“Badan saya lemas dok...” begitu keluhan seorang pasien disalah satu poliklinik rumah sakit milik pemerintah. Sang Dokter yang berkacamata hitam, berjas putih dan mengalungkkan stetoskop di pundaknya itu kemudian dengan santai dan penuh kesabaran memeriksa secara perlahan si ibu yang terlihat kusut itu.
Masker yang tadinya tergantung dileher sang dokter, pelan-pelan naik keatas dan menutupi sebagian wajahnya sampai kehidung setelah sang dokter akan memeriksa bagian belakang pasien yang sepertinya dilihat dari penampilan dan bau yang tercium nampaknya pasien tersebut belum mandi hampir tiga hari lamanya.
Bau yang kurang sedap itu tidak menyurutkan langkah sang dokter untuk tetap memeriksa secara detail dan teliti. Tanpa banyak bicara dokter itu mengambil penanya dan menulis diselembar kertas yang telah disiapkan dan menyerahkannya ke sang ibu sambil kemudian menyuruhnya keluar.
“Terima kasih, dok ” sahut sang ibu tersebut tanpa banyak bicara.
Sang dokter hanya menoleh dan melanjutkan pekerjaan rutinnya kembali untuk pasien yang lainnya dan seterusnya.
****
Sekilas tidak ada yang salah dengan peristiwa diatas. Dokter menjalankan kewajibannya dalam melayani pasien, dan si pasien juga mengucapkan terima kasih kepada sang dokter atas pelayanan yang diberikan.
Begitulah yang selama ini nampak didalam hubungan dokter-pasien yang dimasa lalu sangat berorientasi pada sang dokter (doctor centered). Pasien disuruh menerima apa saja maunya dokter tanpa ada kesempatan untuk lebih mendalam mengetahui tentang kondisi dan sakit yang dideritanya yang sebenar-sebenarnya dan sedetail-detailnya.
Pasien sepertinya tidak memiliki kemampuan memilih untuk membuat perencanaan pengobatan dan terapi yang dibutuhkan selanjutnya, dan sepertinya pasien hanya dihadapkan pada satu pilihan saja terkait dengan hak-hak pasien lainnya yaitu “mematuhi perintah dokter”.
Dokter selama ini hampir selalu diilustrasikan sebagai malaikat yang tidak tidak pernah salah, anti kritik dan seterusnya, dan seterusnya.
Fenomena itu sepertinya tidak juga tergerus sampai dengan sekarang disaat zaman sudah mengalami perubahan walaupun disana-sini sudah mengalami perubahan. Dibangku lkuliah pun sudah mulai diajarkan bahwa fokus pelayanan sekarang adalah “patient oriented”.
Pelayanan yang berorientasi kepada pasien, klien, konsumen atau pelanggan sudah sejak lama digaungkan oleh seluruh instrumen pelayanan publik termasuk oleh profesi kedokteran. Budaya ewuh pakewuh pasien terhadap pelayanan kesehatan terkhusus pelayanan kedokteran harus dikikis oleh si dokter itu sendiri untuk dapat menjadikan pasien bukan sebagai inferioritas pelayanan kedokteran secara tunggal dan jamak dalam pelayanan kesehatan.
Karean itu penting sekali diketahui dan disosialisasikan kepada masyarakat (konsumen) tentang hak-hak apa saja yang melekat dengan mereka dalam jaminan mereka sebagai warga negara yang wajib dilindungi dan mendapatkan pelayanan kesehatan (kedoketeran) yang standar dan profesional.
Mengacu kepada Undang-Undang nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, berikut ini ada 18 hak pasien yang dilindungi undang-undang. Pasal 32 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak, yaitu terlampir di sini.
Nah, dengan tidak mengesampingkan kewajiban pasien yang juga melekat dengan dirinya, namun sudah waktunya masyarakat cerdas memilih rumah sakit dan dokter yang diinginkan dalam pengobatan dan terapi yang dijalaninya.
Semoga bermnafaat... selamat berulang tahun para dokter.