Desember telah tiba, dan di dunia pasar modal, bulan ini bukan sekadar waktu untuk menghitung hari menuju liburan. Ini adalah musim bagi para manajer investasi dan perusahaan publik untuk memakai "gaun malam terbaik" mereka, yang dikenal sebagai window dressing. Dalam istilah sederhana, window dressing adalah seni mempercantik laporan keuangan dan portofolio investasi agar terlihat lebih menggoda di mata investor. Seperti ilusi dalam teater, strategi ini mampu menciptakan citra perusahaan yang cemerlang, meskipun kenyataannya mungkin tidak seindah yang terlihat.
Window dressing sering kali menjadi alasan mengapa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menikmati performa yang cerah di bulan Desember. Pada akhir tahun 2024, optimisme terhadap fenomena ini semakin terasa. Saham-saham unggulan seperti BBRI, TLKM, dan BBCA menunjukkan daya tarik luar biasa, didukung oleh fundamental yang kuat dan kapitalisasi pasar yang besar. Para investor, baik ritel maupun institusional, tampaknya terpikat pada peluang reli ini. Apalagi, sektor perbankan dan barang konsumsi, dua raksasa di indeks LQ45, diproyeksikan menjadi pendorong utama penguatan IHSG
Namun, optimisme ini tidak datang tanpa pertanyaan besar: Apakah reli ini sepenuhnya didorong oleh fundamental yang kokoh, atau hanyalah refleksi dari bias psikologis investor yang dikenal sebagai recency bias? Dalam hal ini, investor cenderung fokus pada data terbaru yang dalam kasus ini adalah laporan akhir tahun yang "dipoles" dan melupakan gambaran keseluruhan.
Siapa yang Terkecoh?
Menariknya, perilaku investor terhadap window dressing berbeda antara kalangan ritel dan institusi. Investor ritel sering kali melihat kenaikan harga saham sebagai sinyal positif, tanpa mempertanyakan apa yang mendorongnya. Bagi mereka, Desember adalah waktu untuk "ikut arus," berburu saham yang diprediksi akan terus naik. Sayangnya, ini sering kali berujung pada pembelian di harga puncak sebelum koreksi terjadi di awal tahun berikutnya.
Di sisi lain, investor institusi menggunakan window dressing sebagai strategi untuk menarik perhatian klien dan meningkatkan kepercayaan terhadap portofolio mereka. Mereka membeli saham unggulan untuk memperkuat citra, sembari tetap menyadari risiko koreksi yang akan datang. Strategi ini menciptakan pola dinamis di pasar: pembelian besar-besaran pada akhir tahun, diikuti oleh aksi jual pada Januari, yang sering dikenal sebagai January Effect.
Fenomena window dressing tidak hanya terlihat dalam pola perdagangan saham, tetapi juga dalam manipulasi laporan keuangan. Kasus PT Garuda Indonesia Tbk pada tahun 2019 adalah contoh nyata bagaimana strategi ini dapat membawa konsekuensi serius. Perusahaan ini mencatatkan pendapatan dari transaksi jangka panjang sebagai pendapatan tahun berjalan untuk mempercantik laporan keuangan. Hasilnya? Laporan laba yang tampak positif berhasil menarik perhatian investor, meskipun kondisi sebenarnya perusahaan sedang merugi
Namun, kebenaran akhirnya terungkap, menyebabkan penurunan besar dalam kepercayaan investor dan sanksi dari regulator pasar modal. Kasus ini menjadi pengingat bahwa window dressing, jika tidak dilakukan dengan transparansi, dapat membawa risiko jangka panjang yang serius bagi reputasi dan stabilitas pasar saham.
Dampak Jangka Panjang dan Refleksi