Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyabung Nyawa di Pagi Buta

19 Desember 2016   14:00 Diperbarui: 20 Desember 2016   09:08 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Menemani istri belanja ke Pasar sudah lama juga tidak dilakukan. Biasanya istri belanja keperluan di warung di dekat rumah untuk sekadar membeli sayuran dan kebutuhah lainnya. Dan selama ini bila ke pasar pagi pun biasanya istri cukup minta diantar ke pinggir pasar terus ditinggal dan kemudian dijemput lagi.

Pengalaman mengantar istri belanja ke pasar pagi (ada juga yang menyebutnya dengan pasar Inpres, pasar tumpah, dll) Prabumulih pagi kemarin cukup tidak sengaja juga terjadi. Kami yang biasanya hampir tidak pernah di Prabumulih setiap hari minggu sengaja menyempatkan diri untuk belanja keperluan rumah tangga.

Pasar Pagi Prabumulih yang sangat terkenal di Sumatera Selatan ini merupakan urat nadi masyarakat untuk bertransaksi dalam hal jual beli terutama kebutuhan pokok. Pasar yang memenuhi kebutuhan tidak hanya warga Prabumulih tetapi juga dari daerah seberang (Kabupaten tetangga) seperti dari Muara Enim, PALI dan Ogan Ilir mulai dibuka jauh menjelang subuh atau sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.

Hampur seluruh kebutuhan masyarakat ada di sini dan biasanya dijual dalam partai besar untuk kebutuhan rumah makan, isi warung untuk dijual kembali, dan kebutuhan ibu-ibu untuk stocking sayuran dan buah-buahn serta kebutuhan rumah tangga lainnya. Dan kelebihannya adalah barang-barang itu pun dijual dengan sangat murah dan berada dipinggiran jalan Sudirman.

inpres-1-58578421e422bded2b4422e4.jpg
inpres-1-58578421e422bded2b4422e4.jpg
Nampak dari kejauhan laju kendaraan sedikit tertahan dan untaian panjang kendaraan dipagi buta itu (sekitar pukul 05.00 WIB) mengular sampai ke pertigaan BRI. Bunyi klakson bersahutan mengiringi kemacetan di pagi itu. Namun masyarakat (pembeli-penjual) sudah terbiasa dan maklum dengan kondisi itu,  (kurang tahu juga dengan pengendara yang lalu lalang...?).

inpres-5-5857852c547b61ab1265c9e2.jpg
inpres-5-5857852c547b61ab1265c9e2.jpg
Bunyi klakson yang memekakkan telinga dan bersahutan itu sepertinya menambah “keasyikan” tersendiri bahwa ada kehidupan yang menggeliat. Bahwa pasar yang sebelumnya sempat sepi itu kembali menggeliat memakan bahu jalan karena mengikuti harga karet yang mulai bersahabat dengan petani dan pasar.

Sebegitu tergantungnya kehidupan Pasar Prabumulih dengan produk karet alam yang dihasilkan. Maka bila harga karet alam murah, hampir bisa dipastikan kehidupan Pasar Pagi (Pasar Inpres) Prabumulih juga sepi dan menepi,  dan tentu sebaliknya bila harga karet naik maka, Pasar-pasar Prabumulih ini juga akan ramai seperti pagi ini.

Ada rasa bangga juga melihat mereka berteriak dan tidak lama jualannya langsung habis diborong oleh pembeli....

Dari kejauhan tempat kami parkir sayup-sayup terdengar bunyi suara yang menggunakan wireless speaker dengan berujar “Bapak/ibu, mohon maaf agar dapat mundur ke belakang dan merapikan dagangannya. Jangan menggunakan badan jalan karena mengganggu lalu lintas. Bapak/ibu melanggar Perda dan bisa kena kurungan, ayo bersihkan dan rapikan”. Ternyata ada pasukan Pol PP sedang berusaha menertibkan para pedagang Pasar Inpres Prabumulih yang langsung dipimpin oleh Kasat Pol PP Prabumulih (Bpk. Ibrahim Cik Ading).

Ujaran lisan itu sepertinya cukup ampuh untuk menertibkan para pedagang. Dengan bergegas mereka mengemasi barang dagangannya dan mundur menyempit di bawah badan jalan. Motor-motor yang Parkir memakan badan jalan pun langsung rapi menghilang (menjauh) dari tempat itu dan laju kendaraan kembali bisa terurai.

inpres-2-58578452d49373a811fd9074.jpg
inpres-2-58578452d49373a811fd9074.jpg
inpres-3-58578472937e61801c4e1b7a.jpg
inpres-3-58578472937e61801c4e1b7a.jpg
cabe,..cabe..cabe.” teriak seorang pemuda dari sudut Mesjid An Nuqobah sambil menarik alas daganganya ke belakang menjauhi pasukan Pol PP dan sambil terus menawarkan dagangannya ke pembeli. Pemuda yang bernama Supri yang memiliki satu orang istri dan satu orang anak yang masih balita dan tinggal di belakang pasar Inpres itu sudah berjualan cabe  kurang lebih selama lima tahun di depan  Mesjid An Nuqobah dijalanan Jenderal Sudirman.

inpres-4-5857848e45afbd523890f1b6.jpg
inpres-4-5857848e45afbd523890f1b6.jpg
Pemuda yang sehari-hari hanya berjualan cabe untuk menghidupi keluarganya itu berujar sepertinya tidak pernah ada Pol PP kalau hari libur atau minggu. Ketika ditanyakan apakah dia tahu kalau berjualan di badan jalan itu salah (tidak boleh), ternyata dia menjawab : “tahu dan tidak boleh...”.

“Tapi mau bagaimana lagi mas, Cuma jualan cabe yang bisa saya lakukan dan juga cuman tempat ini yang tersedia (sambil menunjuk jalanan Jend.Sudirman)..” Ujar Supri.

Ketika ditanya apakah Dia mendukung “Prabumulih Kota ADIPURA...?”, Dia juga menjawab sangat mendukung. Terus apa masalahnya..? ternyata Cuma satu yaitu “Tempat dan Akses untuk Berjualan”.

Tidak tersirat juga dihati Mas Supri untuk melanggar aturan. Dia hanya mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarganya yang ternyata untung yang didapat dari jualan cabe juga tidak seberapa namun Dia tetap mampu bertahan.

Lalu lalang mobil-mobil besar dengan bunyi klakson bersahutan disertai dengan hilir  mudiknya grobak sayuran dan aneka jenis barang lainnya persis seperti dijalanan Kota Mumbai India tidak menyiutkan nyali pemuda tersebut. Pasukan Pol PP bergerak meninggalkan tempat itu, dan dia pun kembali menggelar dagangannya dengan santai dan ramah sambil melayani pembeli.

Sekilas wajah itu terlihat cemas, namun energi dan kegetiran hidup yang sudah dilalui mengalahkan badai takut menguji nyali demi segurat cita kehidupan yang lebih baik.

Sudah sangat perlu dicarikan solusi yang jitu agar mereka para pedagang dapat berjualan dengan aman dan damai dengan tidak melupakan bahwa Prabumulih harus tetap indah, tertib dan humanis. Dan para pedagang tidak lagi dikeluhkan sebagai penyebab kemacetan dan pengganggu jalanan Sudirman.

Mereka cuma berharap tempat yang layak dengan kemudahan akses pembeli dan penjual yang juga mudah dan tidak sulit. Potensi sudah mereka (pedagang-pembeli) ciptakan dan mereka hidupkan, tinggal mengatur dan menyediakan tempat saja. Sesuatu yang sepertinya mudah namun sulit direalisasikan. Butuh sinergi dari para pelaku kepentingan. Butuh juga kajian dan edukasi yang mendalam agar tetap tercipta suasana yang baik dan kondusif serta saling pengertian dan menguntungkan.

Semoga bisa, jaya terus Prabumulih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun