Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Pasca Sarjana Studi Ekonomi Syariah di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Moralitas Vs Uang, Riba dalam Perspektif Agama

9 Juli 2024   20:30 Diperbarui: 9 Juli 2024   20:38 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ah, riba. Topik yang tak pernah gagal memunculkan kontroversi, kemarahan, dan jika kita jujur sedikit tawa kecut. Bunga pinjaman, atau riba, adalah bumbu kehidupan finansial yang telah membuat umat manusia bingung dan marah selama ribuan tahun. Bayangkan, kita semua bekerja keras hanya untuk melihat sebagian dari penghasilan kita disedot oleh mereka yang memiliki keberanian untuk meminjamkan uang. Jadi, mari kita lihat bagaimana berbagai agama memandang riba, yang pasti akan membuat Anda tertawa getir.

Definisi Sederhana untuk Sebuah Konsep yang Rumit
Riba, bagi mereka yang belum tahu, adalah praktek menambahkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok. Dalam bahasa yang lebih sederhana, ini berarti orang kaya menjadi lebih kaya tanpa harus melakukan pekerjaan nyata, sementara orang miskin terjebak dalam lingkaran utang yang tak berkesudahan. Tentu saja, ini semua dilakukan atas nama "bisnis."

Secara linguistik, riba berarti "tambahan" atau "tumbuh dan membesar." Bukankah itu menggemaskan? Dalam istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Dengan kata lain, itu adalah cara elegan untuk mengatakan "merampok orang miskin secara sah."

Riba dalam Agama Islam: Dilarang Keras, Tapi Tetap Dilakukan
Dalam Islam, riba adalah dosa besar. Praktik ini diharamkan karena dianggap sebagai bentuk penindasan ekonomi. Tapi, mari kita jujur, meskipun diharamkan, praktik ini tetap saja terjadi. Mengapa? Karena, seperti yang kita semua tahu, uang berbicara lebih keras daripada moralitas. Setidaknya, dalam banyak kasus. 

Indonesia sendiri adalah salah satu penduduk muslim terbesar di dunia, namun, coba lihat praktek riba tumbuh subur tanpa halangan sedikitpun dari mulai pinjaman Legan dan Ilegal bisa di nikmati di negeri yang mayoritas dengan kepercayaan anti riba ini, Miris!, Umat Islam seperti sedang menantang tuhannya sendiri.

Islam mengajarkan bahwa mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain adalah salah. Tapi, sayangnya, itu tidak menghentikan beberapa "pengusaha" dari mencari celah untuk tetap bisa memungut bunga. Lagipula, apa artinya memiliki larangan jika tidak ada yang benar-benar mengikutinya?.

Sejarah Riba: Empat Ribu Tahun Hipokrisi
Menurut Wayne A. M Visser dan Alastair McIntosh, praktik riba telah ada sejak empat ribu tahun yang lalu. Selama sejarah panjang ini, riba telah dikutuk, dilarang, dihina, dan dihindari. Tapi, seperti hantu yang menolak untuk pergi, riba terus muncul kembali dalam berbagai bentuk. Bahkan saat larangan semakin ketat, praktik ini tetap saja berlanjut. Mengapa? Karena, tentu saja, ketamakan manusia tidak mengenal batas.

Riba dalam Hindu dan Budha: Hipokrisi Kuno yang Berlanjut
Mari kita beralih ke agama-agama lain, dimulai dengan Hindu dan Budha. Praktik riba dalam agama Hindu dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno India. Teks-teks Veda India kuno menyebut "lintah darat" (kusidin) sebagai pemberi pinjaman dengan bunga. Bagus, bukan? Bahkan ribuan tahun yang lalu, orang sudah tahu bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah tindakan menjijikkan. Tapi, apakah itu menghentikan mereka? Tentu saja tidak.

Teks Sutra dan Jataka Buddha juga menggambarkan sentimen yang menghina riba. Hukum berdasarkan Weda mengutuk riba sebagai dosa besar dan melarang operasi bunga. Tetapi, sekali lagi, teori dan praktik sering kali sangat berbeda. Vasishtha, seorang pembuat hukum Hindu, melarang kasta Brahmana dan Ksatria meminjamkan dengan bunga. Mungkin dia berpikir bahwa orang-orang suci dan prajurit harus memiliki moral yang lebih tinggi. Tapi, jika Anda adalah seorang pedagang atau petani? Silakan, ambil bunga setinggi mungkin.

Riba dalam Agama Yahudi: Larangan yang Selektif
Berikutnya, kita punya agama Yahudi. Agama ini melarang praktik pengambilan bunga, setidaknya dalam teori. Pelarangan ini terdapat dalam Perjanjian Lama dan undang-undang Talmud. Kata Ibrani untuk bunga, 'neshekh,' berarti "menggigit." Betapa tepatnya! Bunga memang menggigit, terutama bagi mereka yang harus membayarnya.

Kitab Exodus (Keluaran) 22:25 melarang pemberian pinjaman dengan bunga kepada orang miskin. Sementara Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23:19-20 memperluas larangan ini untuk mencakup semua peminjaman uang kepada sesama Yahudi. Namun, memperbolehkan peminjaman dengan bunga kepada orang asing. Ini adalah bentuk larangan yang sangat selektif, bukan? Mengambil keuntungan dari sesama Yahudi itu salah, tetapi dari orang asing? Silakan saja.

Agama Kristen: Cinta Kasih dan Kartu Kredit
Dan terakhir, mari kita lihat agama Kristen. Ajaran Kristen awal sangat keras terhadap riba. Para uskup dan teolog sering mengecam praktik ini sebagai dosa besar. Namun, dalam kenyataannya, seiring berjalannya waktu, banyak pemimpin gereja yang menutup mata terhadap praktik ini, terutama ketika mereka sendiri bisa mendapatkan keuntungan darinya.

Kitab Perjanjian Lama melarang riba, tetapi dalam praktiknya, banyak orang Kristen yang menemukan cara untuk mengabaikan larangan ini. Dalam dunia modern, gereja-gereja besar sering kali terlibat dalam kegiatan finansial yang tidak jauh berbeda dari praktik riba. Kartu kredit berbunga tinggi, pinjaman dana, dan berbagai produk keuangan lainnya sering kali dipasarkan kepada jemaat dengan sedikit atau tanpa peringatan tentang bahaya utang.

Riba, Agama, dan Ketamakan Manusia
Jadi, apa yang kita pelajari dari pandangan berbagai agama tentang riba? Ternyata, meskipun ada banyak larangan dan kutukan terhadap praktik ini, riba tetap saja ada dan berkembang. Mengapa? Karena ketamakan manusia tidak mengenal batas. Meskipun agama-agama besar di dunia mengajarkan tentang pentingnya moralitas dan etika, praktik-praktik yang mengeksploitasi orang miskin tetap saja ada.

Riba, dengan segala manifestasinya, adalah bukti nyata bahwa meskipun kita berbicara tentang cinta kasih, keadilan, dan kebenaran, pada akhirnya, banyak dari kita lebih memilih uang di atas segalanya. Jadi, apakah kita benar-benar belajar dari ajaran agama kita? Atau apakah kita hanya menggunakan agama sebagai tameng untuk menyembunyikan ketamakan kita? Jawabannya, sayangnya, terlihat cukup jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun