Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Buku saya : Utang Itu Candu,menjalani hidup yang waras tanpa riba | Blog pribadi : https://www.banguntidur99.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jebakan Low-Skilled Labor Trap di Era Formalisasi Gig Economy

27 September 2024   14:08 Diperbarui: 27 September 2024   14:11 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi digital telah berkembang pesat di Indonesia, menciptakan lapangan pekerjaan baru terutama di sektor transportasi daring, logistik, dan pengantaran makanan. Keberadaan ekonomi gig ini telah membantu mengurangi angka pengangguran, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di DKI Jakarta turun drastis dari 11% pada tahun 2011 menjadi 5,79% pada tahun 2018 setelah kehadiran aplikasi transportasi daring.

Meski tampak memberikan solusi bagi masalah pengangguran, pekerjaan di sektor gig seringkali bersifat sementara dan minim keterampilan. Situasi ini menimbulkan risiko serius yang disebut Low-Skilled Labor Trap, di mana pekerja terjebak dalam pekerjaan berupah rendah tanpa peluang untuk meningkatkan keterampilan atau mobilitas karier.

Pertumbuhan pesat ekonomi gig memberikan dampak signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran, khususnya di kota-kota besar. Sebagai contoh, di Jakarta, pengangguran yang semula stabil di angka 11% pada awal dekade 2010-an mulai menurun tajam setelah aplikasi ojek daring hadir pada tahun 2014. Secara nasional, tren serupa juga terlihat dengan menurunnya tingkat pengangguran di banyak wilayah seiring dengan berkembangnya transportasi dan layanan digital lainnya.

Namun, di balik penurunan angka pengangguran tersebut, muncul permasalahan baru. Mayoritas pekerjaan di sektor gig memerlukan keterampilan rendah, sehingga pekerja sering kali terjebak dalam pekerjaan yang tidak memberikan kesempatan untuk berkembang. Akibatnya, mereka tidak memiliki akses pada pekerjaan yang lebih stabil dan berkualitas.

Low-Skilled Labor Trap adalah kondisi di mana pekerja, khususnya di sektor gig, terjebak dalam pekerjaan berupah rendah dan minim keterampilan tanpa peluang untuk meningkatkan kemampuan mereka. Meskipun formalisasi pekerja gig tampaknya bisa menjadi solusi untuk memberikan perlindungan yang lebih baik, pendekatan ini justru bisa memperkuat jebakan keterampilan rendah jika tidak disertai dengan program pengembangan keterampilan yang memadai.

Ketiadaan pelatihan dan peluang karier yang jelas menyebabkan pekerja gig tidak bisa beralih ke pekerjaan yang lebih mapan. Mereka tetap berada di posisi yang sama, bekerja di bawah tekanan dan tanpa perlindungan jangka panjang, sehingga rentan terhadap eksploitasi dari platform yang mereka andalkan untuk penghidupan.

Upaya untuk memformalkan pekerja gig seringkali dilihat sebagai langkah untuk memberikan perlindungan sosial dan ketenagakerjaan yang lebih baik. Namun, tanpa pendekatan yang holistik, formalisasi ini bisa menjadi bumerang. Menjamurnya pekerjaan gig pada dasarnya merupakan akibat dari kurangnya lapangan kerja formal yang berkualitas di Indonesia. Dengan hanya memformalkan pekerja gig tanpa menyelesaikan akar masalah, yaitu minimnya pekerjaan formal berketerampilan tinggi, kebijakan ini hanya akan menciptakan ilusi perlindungan tanpa memperbaiki permasalahan utama.

Lebih jauh lagi, formalisasi gig worker berisiko menekan perusahaan-perusahaan digital, terutama startup yang masih merugi. Banyak platform digital yang mengakomodasi pekerja gig mungkin harus mengurangi jumlah pekerja mereka atau mengubah skema kerja sama untuk menekan biaya. Seorang pengemudi ojek daring pernah menceritakan bahwa ia dulu menikmati insentif dan bonus yang tinggi, tetapi kini semuanya telah berkurang. Pekerja gig seperti pengemudi ini mengalami penurunan kesejahteraan, dan kebijakan formalisasi yang tidak tepat dapat memperburuk situasi ini.

Solusi yang paling efektif untuk mengatasi jebakan keterampilan rendah adalah dengan intervensi kebijakan yang lebih komprehensif. Pemerintah harus fokus pada penyediaan pelatihan keterampilan dan pendidikan yang relevan agar pekerja gig memiliki peluang untuk berpindah ke pekerjaan yang lebih stabil dan berpenghasilan lebih tinggi.

Selain itu, penting juga untuk mengatur hubungan kerja antara perusahaan platform dan pekerja gig dengan lebih adil. Hal ini melibatkan peninjauan kembali kontrak kerja, hak-hak pekerja, dan akses pada jaminan sosial. Upaya untuk melindungi pekerja gig harus didasarkan pada keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan perusahaan.

Menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan lapangan kerja formal yang berkualitas juga sangat penting. Ini dapat dilakukan melalui insentif bagi industri yang membutuhkan keterampilan tinggi serta dengan menyediakan program pendidikan dan pelatihan yang selaras dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berkembang.

Low-Skilled Labor Trap adalah ancaman yang perlu mendapat perhatian serius dalam diskusi seputar formalisasi pekerja gig di Indonesia. Meskipun ekonomi gig memberikan solusi sementara terhadap masalah pengangguran, formalisasi yang tidak diiringi dengan peningkatan keterampilan dan perlindungan sosial hanya akan memperburuk masalah keterampilan rendah.

Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang menyeluruh untuk meningkatkan keterampilan pekerja gig dan membuka peluang karier yang lebih baik, serta menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas. Hanya dengan pendekatan ini, kita dapat menghindari jebakan keterampilan rendah dan membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan dan adil.

Dari sudut pandang ekonomi Islam, sistem ekonomi harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan. Prinsip adl (keadilan) dan maslahah (kesejahteraan umum) mengajarkan bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang adil, termasuk dalam hubungan kerja. Ekonomi Islam juga mendorong redistribusi kekayaan melalui zakat, yang dapat membantu meringankan beban pekerja dengan keterampilan rendah.

Dengan demikian, dalam konteks pekerja gig, pendekatan formalisasi harus sejalan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan tersebut. Pemerintah dan perusahaan digital harus memastikan bahwa pekerja gig tidak hanya diperlakukan sebagai aset yang dioptimalkan, melainkan diberikan kesempatan untuk berkembang melalui pelatihan dan pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun