Mohon tunggu...
Fiksiana Community
Fiksiana Community Mohon Tunggu... Administrasi - Komunitas pecinta fiksi untuk belajar fiksi bersama dengan riang gembira

Komunitas Fiksiana adalah penyelenggara event menulis fiksi online yang diposting di Kompasiana. Group kami: https://www.facebook.com/groups/Fiksiana.Community/ |Fan Page: https://www.facebook.com/FiksianaCommunity/ |Instagram: @fiksiana_community (https://www.instagram.com/fiksiana_community/) |Twitter FC @Fiksiana1 (https://twitter.com/Fiksiana1)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

[My Diary] Rindu Menulis Diary? Daftarkan Dirimu pada Event Ini!

6 April 2016   11:27 Diperbarui: 9 April 2016   18:15 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu ingat kan, Di? Saya pernah menceritakan tentang seorang teman di Jakarta yang urakan, ngehek dan bikin illfeel karena obrolannya yang jorok dan tengil. Iya, dia yang bernama Agil. Cowok nggak ganteng tapi sok cool itu. Siang tadi saya mengobrol dengannya di BBM.

"Kamu benci banget ya sama saya? Kamu nggak ingin tahu kenapa saya kayak begini? Mengapa saya lebih memilih menjadi Rahwana daripada Rama?"

Begitulah pertanyaannya kepada saya, yang kemudian dijawabnya sendiri, Di. Lucu kan? Tanya-tanya sendiri, dijawab juga sendiri. Tapi saya nggak bisa tertawa, saya 'feeling embuh'. Seperti orang yang dikalahkan sebelum pertandingan resmi dibuka. Apalah saya ini?

"Kamu dan mungkin teman-teman yang lain nggak pernah tahu kenapa saya seperti ini. Ya, nggak penting sih kalau teman-teman nggak tahu juga nggak apa. Tapi kayaknya saya ngerasa kamu harus tahu, dan itu penting bagi saya."

Meski dia tidak tahu ekspresi saya, saya salting, Di. Secara saya dianggap penting olehnya dan itu membuat saya bahagia!

"Saya punya sahabat kecil namanya Ahmad, yang ternyata akhirnya memilih atau lebih tepatnya menemukan jalan sebagai hafidz. Kami bertemu lagi beberapa tahun lalu dan tetap akrab. Saya mengenal dan menyukai pribadinya yang memang baik pun dia mengenal segala kenakalan dan pribadi saya.

Kami enjoy dengan persahabatan kami yang bersemi kembali. Tapi ya gitu deh, kelompoknya Ahmad dan mungkin juga dia sendiri nggak pernah bisa menerima saya sebagai manusia. Saya dicap liberal. Jadi ya semacam ada bentenglah di antara kami. Seolah-olah yang boleh mikir tentang kebaikan cuma mereka yang merasa 'golongan kanan' sedangkan saya tersingkirkan.

Saya menghargai semuanya, Ahmad dan teman-temannya. Toh itu hak mereka. Tapi di sisi lain saya menemukan kenyataan banyak orang yang merasa kotor, melakukan perbuatan yang mungkin buruk. Yang oleh 'golongan kanan' dianggap menyimpang tapi nggak dirangkul atau ditunjukkan jalan. Dianggap tercela tapi nggak disapa. Tidak ditemani. Lalu apa salahnya jika kemudian saya berempati dan menempatkan diri menjadi teman orang-orang yang sendiri karena dikucilkan pun memang merasa sendirian. Saya memilih yang kalah, yang dianggap salah, untuk menemani mereka yang dikucilkan 'golongan kanan' yang selalu merasa suci dan menjadi 'keponakan Tuhan'.

Biarlah orang-orang menganggap saya sesat atau menyebut saya 'bangsat'. Setidaknya bagi saya itu lebih baik jika di dalam gelar urakan yang disematkan orang, saya masih belajar dan mencoba melakukan perbaikan dan kebaikan. Daripada mengaku orang baik, menjadi hafidz seperti Ahmad, mengaku pecinta Rasulullah seperti teman-temannya, mengaku muridnya Cak Nun, merasa 'ilmune nyegoro', tapi tidak bisa memanusiakan manusia. Ketika ada orang yang mereka anggap bodoh atau ada orang yang mungkin belum paham sesuatu yang mereka anggap baik, bukannya dibantu, dituntun atau dibimbing kemudian pelan-pelan diarahkan tapi malah dicuekin, dibenci, dijauhi dan lebih ngehek lagi dilebeli sesuka mereka. Jadi kalau saya begini itu karena saya tidak ingin menjadi seperti mereka atau bisa dibilang saya memberontak pada hal seperti itu."

Di..., saya benar-benar merasa bersalah padanya. Saya seakan menjadi bagian 'golongan kanan' yang membuatnya menjadi begitu dan menghakimi dengan penilaian yang subyektif banget. Semua penjelasan Agil seperti tamparan keras buat saya. Itulah sebabnya saya buru-buru pamitan sibuk ketika dia selesai dengan penjelasan panjang lebarnya. Saya hanya bingung mau membalas apa untuk mengungkapkan penyesalan saya.

Hari ini benar-benar ungu, Di. Seungu bunga mawar yang sepertinya mulai mekar di dadaku. Tapi sepertinya terlalu terburu-buru jika harus saya ceritakan kepadamu atau saya simpulkan kalau ini adalah benih rasa. Tunggu ya, Di! Pokoknya saya pasti akancerita lagi, sebab hanya kamulah tempat terpercaya untuk berbagi rahasia hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun