Tulisan ini adalah tulisan pertama yang saya buat di platform kompasiana. Ya, mencoba sekadar menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan sebagai dokumentasi pribadi mengenai pelajaran kehidupan yang dialami. Semoga dapat pula menghibur atau menambah insight bagi kompasianer sekalian dan menjadi ruang diskusi bagi kita semua.Â
Dalam tulisan ini penulis mencoba menuangkan suatu resensi buku yang belum lama ini dibaca. Ya sesuai dengan judulnya buku tentang BUYA HAMKA, siapa yang tak kenal dengan beliau? Seorang Cendekia terkemuka di Indonesia, mungkin bagi orang Jakarta Selatan akan teringat HAMKA saat melalui Jalan Sisingamangaraja dekat Stasiun MRT ASEAN dan melihat Masjid Agung Al-Azhar. Buku ini berjudul "Ayah" suatu buku tentang HAMKA yang ditulis oleh anaknya, Irfan Hamka.Â
Buku ini sebenarnya lebih ke buku biografi Buya HAMKA yg ditulis oleh anak kandungnya irfan hamka. Dari buku ini kita bisa melihat bagaimana perspektif buya hamka dimata anak anak dan keluarganya, yg mungkin tidak pernah tersorot oleh pihak luar. Buya Hamka digambarkan sebagai sosok yang menguasai banyak hal, multidimensi.Â
Pertama ia adalah seorang ulama/cendekia seperti kebanyakan orng tau, dan sebagai seorang ulama beliau memiliki keteguhan prinsip yang membuatnya menanggalkan jabatannya sebagai ketua MUI pertama karena usaha intervensi pemerintah terhadap fatwanya. Jauh sebelum itu, keteguhan hamka telah membawanya merasakan dinginnya jeruji besi di Sukabumi pada pemerintahan orde lama dengan tuduhan makar yg tidak pernah trbukti. Tapi keteguhan prinsip itu diiringi dengan kelemahlembutan hati, yg mungkin didapat karena beliau adalah ulama sufi, yang dibuktikan dengan pandangan beliau mengenai tasawuf dalam bukunya "Tasawuf Modern" dan berbagai kesaksian tentang "karomah" yang tidak bisa dijelaskan secara harfiah seperti kemampuannya berdamai dengan jin yang mengganggu di rumah barunya di kebayoran baru saat itu. Kelembutan hati itu tercermin dari bagaimana keridaan beliau mensalati jenazah bung karno yang pdhl sama sama kita ketahui dimasa pemerintahan beliau ia hrus mendekam dipenjara, namun malah menghasilkan karya yang luar biasa yaitu Tafsir Al-Azhar. Dan juga dapat dilihat dari bagaimana keikhlasan beliau membimbing menantu Pramoedya Ananta Toer untuk masuk islam padahal notabebe Pramoedya adalah lawan politiknya yang sering menyerang Hamka dalam rubrik lentera di Koran Bintang Timur.
Kedua, hamka adalah seorang pejuang, pada usia mudanya ia bersama sama pejuang di sumatera barat melawan agresi militer belanda yang membuat istri dan anaknya harus berpindah pindah tempat melalui hutan sumatera di malam hari. Dari latar belakang ini pula lah kita dapat mengetahui bahwa hamka pun seorang pendekar yang mahir beladiri dalam hal ini adalah silat. Dan mungkin banyak yg sudah tau para ahli silat yg sebenarnya itu biasanya memiliki kemampuan batin yang mungkin sulit dipahami secara akal.
Ketiga, hamka adalah seorang sastrawan, karya karyanya sudah tidak asing lagi ditelinga penikmat sastra indonesia, sebut saja Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Dibawah Lindungan Kabah, mungkin diantara kita ada yg sudah membaca bukunya? Atau filmnya?
Dan keempat, pada akhirnya Hamka adalah seorang ayah sebagaimana judul yang dibuat oleh penulis. Hamka adalah seorang kepala keluarga, suami bagi istrinya dan ayah bagi anak2nya. Keberhasilan hamka dalam mendidik keluarganya telah membawa anaknya menuliskan buku ini sebagai bukti kebanggaan pada ayahandanya. Hebat betul orang tua jaman itu, anaknya banyak karena mungkin belum ada program Keluarga Berencana yg dimulai di masa orde baru, tapi orangtua jaman itu termasuk hamka berhasil mendidik keseluruh anak-anaknya melalui berbagai fase tahap kehidupan, di mulai di kampung halamannya di Maninjau Sumatera Barat hingga hijrah ke Jakarta dengan segala pertumbuhan ekonomi yang menyertai.
Jaman sekarang sepertinya mulai berubah, anak 2 saja mulai takut makan apa? Sekolah dimana? Hmmm..........
Tapi bagaimanapun keberhasilan keluarga hamka tidak lepas dari peran istrinya, Siti Raham Rasul yang senantiasa setia menemani hamka dalam berbagai fase kehidupannya, terlebih saat hamka dipenjara, ia senantiasa setia dalam menjaga kehormatan marwah keluarganya dan mendidik anak-anaknya.Â
Namun, dibalik keberhasilan Hamka dalam mendidik anak-anaknya dari buku ini kita bisa melihat bahwa Hamka kecil tak luput dari permasalahan keluarga, dari hal tersebut kita dapat belajar bahwa kondisi keluarga yang tidak ideal bukanlah alasan untuk tidak berusaha membangun keluarga yang ideal bagi anak-anak kita bukan?
Pada akhirnya buku ini memberikan banyak pelajaran berharga. Semoga kita kelak bisa meneladani kebijaksanaan hamka. Semoga kita bisa menjadi anak yang dibanggakan oleh orang tua dan kelak menjadi orang tua yang dibanggakan anak-anaknya serta diberkahi dengan pasangan yang senantiasa setia menemani kita berproses melalui berbagai tahap kehidupan yang dijalani.
Aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H