Dalam dunia yang semakin terhubung, kita hidup di era di mana notifikasi ponsel lebih penting daripada detak jantung kita sendiri. Peningkatan teknologi komunikasi dan banjir informasi telah membuat kita lebih bergantung pada gadget daripada oksigen. Kita menggantungkan hidup pada layar kecil yang menginformasikan segalanya, dari berita dunia hingga siapa yang baru saja makan siang di restoran terbaru. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara kita hidup, tetapi juga mengubah cara kita merasakan hidup, terutama ketika kita sudah terjangkit FoMO, atau Fear of Missing Out.
Di zaman yang katanya modern ini, FoMO telah menjadi penyakit yang sangat menular. Dulu, gejala ini hanya menyerang mereka yang iri hati kepada tetangga yang membeli motor terbaru, tetapi sekarang, dengan sekali sentuhan, kita bisa iri kepada siapa saja, di mana saja, bahkan kepada teman lama yang baru saja berlibur ke Bali, sedangkan kita masih berjuang mencari cara untuk liburan ke kasur yang ada di rumah kita. Gadget, yang seharusnya mempermudah hidup, malah menjadi sumber stres yang tak terelakkan.
FoMO, alias ketakutan tertinggal, membuat kita merasa harus selalu up-to-date dengan semua hal yang sedang tren. Apakah teman di sebelah sudah mencoba makanan paling viral? Apakah ada aplikasi baru yang harus kita unduh untuk tetap dianggap eksis? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menghantui keseharian kita. Kita terperangkap dalam pusaran informasi, takut akan kehilangan satu pun momen penting.
Jangan anggap enteng, FoMO bisa menyerang siapa saja, kapan saja. Gejalanya bisa bervariasi, dari yang ringan seperti rasa cemas ketika tidak mengecek ponsel selama satu jam, hingga yang parah, di mana seseorang rela menghabiskan uang yang tidak dimiliki untuk barang-barang yang tidak dibutuhkan, demi memenuhi standar yang ditentukan oleh orang lain. Bagi beberapa orang, mereka lebih baik dianggap bangkrut daripada ketinggalan tren.
Sebagai contoh, kita lihat banyak orang yang rela berhutang demi memiliki barang branded, hanya agar dianggap keren oleh kelompok sosial mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketakutan akan ketinggalan lebih kuat daripada ketakutan akan kemiskinan. Ironisnya, mereka yang menderita FoMO sering kali berakhir dengan keuangan yang berantakan dan kesehatan mental yang terganggu.
Dunia digital yang seharusnya menjadi jembatan pengetahuan, malah berubah menjadi perangkap yang mengerikan. Media sosial, bukannya mendekatkan yang jauh, malah membuat kita merasa semakin jauh dari kenyataan dan tenggelam dalam dunia maya. Kita terlalu sibuk mengejar citra sempurna yang dipamerkan orang lain, lupa bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dengan jumlah likes atau komentar pujian.
Flexing di media sosial telah menjadi kebiasaan yang umum. Semakin banyak orang yang menggunakan gadget mereka bukan sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai alat untuk menunjukkan betapa 'sempurna' hidup mereka. Padahal, di balik foto liburan yang sempurna, ada tagihan kartu kredit yang menunggu untuk dilunasi dan pinjol-pinjol yang siap menagih kapan pun.
Namun, di tengah kekacauan ini, ada harapan baru yang mulai menggeliat: JoMO, atau Joy of Missing Out. JoMO adalah seni menikmati hidup tanpa terikat pada dunia digital. Ini adalah tentang melepaskan diri dari kebutuhan untuk selalu up-to-date dan menemukan kebahagiaan dalam momen yang sederhana dan nyata.
Kebalikan dari FoMO adalah JoMO, JoMO atau Joy of Mising Out. JoMO mengacu pada bagaimana manusia mengambil momentum secara sadar untuk terlepas dunia internet dan mengalami suatu hidup tanpa tergantung pada internet (Crook, 2015).
Alih-alih khawatir tentang apa yang terjadi di dunia maya, JoMO mengajak kita untuk menikmati saat-saat tanpa gangguan teknologi. Cobalah sesekali matikan ponsel kita dan perhatikan dunia di sekitar kita. Kita mungkin akan terkejut dengan betapa indahnya burung berkicau atau bagaimana angin sepoi-sepoi bisa membuat hari kita lebih baik. Tentu saja, JoMO tidak semudah membalikkan telapak tangan; untuk mempraktikkan JoMO kita butuh kesadaran penuh akan buruknya efek dari FoMO.