Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyabung Nyawa di Pagi Buta

19 Desember 2016   14:00 Diperbarui: 20 Desember 2016   09:08 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

inpres-2-58578452d49373a811fd9074.jpg
inpres-2-58578452d49373a811fd9074.jpg
inpres-3-58578472937e61801c4e1b7a.jpg
inpres-3-58578472937e61801c4e1b7a.jpg
cabe,..cabe..cabe.” teriak seorang pemuda dari sudut Mesjid An Nuqobah sambil menarik alas daganganya ke belakang menjauhi pasukan Pol PP dan sambil terus menawarkan dagangannya ke pembeli. Pemuda yang bernama Supri yang memiliki satu orang istri dan satu orang anak yang masih balita dan tinggal di belakang pasar Inpres itu sudah berjualan cabe  kurang lebih selama lima tahun di depan  Mesjid An Nuqobah dijalanan Jenderal Sudirman.

inpres-4-5857848e45afbd523890f1b6.jpg
inpres-4-5857848e45afbd523890f1b6.jpg
Pemuda yang sehari-hari hanya berjualan cabe untuk menghidupi keluarganya itu berujar sepertinya tidak pernah ada Pol PP kalau hari libur atau minggu. Ketika ditanyakan apakah dia tahu kalau berjualan di badan jalan itu salah (tidak boleh), ternyata dia menjawab : “tahu dan tidak boleh...”.

“Tapi mau bagaimana lagi mas, Cuma jualan cabe yang bisa saya lakukan dan juga cuman tempat ini yang tersedia (sambil menunjuk jalanan Jend.Sudirman)..” Ujar Supri.

Ketika ditanya apakah Dia mendukung “Prabumulih Kota ADIPURA...?”, Dia juga menjawab sangat mendukung. Terus apa masalahnya..? ternyata Cuma satu yaitu “Tempat dan Akses untuk Berjualan”.

Tidak tersirat juga dihati Mas Supri untuk melanggar aturan. Dia hanya mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarganya yang ternyata untung yang didapat dari jualan cabe juga tidak seberapa namun Dia tetap mampu bertahan.

Lalu lalang mobil-mobil besar dengan bunyi klakson bersahutan disertai dengan hilir  mudiknya grobak sayuran dan aneka jenis barang lainnya persis seperti dijalanan Kota Mumbai India tidak menyiutkan nyali pemuda tersebut. Pasukan Pol PP bergerak meninggalkan tempat itu, dan dia pun kembali menggelar dagangannya dengan santai dan ramah sambil melayani pembeli.

Sekilas wajah itu terlihat cemas, namun energi dan kegetiran hidup yang sudah dilalui mengalahkan badai takut menguji nyali demi segurat cita kehidupan yang lebih baik.

Sudah sangat perlu dicarikan solusi yang jitu agar mereka para pedagang dapat berjualan dengan aman dan damai dengan tidak melupakan bahwa Prabumulih harus tetap indah, tertib dan humanis. Dan para pedagang tidak lagi dikeluhkan sebagai penyebab kemacetan dan pengganggu jalanan Sudirman.

Mereka cuma berharap tempat yang layak dengan kemudahan akses pembeli dan penjual yang juga mudah dan tidak sulit. Potensi sudah mereka (pedagang-pembeli) ciptakan dan mereka hidupkan, tinggal mengatur dan menyediakan tempat saja. Sesuatu yang sepertinya mudah namun sulit direalisasikan. Butuh sinergi dari para pelaku kepentingan. Butuh juga kajian dan edukasi yang mendalam agar tetap tercipta suasana yang baik dan kondusif serta saling pengertian dan menguntungkan.

Semoga bisa, jaya terus Prabumulih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun