Kami bicara panjang lebar. Mengenal satu sama lain. Mengisi kesuntukan hati. Ia wanita menyenangkan. Jiwanya humoris dan penyayang anak-anak. Ia terlihat senang sekali kalau membicarakan anak-anak. Baginya dunia akan sepi jika tak ada anak-anak di sekitarnya.
Aku sepintas melihat raut kekecewaan dan penderitaan batin yang terpendam di balik gelak tawa dan senyum manisnya, tak dapat dipungkiri kalau ia sedang menanggung beban yang amat berat. Tapi ia tak menceritakannya. Walau berulang aku mencoba memancingnya. Biarlah… toh ini urusan dia. Aku tak mau mengubah suasana cair ini menjadi tak enak kalau terus coba kupaksakan untuk dia menceritakan segala penat batin yang dirasakannya.
Kurang lebih seperampat jam lagi terminal terakhir sampai. Kami kini saling diam. Dibilang lelah tidak. Cuma saja, setelah mengobrol riang panjang lebar, akhirnya ia mengungkapkan kepedihan yang dirasa karena anaknya telah diculik orang. Ia tahu siapa pelakunya, tapi ia tak berani mengungkapnya. Sebab ini adalah anak hasil dari hubungan yang terlarang.
Ia bingung. Tak tahu harus berbuat apa, sementara dalam hatinya rasa kangen untuk bisa memeluk anaknya amat sangat besar. Ia ingin menyusui anaknya yang baru saja lahir dua minggu lalu. Ia menangis. Hilang sudah keceriaan yang tadi terpancar.
“Mas, terima kasih sudah menemani saya ngobrol. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lain waktu.” Wajahnya menatap kosong ke depan.
Aku kaget ia mengucap itu.
“Kamu mau kemana Nin?” Ku pegang bahunya.
Dia tak berkata, tapi menutupi wajah dengan tangannya dan meratap. Kemudian Ia melangkah ke pintu bus dan menoleh kepadaku.
“Terima kasih Mas.” Ada raut harapan supaya bertemu kembali lain waktu. Aku mencoba membaca itu.
Ia turun dari bus, dan aku mengejarnya.
“Kamu mau kemana Nin?”