Mohon tunggu...
SSID by Himasiltan IPB
SSID by Himasiltan IPB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Akun ini dikelola oleh divisi Scientific and Strategic Issue Development dalam naungan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan (Himasiltan) IPB periode 2023/2024

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lingkaran Setan Industri Kehutanan (Part #3: Kehutanan, Anugerah atau Kutukan: Realitas Industri Kehutanan Indonesia))

13 Desember 2024   01:06 Diperbarui: 13 Desember 2024   01:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembar-demi lembar kutipan dan narasi dilontarkan pada tulisan. Nasib baik diperjuangkan namun apakah akan menimbulkan permasalahan. Industri kehutanan adalah wajah dari keseimbangan yang rentan. Antara kebutuhan ekonomi, tuntutan sosial, dan kelestarian lingkungan, sering kali muncul ketimpangan. Sejak awal peradaban, manusia telah menggantungkan kehidupan pada hutan—dari bahan pangan hingga sumber energi, dari pembangunan hingga inovasi. Namun, alih-alih menjadi pilar keberlanjutan, industri kehutanan kerap terjebak dalam lingkaran setan. Namun, ini bukan hanya tentang masa kini. Peran masa lalu membayangi, dari eksploitasi berlebihan hingga kerusakan permanen yang masih menyisakan luka. Di sisi lain, masa depan menuntut perbaikan yang konkret—tanggung jawab besar yang membebani langkah ke depan. Semua ini berputar, berulang, tanpa solusi yang berkesinambungan. Berikut rangkuman ultimat, sebagai sajian penutup untuk kesadaran, pengembangan, dan kemajuan, terkait lingkaran setan industri kehutanan. Apakah kutukan dalam industri kehutanan itu ada? aset yang melimpah yang seharusnya memberikan manfaat besar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika pun iya, rakyat yang mana yang dimakmurkan?. Berikut merupakan ulasan terakhir realita kehutanan yang berlingkar setan tak berujung seperti kutukan yang sangat tidak diharapkan. 

PDB RENDAH

Kontribusi kehutanan terhadap PDB Nasional sangat rendah, hanya sebesar 0,6%. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) nominal sektor kehutanan pada 2017-2021 bahkan kurang dari 1% atau Rp112 triliun pada 2021, naik dari tahun sebelumnya Rp108,6 triliun, tetapi turun secara persentase. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan yang sangat kecil ini menjadi pertanda ada yang salah dalam pengelolaan hutan Indonesia. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), luas hutan Indonesia 125,2 juta hektare, sedangkan pemerintah menargetkan akan mencapai 120 juta hektare pada 2020. Luas hutan Indonesia ini belum dialihfungsikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pada masa Orde Baru, pendapatan negara dari sektor kehutanan mencapai US$ 16 miliar, hanya kalah dari minyak dan gas. Menteri Keuangan memperkirakan dominasi PNBP dari sektor kayu masih sangat tinggi, namun PNBP kehutanan sangat kecil karena minimnya pengawasan, penegakan hukum, dan banyaknya aset yang menganggur. Masalah lainnya: jika kita hanya mengandalkan kayu, nilai hutan memang kecil. Hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai yang kecil ini selalu menjadi alasan untuk mengubah hutan menjadi perkebunan, perumahan, atau lahan pertanian. Padahal, di dalam ekosistem hutan terdapat simpanan karbon, terdapat air, terdapat jasa lingkungan yang tak ternilai. 

Untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan, diperlukan beberapa metode: Pertama , optimalisasi kawasan hutan produksi. Luas kawasan hutan produksi 68,8 juta hektare dengan luas kelola 18,75 hektare oleh 257 perusahaan, hutan tanaman industri 11,19 juta hektare oleh 292 perusahaan, dan upaya restorasi 0,62 juta hektare. Hutan produksi yang menganggur seluas 34,62 juta hektare tersebut dicadangkan untuk Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) seluas 10,04 juta hektare, Pencabutan Izin Pengelolaan Hutan Primer (PIPPIB) seluas 9,88 juta hektare, KPH dengan perencanaan jangka panjang seluas 7,69 juta hektare, Perhutanan Sosial seluas 3,55 juta hektare, dan Hak Pengusahaan Hutan seluas 3,46 juta hektare.

Kedua, minimnya pengawasan. Jumlah polisi hutan (polhut) di seluruh Indonesia bagian tengah dan daerah sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan yang mencapai 120 juta hektare. Idealnya, setiap polisi hutan mengawasi 500-1.000 hektare sehingga dibutuhkan 125.000 polisi hutan.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Dalam kasus perampasan hutan, pemerintah kerap kalah di pengadilan. Luas kawasan hutan yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit kini mencapai 3,1 juta hektare, yang penanganannya masih belum jelas

Keempat, struktur PNBP sektor kehutanan sudah ketinggalan zaman karena ketentuan mengenai penyediaan sumber daya hutan (PSDH) menggunakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/2017. Begitu pula dengan tarif dana reboisasi yang perlu ditinjau kembali.

Kelima, penerapan pajak karbon. Pajak karbon sektor kehutanan perlu segera dipercepat karena sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi karbon terbesar, yakni 48,5% dari emisi nasional pada tahun 2010.

Selain pendapatan negara, pajak karbon dapat menjadi instrumen untuk menanggulangi krisis iklim. Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat di dunia dapat menjadi ladang baru bagi para pelaku bisnis di sektor kehutanan.

MASA LALU

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun