Destarata membatalkan perjanjian dadu, mengembalikan semua hak suami-suamiku.

Tapi Duryudana tak terima.

Dimintanya pembuangan kami selama duabelas warsa,

supaya bisa kembali ke Amarta.

Destarata dan Bhisma menerima, suami-suamiku Pandawa diam saja.

Dan dalam tangis, kuucapkan sumpahku

‘tak akan keramas rambut Drupadi, kecuali dengan darah Dursasana…!’

inilah benih terakhirku untuk Bharatayudha.

Dan Bhima, suamiku kedua, berteriak

‘Drupadi, gadaku ini menjadi saksinya !’

Dua sumpah yang disambut petir membahana di angkasa.

Dan kulihat uwa Destarata yang buta berlinang airmata.”

Pagi belum menjelang,

anak bajang memanah bintang

“Dua belas warsa pembuangan,

ditambah sewarsa penyamaran,

tak cukup membuat Kurawa mengembalikan Amarta.

Tapi buatku, cukuplah sudah.

Sudah saatnya menyalakan Bharatayudha.

Kuingatkan sumpahku pada suami-suamiku,

terutama Bhima,

Kuminta mereka mengutus Kresna sebagai Duta,

untuk memastikan Bharatayudha.

Tak ku berharap kau percaya padaku,

bahwa aku, Drupadi, yang dilahirkan api,

adalah yang menyalakan Bharatayudha.

Dan Dorna pralaya di Bharatayudha,

dan kukeramas rambutku dengan darah Dursasana,”

Fajar yang merah di kaputren Hastinapura,

lama usai Bharatayudha

retell from Ki Togog Tejomantri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun