Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Studi Ekonomi Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Ego Menari dan Bersekutu dengan Pikiran Kita

14 Juli 2024   23:37 Diperbarui: 14 Juli 2024   23:49 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia, makhluk yang penuh dengan keajaiban, memiliki pikiran yang lebih rumit daripada plot cerita romantis paling dramatis. Di dalam otak kita, terdapat berbagai sifat, dari yang sepositif malaikat hingga se-negatif penjahat film, bahkan sifat yang membuat orang merasa muak. Semua sifat ini membentuk karakter kita, seperti aktor yang memainkan perannya dalam drama kehidupan.

Di tengah keramaian sifat-sifat ini, ada satu teman sejati yang tidak pernah meninggalkan kita: ego. Ah, ego, bintang utama dalam panggung eksistensi kita. Selama kita masih bernapas dan otak kita berfungsi, ego akan selalu ada, setia menemani ke mana pun kita pergi. Ego ini, tentu saja, berbeda pada setiap orang, tergantung lingkungan yang membentuknya. Ego adalah teman yang selalu ada di saat kita butuhkan, baik untuk memuji diri sendiri atau untuk menyalahkan orang lain.

Mari kita bicara tentang hubungan antara pikiran dan ego. Mereka ini ibarat duet maut yang tak terpisahkan. Pikiran kita menghasilkan ego, dan ego ini kemudian memandu tindakan dan keputusan kita dalam hidup. Maka dari itu, penting untuk menjaga agar pikiran dan ego kita selalu selaras dengan kesadaran yang tinggi. Jika tidak, kita bisa berakhir dengan keputusan yang lebih buruk daripada memilih outfit terburuk untuk kencan pertama.

Pikiran manusia itu seperti anak kecil yang liar di taman bermain, sungguh tidak bisa dibatasi. Kita bisa berpikir tentang apa saja, kapan saja, di mana saja. Tapi begitu ego ikut campur, pikiran kita berubah menjadi penipu ulung. Hasilnya? Hidup kita menjadi penuh dengan kepalsuan, seakan-akan kita adalah aktor dalam film dengan naskah yang buruk. Tanpa keselarasan antara pikiran dan ego, kebahagiaan menjadi hal yang sulit dijangkau.

Contohnya, mari kita bahas hal yang sederhana: makanan. Kita semua sepakat bahwa makan adalah kebutuhan dasar, bukan? Namun, begitu ego masuk dalam permainan, pikiran kita berubah menjadi arena pertempuran. Saat kita lapar, apa yang seharusnya sederhana menjadi rumit karena ego yang ikut campur. Di atas meja hanya ada nasi dan telur, tapi pikiran kita membayangkan steak mahal. Kenapa? Karena ego tidak pernah puas dengan yang sederhana. Ego selalu menuntun kita ke hal-hal yang membuat kita sulit untuk bersyukur

Jadi, saat kita lapar dan melihat nasi serta telur di meja, apa yang seharusnya kita lakukan? Sederhana saja: makan. Tapi ego tidak semudah itu. Ego mulai berbisik, "Bukankah lebih enak makan steak seharga ratusan ribu?" Begitulah, ego selalu menginginkan lebih, membuat hidup kita penuh dengan keinginan yang tidak perlu. Makan nasi dan telur bisa menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan jika kita melakukannya dengan rasa syukur, merayakan apa yang kita miliki, bukan meratapi apa yang tidak kita miliki.

Banyak dari kita yang mengalami keruwetan hanya dalam urusan makan. Kita ingin ini dan itu, dan jika tidak tersedia, maka makan menjadi kurang nikmat. Itulah ego bekerja. Ego tidak pernah puas dengan apa yang ada di depan mata. Mengurangi rasa syukur terhadap apa yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah salah satu efek negatif ego yang sering kali kita abaikan.

Sederhananya, ego membuat segalanya menjadi lebih rumit daripada yang seharusnya. Ego menciptakan keinginan yang tak berujung, membuat kita lupa bahwa kebahagiaan sejati datang dari kesederhanaan. Ketika kita bisa menikmati nasi dan telur dengan rasa syukur, kita menyadari bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki yang terbaik, tetapi tentang menghargai apa yang kita miliki.

Lalu, bagaimana kita bisa hidup seimbang dengan ego yang selalu ingin lebih? Jawabannya adalah dengan kesadaran. Kesadaran untuk menyadari bahwa ego ada di sana, selalu mencoba untuk mengendalikan pikiran kita. Ketika kita bisa menyadari ini, kita bisa mulai mengontrol ego, bukan sebaliknya. Kesadaran membantu kita untuk menikmati hidup dengan cara yang lebih sederhana dan lebih alami.

Sebagai penutup, mari kita ingat bahwa hidup adalah tentang keseimbangan. Pikiran dan ego akan selalu ada, berperan dalam setiap keputusan yang kita buat. Namun, dengan kesadaran dan rasa syukur, kita bisa menjalani hidup dengan cara yang lebih bijaksana dan seimbang. Jadi, lain kali ketika ego mencoba untuk mengambil alih, ingatlah bahwa hidup tidak harus serumit itu. Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit nasi dan telur, serta banyak rasa syukur. Fenomena nasi dan telur hanya contoh kecil dari Persekutuan pikiran dan ego. Selamat bertempur melawan ego yang ada di dalam diri kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun