Para pembaca buku tentang  sejarah pergerakan Indonesia, tentu sering menemui peristiwa gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan seperti gerakan DI/TII, PKI, serta Permesta. Pada kesempatan kali ini saya mendapatkan tugas menuliskan sedikit sejarah pergerakan di tahun 1950-an yang terjadi gejolak politik dan militer di Tana Toraja. Pada masa reformasi dan otonomi daerah. Dari tulisan Diks Pasande yang berjudul Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja.
Siapa yang tidak kenal Tana Toraja ?Â
Tana Toraja dengan keindahan alam dan kaya akan budayanya ini merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah yang panjang di SulawesI Selatan. Sejarah mencatat bahwa di Sulawesi Selatan pernah mengalami masa kejayaan beriringan dengan perkembangan daerah ini sebagai produsen kopi utama abad ke-19 sebelum kedatangan kolonial Belanda.
Jauh sebeum kedatangan Belanda Tana Toraja merupakan daerah yang berdiri sebuah kerajaan. Kerajaan Sidenreng merupakan kerajaan yang berada di Sulawesi dan berbatasan dengan Tana Toraja. Kerajaan ini memonopoli perdagangan dan berupaya menguasai Duri ( wilayah toraja bagian selatan). Semakin dekat hubungan kerajaan dan Duri disebabkan oleh terjalinya perkawinan antar suku.
Pada awal abad ke-20 kedatangan Belanda di Tana Toraja, serta bersamaan dengan itu masuk pula Injil yang dibawa oleh Indische Protestanshe Kerk yang kemudian dikenal sebagai Greja Protestan Indonesia. Setelah  itu, 1901 berdiri sebuah lembaga penginjilan bernama Gereformeerde Zendingsbond (GZB) oleh pemerintah Hindia Belanda mendapat wilayah kerja di lingkungan orang Toraja di Sulawesi.
Tana Toraja setelah Kemerdekaan 1945
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945, tak berjalan mulus begitu saja terkhusus di Tana Toraja. Tentara Belanda kembali datang ke Tana Toraja pada Oktober 1945. Lalu berusaha menjadikan Tana Toraja menjadi daerah otonom yang terpisah dari Luwu. Sehingga setahun setelah kedatangan Belanda Tana Toraja telah memiliki badan pememrintahan sendiri yang namanya Tongkonan Ada dan berkedudukan di Makale.
Respon pemerintah Indonesia setelah terjadinya peristiwa tersebut ialah membentuk komite nasional. Awal tahun 1950-an para aktivis politik dan kaum nasionalis yang pro-Republik atas anjuran Gubernur Sulawesi W.B Lapian segera membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan memilih seorang kepala daerah. Akibat dari pembentukan Dewan Pemerintahan sendiri, serta tidak efektif lagi kekuatan politik di Tana Toraja. Diangkatnya C. Rongke menjadi kepala daerah Tana Toraja tidak terlepas dari campur tangan Andi Sose.
Siapa sosok Andi Sose Sebenarnya ?Â
Andi Sose dilahirkan di desa Sossok, Anggerja-Duri (sekarang masuk wilayah Kabupaten Enrekang) pada tanggal 15 Maret 1930 sebagai putra dari pasangan suami istri bangsawan Bugis Andi Liu dan Andi Sabbe. Ayah Andi Sose pada masa pemerintahan Belanda adalah anggota Zelfbestuur di Malua. Masa kecil Andi Sose dilalui di Sossok, tempat dia bersekolah di sekolah dasar (volkschool).
Pada usia sembilan tahun, Andi Sose keluar dari schakelschool dengan alasan pecahnya perang dunia II dan kedatangan tentara Jepang. Setelah itu, Andi Sose pindah ke Makasar dan melanjutkan pendidikanya di sekolah Jepang yaitu Tokubetsu Chuu-gakko dan kemudian di SMP Nasional Makasar. Saat di Makasar ia bergabung dengan kelaskaran Harimau Indonesia sebagai wadah perjuangan. Ia juga membentuk laskar Harimau Indonesia di Tana Toraja.