Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Tua di Waktu Senja

26 Desember 2015   18:15 Diperbarui: 26 Desember 2015   18:15 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tepat pukul 18.00 aku pasti mendapatinya sedang duduk santai di kursi goyang kesayangan di dalam gardu pos kamling.

Di setiap senja saat matahari mulai menutup diri, ia terlihat asyik seorang diri.

Usianya ku perkirakan di atas 65 tahun, rambutnya semua berwarna putih, kulitnya tak sekencang Ibu Mae si penjual gado- gado samping rumah Pak RW, pun giginya sudah tak ada.

Saat ku melintas berulang kali di hadapannya, hanya sekali ia tersenyum kepadaku, senyum yang teramat manis. Kalau boleh aku samakan, miriplah dengan senyum Kak Luna Maya. Selebihnya, ia hanya duduk sambil bergoyang meski berulang ku sapa dengan senyum terimoetku. Seperti yang baru saja ku lakukan, sayang senyumku bertepuk sebelah tangan.

Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam, ingin sekali menyapa dan bercengkrama hangat meski perbedaan usia yang terpaut jauh. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ku ajukan kepadanya. Karena jujur, aktivitas rutinnya di setiap senja ini membuatku menjadi pria cerdas tuk bertanya-tanya dalam hati

"Siapakah wanita senja ini?"

"Mengapa di setiap senja ia duduk santai dalam gardu pos?"

"Tidakkah ia lebih baik berada dalam rumaj melakukan aktivitas ibadah, atau bercengkrama dengan keluarga atau pula sekedar istirahat."

"Apa yang ada dalam pikirannya saat ia asyik duduk di singgasananya sampai-sampai terkesan cuek dengan orang-orang yang melintasi di hadapannya?"

"Adakah ia sedang dirudung masalah?"

"Atau hanya sekedar benar-benar duduk menikmati indahnya panorama senja?"

"Atau jangan-jangan ia duduk di singgasananya karena  ingin menanti dan melihat seorang pemuda yang memiliki wajah imoet?"

Aaaahh... aku jadi tersipu malu.

Sungguh aku ingin mengenalnya walau sesaat. Melihat wajah tuanya dari dekat. Sebab ku pikir wajahnya mengingatkanku pada sosok Ibu yang kini senang menyendiri meski ada di dalam rumah. Walau usianya tak sama, tapi perilaku keduanya tak jauh berbeda yaitu senang dengan kesendirian.

Padahal seluruh anak, cucu dan menantu selalu hadir di tengah-tengah Ibu. Mengajak berbicara diiringi canda dan tawa. Sayangnya selepas itu, Ibu kembali asyik menyendiri.

#

Sebulan lebih aku sudah melewati dan mendapati senyum manis satu kali dari wanita tua itu.

Kini di malam bulan baru, tak ku dapati sosok wanita itu di kursi goyangnya. Singgasananya teronggok sendiri di dalam gardu pos kamling tanpa ada yang menduduki.

Kemanakah Ibu tua itu berada?

Semilir angin senja menerpa tubuh mungilku. Ku dapati bulu kuduk berdiri seiring sejuknya angin senja. Aku melangkah cepat meninggalkan gardu pos kamling dab sesekali melihat ke kursi tua itu yang kini sedang di duduki seekor kucing hitam. Dan tiba-tiba aku terdengar ada suara memanggil "Bang.... Bangg.. Bang...."

Ku percepat langkah. Dan teriakan itu semakin kencang memanggilku, "Bang.... Bangggg... Bangggg duitnya jatuh tuh seribu...!"

Seketika aku berbalik arah dan mengambil uang kusut seribu boleh nemu di bawah kamar Ibu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun