Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Studi Ekonomi Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Mati Penasaran: Teror Pocong Pinjol

10 Juli 2024   22:25 Diperbarui: 10 Juli 2024   23:28 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, 8 Maret 2024: Hari yang Penuh Duka

Hari itu, seorang remaja bernama Budi mengalami duka mendalam karena kehilangan ibunya yang mendadak. Tepat pukul 01:00 WIB, ibunya, yang tidak diketahui penyebab kematiannya, meninggal dunia. Suara toa masjid menggema di setiap sudut kampung, mengumumkan kabar duka tentang meninggalnya Ibu Darmi, ibu dari Budi yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Budi dan ayahnya sangat terpukul dengan kepergian Ibu Darmi yang begitu tiba-tiba. Rumah mereka dipenuhi oleh kerabat dan tetangga yang datang untuk membantu proses pemakaman. Kematian Ibu Darmi menimbulkan berbagai bisik-bisik di kalangan tetangga. "Padahal tadi sore saya ngobrol sama Ibu Darmi, gak ada yang nyangka ya umur mah," ucap salah satu tetangga dekat rumah Budi.

Budi terduduk lesu di samping jenazah ibunya yang sudah dibalut kain kafan. Tangisannya tak bisa terbendung karena kesedihan yang mendalam. Ayahnya pun menangis sambil membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Keluarga Budi dan para tetangga sangat terkejut dengan kepergian Ibu Darmi.

Matahari mulai muncul, menandakan pagi telah tiba. Pemakaman Ibu Darmi baru bisa dilaksanakan karena menunggu sanak keluarga dari luar kota. Angin besar dan awan gelap menyelimuti pemakaman saat itu. Beruntung, hujan baru turun setelah pemakaman selesai sehingga tidak mengganggu proses pemakaman.

Hari Pertama Tahlilan

Malam pertama tahlilan Ibu Darmi dihadiri oleh banyak warga sekitar. Lantunan ayat suci berkumandang. Dalam tradisi di beberapa wilayah di Banten, ada orang yang ditugaskan untuk menjaga dan mengaji di makam orang yang baru meninggal. Budi mengajak teman-temannya untuk mengaji di pemakaman tempat ibunya dikubur. Adam, Roby, dan Fikri setuju untuk bergantian mengaji bersama santri dari pondok pesantren terdekat, sehingga total ada delapan orang, termasuk Budi, yang mengaji di makam ibunya.

Pukul 11 malam, dua santri sedang mengaji di depan kuburan Ibu Darmi, sementara Budi dan teman-temannya menemani di belakang sambil mengobrol pelan. Adam berceloteh, "Saya sih berani-berani aja kalau disuruh ngaji sendirian di kuburan." "Seriusan lu, Dam?" tanya Fikri. "Paling kabur kalo liat setan," sahut Roby, yang membuat mereka tertawa kecil. Budi pun mulai mengaji dengan serius.

Salah satu santri yang memegang smartphone dan membuka aplikasi sosial media tiba-tiba merasa merinding, seperti ada yang mengawasinya. Ia menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang, namun tidak menemukan apa-apa. Ia kemudian berbicara kepada temannya, "Lu ngerasa gak sih kaya ada yang aneh, kaya ada yang merhatiin kita?" Temannya mengiyakan, namun mereka tetap tidak menghiraukannya.

Tanpa disadari, ada pocong yang berdiri di batang pohon sekitar sepuluh meter dari tempat mereka duduk. Santri yang membuka aplikasi belanja online pertama kali melihatnya. Awalnya, ia mengira itu spanduk, namun setelah ditelaah lebih lanjut, ternyata itu pocong yang menyeramkan. Santri tersebut terpaku dan tidak bisa bergerak karena ketakutan. Ia kemudian memberitahu temannya dengan terbata-bata, "Lu, Lu liat gak, di, di, di atas pohon sawo?" Temannya menjawab, "Spanduk itu bro." "Lu liat baik-baik, Jhon," sahut santri tersebut. Temannya juga menjadi kaku dan tidak bisa bicara.

Mereka berdua berinisiatif untuk kabur tanpa memberitahu yang lainnya. Adam, Roby, Fikri, dan Budi belum menyadari kehadiran pocong di atas pohon sawo. Pukul 00:30 WIB, dua santri mengaji selesai dan menanyakan keberadaan kedua temannya yang tidak ada. "kang temen-temen saya pada kemana ya?," tanya salah satu santri.  "Ke toilet kayaknya," jawab Adam dengan ragu. Lalu kedua santri tersebut izin untuk menyusul temannya.

Tinggal mereka berempat di pemakaman. Roby dan Fikri maju untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sementara Adam menunggu giliran. Adam merasa bete karena teman-temannya semua mengaji dan Budi belum berhenti mengaji. Ia kemudian iseng membuka smartphone-nya dan berselancar di media sosial, berakhir membuka aplikasi belanja online untuk mengecek pesanannya.

Adam mulai merinding saat membuka aplikasi marketplace, namun ia tidak menghiraukannya. Roby dan Fikri masih melanjutkan bacaan Al-Qur'an. Tiba-tiba, Fikri merasa ada bau busuk yang menghampirinya. Ia berhenti sejenak dan melihat sekeliling, namun tidak ada apa-apa. Ia melanjutkan bacaannya, namun ketika membaca ayat kursi, ia melihat ada yang bergerak warna putih di ujung matanya. Setelah dilihat lebih lanjut, ternyata tidak ada apa-apa.

Saat Fikri melihat ke atas, ia melihat pocong berdiri di atas pohon dengan bau busuk yang menyengat. Fikri berhenti membaca Al-Qur'an. Adam yang menyadari fikri terdiam, lalu menegur, "Fik, kok diem?" Fikri yang melihat ke atas pohon membuat Adam penasaran. "Jancuukk pocong," teriak Adam yang langsung kabur terbirit-birit diikuti Fikri. Roby ikut lari tanpa tahu apa yang terjadi dan Budi keheranan dengan apa yang terjadi, lalu menyusul mereka bertiga dan menghentikan bacaan AlQurannya.

Budi memanggil-manggil mereka dari kejauhan, namun tidak didengar. Mereka berlari menerobos semak-semak dan tanaman di sekitar pemakaman. Setelah jauh dari pemakaman dan sampai di rumah-rumah warga, Adam dan Fikri berhenti sambil ngos-ngosan. Tidak lama kemudian, Roby datang. "Kalian kenapa kabur sih?" tanya Roby. "Lu kabur kenapa?" tanya Adam balik. "Gua ngikutin kalian berdua," jawab Roby sambil nyengir tipis.

Mereka pun melanjutkan perjalanan ke rumah Budi. Setibanya di rumah Budi, keempat santri yang tadi di pemakaman sedang membicarakan sesuatu. Salah satu santri nyeletuk, "Habis liat pocong ya, Kang?" "Lah kok kalian tahu sih!" ucap Adam. Santri tersebut lalu menceritakan bahwa mereka juga kabur karena melihat pocong di atas pohon sawo. "Bener bro, tadi saya juga lihat dan mencium bau busuk," ujar Fikri.

Mereka semua tidak berani pulang ke rumah masing-masing dan melanjutkan membaca Al-Qur'an di rumah Budi serta menginap di sana. Pagi harinya, setelah solat subuh, mereka izin pulang ke rumah masing-masing. Seusai solat subuh, Budi duduk di ruang tamu bersama ayahnya. Ia teringat akan kejadian semalam dan bertanya-tanya apakah pocong yang mereka lihat adalah ibunya.

Budi tiba-tiba mendengar suara barang-barang di rumah yang bergerak sendiri dan berjatuhan. Televisi, rak sepatu, dan kipas angin seperti ada yang memainkan. Budi dan ayahnya saling tatap karena bingung. Tiba-tiba, ponsel yang biasa digunakan ibunya berbunyi karena ada telepon masuk. Budi mengambil ponsel tersebut dan mengangkat telepon, namun tidak ada suara di ujung telepon. Nomor yang menelepon tidak dikenal.

Barang-barang mulai berhenti bergerak saat Budi mengangkat telepon. Budi kemudian membuka pesan-pesan di ponsel ibunya dan kaget melihat bahwa ibunya memiliki pinjaman online dari Shopee PayLater. Ada beberapa pesan tagihan dari Shopee. Tiba-tiba, ponsel Budi berdering. Fikri menelepon. "Hallo Fik, ada apa?" tanya Budi. "Bud, dimana? Mau cerita nih, semalam saya mimpi ibumu, terus ibumu berpesan kalau hutang-hutangnya segera dilunasi semua."

Tanpa sepatah kata, Budi langsung menutup telepon. Fikri di ujung telepon heran. Budi segera memberitahu ayahnya bahwa ibunya masih memiliki hutang di Shopee PayLater. Ayah Budi kebingungan karena uangnya habis untuk proses pemakaman dan acara tahlilan. "Nanti saja, Bud, nunggu bapak gajian ya, seminggu lagi," kata ayahnya. Budi, yang hanya seorang siswa SMA, bingung mau mencari uang ke mana. Ia menyarankan untuk menjual emas milik ibunya, namun ayahnya menolak karena emas itu adalah hadiah pernikahan.

Cerita ini sampai Tahlilan ke-7 hari, Like dan komen agar penulis semangat melanjutkan cerita horor ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun