Lalu apa hubungannya semua ini dengan logika? Hubungan semua itu terdapat pada ide-idenya. Ide tersebut berupa pernyataan sederhana, lalu diserap dan menjadi sebuah dasar kepribadiannya.
Mari kita kembali kepada logika, untuk berlogika mesti dibutuhkan kumpulan pernyataan-pernyataan yang dihubungkan antara pernyataan lainnya. Sehingga dapat mencapai hasil berupa nilai.
Dan untuk menghubungkan logika kepada perasaan, kita perlu ide-ide tentang kepribadian.
Bagaimana menerjemahkan sebuah perasaan kepada logika?
Bisa dikatakan mustahil kita dapat mencari ide-ide landasan kepribadian, akibat terlalu banyaknya faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian dan juga tidak seluruhnya akan ditelan secara mentah-mentah untuk dijadikan sebuah kepribadian.
Oleh karena itu, kita ambil saja daun dari pohon kepribadian yaitu prefensi. Prefensi tersebut bisa kita rubah ke dalam bentuk pernyataan dan baru bisa dimasukkan ke dalam bentuk logika.
Apabila segampang itu untuk menerjemahkan sebuah perasaan ke dalam logika, mengapa banyak sekali orang yang gagal menerjemahkan atau mau mencobanya?
Masalah paling utama disini yaitu terlalu banyaknya pernyataan yang terdapat pada kepribadian individu dan tidak semua itu dapat saling menambahkan, sebab ada pernyataan yang bertentangan.
Selain dari itu, ada tingkat suatu prioritas pada pernyataan individu dan hal tersebut sangat bergantung kepada individunya sendiri. Dan masih banyak orang yang tidak menyadari tingkat prioritas ini.
Sebagai contohnya, ialah apabila membandingkan yang lebih utama perintah orang tua dan perintah pasangan, ada orang yang lebih mengutamakan perintah orangtuanya dan ada juga yang lebih mementingkan perintah pasangannya.
Karena faktor di atas, tidak ada cara lain untuk menerjemahkan perasaan secara general teruntuk dibagian yang kiranya tidak terlalu penting  seperti perlakuan terhadap orang tak dikenal dan hal kecil lainnya.