Proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), yang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group, terus menjadi pusat perdebatan publik. Ditambahkan ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah, proyek ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Mulai dari proses pengadaan lahan hingga dampak lingkungannya, banyak aspek yang dinilai merugikan masyarakat, terutama di wilayah Banten.
Latar Belakang Proyek PIK 2
PIK 2 dirancang sebagai kawasan elite dengan fokus pada perumahan, komersial, dan infrastruktur penunjang modern. Proyek ini melibatkan reklamasi dan perluasan lahan pesisir, yang sebelumnya menjadi tempat tinggal masyarakat pesisir tradisional. Dengan menjadikannya bagian dari PSN, pemerintah memberi kemudahan perizinan dan dukungan sumber daya. Namun, langkah ini menuai kontroversi karena statusnya sebagai proyek swasta murni, sehingga diragukan kontribusinya pada kepentingan masyarakat luas.
Kritik Terhadap Pengadaan Lahan
Salah satu isu paling serius adalah pengadaan tanah. Masyarakat Banten melaporkan bahwa tanah mereka dibeli dengan harga yang tidak adil, bahkan disebut hanya sekitar Rp50.000 per meter. Dalam beberapa kasus, ada tuduhan perampasan paksa. Hal ini memicu ketidakpuasan besar, karena harga tersebut jauh di bawah nilai pasar.
Lebih parah lagi, masyarakat lokal merasa diabaikan dalam proses negosiasi. Mereka kehilangan akses ke tanah leluhur yang memiliki nilai ekonomi dan budaya tinggi. Pendekatan yang cenderung memihak investor besar semakin memperkuat narasi bahwa pemerintah lebih mendukung kelompok elite daripada rakyat kecil.
Dampak Lingkungan: Warisan Kelam Reklamasi
Sejarah proyek PIK tidak lepas dari dampak negatif terhadap lingkungan. Di PIK 1, reklamasi pesisir Jakarta mengganggu ekosistem laut dan mangrove. Selain itu, proyek ini dituding memperparah risiko banjir karena pengurangan area resapan air. Dalam konteks PIK 2, banyak yang khawatir dampak serupa akan terjadi di Banten.
Aktivis lingkungan juga mengingatkan bahwa reklamasi berpotensi merusak habitat pesisir dan mempersempit akses nelayan lokal ke sumber daya laut. Dengan degradasi lingkungan yang terjadi, manfaat ekonomi proyek ini dinilai tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Di Mana Keadilan?