##
Emak memang sudah tua. Umurnya kini kurang lebih 65 tahun. Sudah cukup melampaui batas umur yang diberikan Allah pada kekasihnya, Muhammad. Ia menjadi orang tua tunggal bagiku sejak bapak meninggalkan aku di umur 12 tahun. Aku tak tahu penyebab kematian bapak. Sebab, aku tak pernah melihat mayatnya. Yang kutahu hanya kuburannya saja. Itupun menurut pak RT. Bukan dari emakku. Emak merahasiakan sebab-sebab kematiannya. Beredar kabar, bapak meninggal karena dibunuh orang. Ada lagi yang bilang, bapak meninggal karena tertabrak kereta. Tapi ada yang bilang, bapak meninggal karena diguna-guna. Entahlah mana yang benar, yang terpenting Aku cukup bahagia hidup dengan emak. Terserah dengan bapakku.
Menjalani hidup dengan emak banyak sukanya dari pada dukanya. Padahal hidup kami tidak bisa dibilang cukup. Kami bertahan hidup hanya mengandalkan hasil dari jualan sayur mayur emak ke desa-desa. Tak lebih. Emak sangat sayang aku. Walau tak menyekolahkan aku setelah lulus MI (Madrasah Ibtidaiyah), aku tetap diperhatikan dan dimanja terus menerus
. Kalau aku boleh bilang, emak menganggapku seperti putera mahkota. Segala kebutuhan, selalu diupayakan untuk bisa terpenuhi. Ia melarangku untuk bekerja, selain membantunya berjualan sayur keliling. Aku senang menjalaninya. Tak pernah terpikir olehku rasa minder sebagaimana seorang anak yang merasa malu dan sangat minder pada teman-temannya karena memilliki bapak sebagai tukang kebun di rumah milik seorang pejabat sebagaimana kulihat dari sinetron. Dasar dunia, ada saja orang seperti itu. Padahal kalau dipikir, kalau tidak ada bapaknya, bagaimana ia akan bisa melanjutkan sekolah dan jajan sehari-hari. Sungguh manusia tak mau diuntung.
##
Ini adalah bulan ketiga emak tergeletak di tempat tidur usangnya. Berbagai kebutuhan sehari-hari telah aku penuhi dengan sepenuh hati. Sebetulnya, aku sudah lelah. Tapi harus mau bagaimana. Aku tak memiliki apa-apa untuk dipergunakan sebagai biaya membawa emak ke rumah sakit. Pernah aku mencoba meminta tolong kepada ketua RT tempat aku tinggal. Tapi apa daya, kami tak memiliki kekuasaan. Mengetahui kami adalah seorang fakir miskin di daerah “kekuasaanya” ia mencoba menolak memberi bantuan dengan cara halus.
Dan aku sebagai orang yang tak berdaya, menyerah begitu saja. Terpaksa selama ini aku menjaga dan merawat emak dengan hanya mengandalkan cara tradisional. Memijit dan mengerokinya. Terkadang beli obat di warung, itupun kalau ada untung lebih dari aku menjual sayur keliling sendiri mengganti emak.
Aku perih menghadapi ini. Dulu, kalau ada masalah menimpa kami, aku merasa sanggup menjalaninya karena masih ada emak. Kami saling menutupi dan memperbaiki satu sama lain. Kini, aku merasa kesepian. Semua beban terasa benar di pundakku. Penghasilanku yang hanya Rp. 100.000 setiap harinya, tak begitu mencukupi karena itu harus dipotong sebagai modal untuk jualan esok hari. Paling sisa 10.000, paling banyak ya 15.000. Aku harus berputar otak. Ingin setelah berjualan pagi hari aku mencari sampingan kerja, tapi tak tega kutinggalkan emak seorang diri di gubuk renyot dengan kondisi sakit . Kepalaku pusing memikirkan ini. Aku tak tega melihat kondisi emak yang hanya bisa berbaring. Hari-hariku terus dirudung sedih.
Pernah suatu hari saat aku berjualan, seorang ibu pembeli menghampiriku. Mungkin ia heran dengan sikapku yang kali ini tampak murung dan sedih. Padahal sehari-harinya, aku selalu berjualan dengan ceria. Tak heran, ibu-ibu komplek disini menyukai dagangan dan sikapku.
“Ada apa bang?” tanyanya setelah para pembeli pergi dan tinggal kami berdua.
“Oh… ngga bu. Maaf ada yang kurang ya…” aku gugup setelah ia mengagetkanku ditengah lamunan.