Mohon tunggu...
Fila Haras
Fila Haras Mohon Tunggu... -

Mampir ngombe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Setia Sawitri

11 September 2014   22:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:58 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://en.wikipedia.org/wiki/Savitri_and_Satyavan

Sawitri

If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life.

For life and death are one, even as the river and the sea are one. In the depth of your hopes and desires lies your silent knowledge of the beyond;

Tak habis pikir Yamadipati, bagaimana seorang wanita bisa begitu keras kepala.

Sudah seharian ini wanita itu mengikuti langkah Yamadipati,

lelah membayang di wajahnya,

debu dan angin memburai rambutnya,

kerikil tajam melukisi tapak kakinya dan onak duri menggoreskan sketsa di lengannya.

Keras kepala yang indah.

Di ujung senja Yamadipati menghentikan langkah, menatapnya.

"Pulanglah …!" tegas, jelas, mengisi ruang di tengah belantara. "Takdir suamimu hanya sampai di sini. Untuk apa aku kau ikuti ?" Wanita itubersimpuh dan menyembah Yamadipati. Dan berkata "Sembah bhakti sahaya, sinuwun Yamadipati. Sebagai istri, Tugas sahaya mengikuti suami, Kemana pun suami sahaya pergi, ataupun dibawa pergi, Itulah dharma sahaya, seorang istri. Bahkan sahaya diajarkan, Untuk membakar diri bersama jasad suami. Dan jasad suami sahaya, ada pada sinuwun Yamadipati" Yamadipati tercenung, mengikuti langkahnya tidak lah mudah. Walau sudah diperlambat, tetaplah jauh lebih cepat tinimbang langkah manusia biasa. Tapi Sawitri dengan segala upaya mempertahankan jarak. "Dharma seorang istri yang kau jalani, sungguh membuatku bahagia. Ucapkan satu permintaan, akan kukabulkan, asalkan bukan nyawa suamimu" Wanita itu menunduk, nafasnya masih tersengal, tapi hatinya sejuk oleh setitik harapan dari Yamadipati. "Duh, sinuwun Yamadipati, Hanya satu permintaan sahaya, bukan tentang nyawa suami. Saat ini mertua sahaya, Maharaja Dyumatsena, kehilangan penglihatan hingga tersingkir dari singgasana. Karena tak mungkin seorang Maharaja buta. Sinuwun Yamadipati, Kabulkanlah satu permintaan sahaya, Kembalikan penglihatan Maharaja Dyumatsena Sebagai bhakti sahaya untuk mertua." "Ngger, ndhuk ayu," sabda Yamadipati, "Maharaja Dyumatsena akan memperoleh lagi penglihatannya, saat ini juga." Yamadipati melanjut langkah, menjelajah sabana, memanggul jasad Satyawan di pundaknya. Menjelang pagi, bersama merekahnya secercah cahaya mentari, Yamadipati berhenti. Semalaman ini wanita itu mengikuti, tetap berkeras hati. "Pulanglah…!" tajam menikam pagi. "Sempurnakan upacara untuk suamimu." Wanita itubersimpuh dan menyembah Yamadipati. Dan berujar "Ampuni sahaya, sinuwun Yamadipati. Bagaimanakah sahaya bisa menyempurnakan upacara untuk suami sahaya ? Sedangkan jasadnya ada pada paduka, Perkenankan sahaya menyampaikan ajaran yang sahaya pahami Tentang ruh yang abadi, yang tak pernah lahir ataupun mati, yang tetap ada meskipun jasad telah mati. Sebagaimana cinta sahaya kepada suami, yang tak terbatasi kematian." "Kata-katamu sungguh menyenangkanku. Ucapkan satu lagi permintaan, akan kukabulkan, asalkan bukan nyawa suamimu" Wanita itu mengatur hati, menempa nafas. "Duh, sinuwun Yamadipati, Satu lagi permintaan sahaya, masih untuk mertua, Yang kehilangan tahta karena tiba-tiba buta, Yang sudah sinuwun kabulkan kesembuhan penglihatannya. Ooo sinuwun Yamadipati, Permintaan yang sekali ini, Kembalikanlah tahta Maharaja Dyumatsena Karena ia tak lagi buta." "Bhaktimu pada mertua menggetarkan hatiku," sabda Yamadipati, "Maharaja Dyumatsena akan memperoleh lagi tahtanya, seketika." Yamadipati melanjut langkah, melintas jeram dan padang, memikul jasad Satyawan di bahunya. Tengah hari di padang yang sunyi, bermandikan sinar mentari, Yamadipati berhenti lagi. Dari fajar tadi wanitu itu senantiasa mengikuti. "Pulanglah…!" suara Yamadipati menyilaukan suksma. "Sia-sia kau ikuti aku, hanya kau peroleh lelah ragamu, tak kan hidup lagi suamimu" Wanita itu bersimpuh beralas kerikil panas. "Junjungan sahaya, sinuwun Yamadipati, Tak pernah berasa lelah jika sahaya berada dekat dengan yang sahaya cinta, Suami sahaya, Yang sinuwun bawa. Cinta memberikan sahaya tenaga untuk bersetia. Cinta memberikan sahaya Keinginan untuk selalu bersama." "Ingsun tak terlalu percaya cinta, hanya dharma yang ada. Tapi cintamu pada suamimu patut dihargai. Katakan satu permintaan lagi, akan kukabulkan, asalkan bukan nyawa suamimu." Wanita itu menunduk dalam, mengatur hati. "Sinuwun Yamadipati, Satu permintaan lagi untuk mertua sahaya, Yang sinuwun pulihkan penglihatannya, Dan kembalikan tahtanya, Sehingga akan lebih mulia kiranya Sinuwun anugerahkan kepada mertua saya, Seratus putra yang perkasa, Yang membantunya menjaga negara, Itu saja. Karena sahaya tak bisa memohon kembalinya nyawa suami sahaya." "Bhaktimu pada mertua, sebanding dengan sifatmu yang keras kepala. Maharaja Dyumatsena sangat beruntung bermenantukan kamu, dan ia akan memiliki seratus putra yang perkasa untuk menjaga negara." Yamadipati melangkah pergi, menapaki gunung tinggi, mencumbui lereng dan lembah, menggendong jasad Satyawan di punggungnya. Ujung senja di lembah yang indah, Yamadipati berhenti lagi. Masih wanita itu mengikuti. "Pulanglah…!" sabda yang bermandikan cahaya jingga, "Tak kan kuat ragamu mengikutiku, pengorbananmu telah lebih dari cukup." Wanita itu bersimpuh di atas rumput beledu. "Junjungan sahaya, sinuwun Yamadipati, Dalam cinta tak ada pengorbanan, Pada mereka yang mencinta tak butuh berkorban, Para pecinta tak kenal korban. Ketika ada pengorbanan, Saat itu cinta layak dipertanyakan. Sahaya hidup di jalan cinta, Sehingga tak ada sahaya berkorban untuk yang sahaya cinta." "Jalan cintamu seiring dengan jalan dharma, selayaknya aku setuju. Permintaan terakhir, akan kukabulkan, tak ada lagi." Air mata menitik ke ujung rumput, permintaan terakhir dari lubuk hati. "Sinuwun Yamadipati, Perkenankan sahaya, Mengajukan permintaan untuk sahaya sendiri, Seratus anak perkasa yang akan menjaga ibunya, Yaitu sahaya, Seratus anak yang akan mewarisi kerajaan ayahnya, Suami sahaya tercinta, Itu saja permintaan terakhir sahaya." "Dengan jalan cinta yang kau lalui, seratus anak akan menjagamu, seratus anak akan membantumu. Kukabulkan permintaan terakhirmu." Yamadipati beranjak pergi, tapi… "Sinuwun….! Maafkan sahaya." "Ya…? Apa lagi ? Telah kuberi semua yang kau kehendaki." Yamadipati terhenti. "Maaf,… Bagaimana sahaya bisa mendapat seratus anak, Bila sinuwun membawa suami sahaya, Bila menjauhkannya dari sahaya, Bila sinuwun tak menghidupkannya… Maaf,…" Yamadipati tercenung. … "Kau tampak begitu lelah dan kusut masai …?" Satyawan membuka mata, menatap istrinya. "Istriku,… aku bermimpi, Yamadipati membawaku pergi…" Sawitri tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun