Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Pasca Sarjana Studi Ekonomi Syariah di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dampak Deflasi terhadap Sektor Riil dan Pasar Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2024

5 Oktober 2024   11:04 Diperbarui: 5 Oktober 2024   11:09 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kembali mengalami deflasi secara beruntun selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024. Kondisi ini bukanlah hal baru, namun tetap menarik perhatian mengingat sejarah kelam krisis 1998/1999 yang pernah membawa Indonesia pada situasi serupa. Apakah kita sedang menghadapi ulangan krisis yang sama? Atau, mungkin kita hanya mengalami fenomena sementara akibat faktor eksternal? Mari kita coba memahami situasi ini dengan sudut pandang yang lebih satir, karena sepertinya ketika harga-harga turun, ada hal lain yang diam-diam ikut anjlok: daya beli masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada September 2024, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12% secara bulanan. Ini merupakan angka yang makin dalam dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu 0,03%. Deflasi bukanlah sesuatu yang harus ditakuti secara otomatis, karena umumnya orang akan senang ketika harga-harga barang menurun. Namun, situasi kali ini agak berbeda. Ini bukan tentang "diskon besar-besaran," melainkan tanda ada yang salah dalam mesin ekonomi kita.

Sebagai kilas balik, situasi seperti ini terakhir kali terjadi pada 1999, tepat setelah Indonesia menghadapi krisis moneter 1997/1998. Delapan bulan berturut-turut deflasi kala itu bukanlah tanda pemulihan, melainkan cerminan dari carut-marutnya ekonomi. Kali ini, meski tidak separah krisis sebelumnya, situasi tersebut membawa nostalgia pahit bagi sebagian pihak.

Ada banyak faktor yang menyebabkan deflasi tahun ini, dan salah satunya adalah penurunan harga pangan yang signifikan. Jika kita melihat lebih jauh, harga-harga bahan pokok seperti beras, telur, hingga daging terus menurun. Tapi, mengapa harga ini tidak memberi dorongan besar pada konsumen untuk membeli lebih banyak? Jawabannya mungkin bisa kita temukan dalam lemahnya daya beli masyarakat.

Ironisnya, saat pasokan tercukupi dan harga-harga terjangkau, permintaan justru menurun. Banyak peternak bahkan sampai menggelar aksi protes akibat jatuhnya harga telur, yang diikuti oleh anjloknya permintaan. Deflasi yang seharusnya hanya terjadi dalam 1-2 bulan pasca-Lebaran, kali ini terus berlanjut hingga lima bulan.

Selain itu, angka pengangguran yang melonjak juga menjadi faktor signifikan. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan lonjakan angka PHK pada Agustus 2024 sebesar 23,72% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini sangat memprihatinkan, karena setiap PHK berarti satu keluarga yang kehilangan pendapatan, yang akhirnya memengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

Tahun 1999 menjadi cermin dari betapa rentannya Indonesia saat mengalami deflasi berkepanjangan. Saat itu, krisis moneter membuat ekonomi nasional terpuruk, dan deflasi adalah salah satu gejala dari kehancuran tersebut. Meskipun situasi 2024 tidak seburuk itu, ada kemiripan yang tidak bisa diabaikan. Ketika daya beli masyarakat melemah, konsumsi menurun, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, fenomena ini menjadi catatan terburuk bagi pemerintahan Joko Widodo. Deflasi yang berkelanjutan tidak hanya mencerminkan kesulitan ekonomi masyarakat, tetapi juga mengungkap kelemahan dalam kebijakan yang mungkin tidak responsif terhadap kebutuhan lapangan kerja dan daya beli.

Dalam konteks ekonomi Islam, daya beli yang kuat dianggap sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Teori ini menekankan pentingnya distribusi kekayaan yang merata, melalui mekanisme seperti zakat dan wakaf, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Jika daya beli masyarakat melemah seperti saat ini, tentu ada masalah dalam distribusi kekayaan yang harus diperbaiki.

Ekonomi Islam juga menekankan pentingnya produksi dan konsumsi yang seimbang. Ketika produksi melimpah, tetapi konsumsi tidak sejalan, deflasi dapat terjadi. Prinsip ekonomi Islam yang mendorong kesederhanaan dalam konsumsi seharusnya tidak berarti pengorbanan daya beli, tetapi menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara pasokan dan permintaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun