By.Fikri Jamil Lubay
Belum kelar kasus AA Gatot Brajamusti yang mengakibatkan banyak tokoh-tokoh penting dan populer menjadi terkait dengan kemasan guru spiritual, publik kembali terhenyak dan disuguhkan dengan pristiwa lain yang lebih besar dan bahkan sangat heboh.
Polisi pun harus mengerahkan “seribuan pasukan”- nya untuk mengepung, menangkap dan mengamankan seorang tokoh padepokan yang bernama Kanjeng Dimas Taat Pribadi yang berlokasi di Probolinggo Jawa Timur (viva.co.id, 27 September 2016).
Peristiwa ini sangat memilukan karena diduga kuat Kanjeng Dimas Taat Pribadi telah menghabisi dua orang “santri”-nya sendiri yang berfungsi sebagai saksi kunci atas semua kejadian dan kegiatan yang dilakukannya. Kanjeng Dimas Taat Pribadi sepertinya cukup takut akan ketahuan belangnya oleh masyarakat luas karena Beliau juga telah dinobatkan sebagai “guru spritual” oleh para santri yang begitu mempercayai ajaran dan keberadaannya serta “karomahnya”.
Kasus ini juga semakin pelik dan membuat miris karena banyak sekali melibatkan tokoh-tokoh yang juga jauh lebih penting dari sekedar tokoh populer dari kasus AA Gatot. Tokoh ICMI sekaliber Marwah Daud Ibrahim yang mengenyam pendidikan di Amerika dan sangat diidolakan oleh banyak kaum hawa yang terjun ke politik juga terkena kelatahan manipulasi “guru spiritual” yang sesungguhnya dengan akal sehat tentu sudah patut diduga aneh, sesat dan seterusnya.
Menggandakan uang, dari dulu masyarakat Indonesia sudah pada menyerahkan dan mempercayakan “tugas besar” itu kepada para “Tuyul” yang berkepala botak dan lucu saja yang dianggap bisa melakukannya. Nah Kanjeng Dimas kan bukan Tuyul...kok bisa mengambil alih dan bisa dipercaya...? anehkan...?
Modus penipuan di zaman modern ini ternyata tidak hanya melibatkan manipulasi menggunakan telepon genggam, kartu kredit, ATM dan surat-surat elektronik lainnya. Ternyata masyarakat Indonesia ini belum bergeser mindset-nya dan masih bisa ditipu dengan hal-hal yang berbau tradisionil bahkan boleh dikatakan “klenik” yang sesungguhnya sudah sangat berbau syirik.
Kejadian yang dilakukan oleh AA Gatot sekaligus juga oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi walaupun mungkin terlalu dini juga untuk menghakimi mereka, namun ruang, tempat, dan waktu serta kronologis kejadiannya sungguh sangat sulit untuk ditampik dan bisa lari dari fakta-fakta yang telah tersaji dan banyak berkembang serta diserap oleh masyarakat awam di Indonesia saat ini.
Terus pertanyaan krusialnya adalah “Kemana larinya akal sehat itu...?”
Akal sehat sebagai pembeda manusia dari makhluk lainnya saat ini sepertinya justru menjadi bumerang. Akal sehat sepertinya sudah tidak mampu lagi menjadi pengendali dan penterjemah yang positif ketika nafsu menjadi tameng untuk mengendalikan dan memenuhi kebutuhan dan keinganan menguasai kehidupan duniawi.
Kehidupan dunia benar-benar untuk banyak orang begitu mabuk dan memabukkan. Jalan pintas untuk cepat kaya diringi nafsu serakah (rakus) untuk berkuasa menyebabkan manusia seringkali menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Manusia seringkali menjadikan nafsu sebagai panglima dari segalanya. Hal ini tentu saja berakibat pada pengkambing hitaman nafsu yang begitu manipulatif oleh manusia itu sendiri untuk menjadikan mereka lebih iblis dari iblis itu sendiri.
Pada hal tidak ada yang salah dengan penciptaan Tuhan atas nafsu. Sesungguhnya dengan nafsu lah kita bersemangat untuk meraih mimpi-mimpi yang positif yang telah dibangun dari awal manusia mengenal pengetahuan.
Nafsu sesungguhnya bisa menjadi pengendali positif akan sebuah perjuangan yang berbatas tegas dengan kemampuan untuk lebih memenuhi sekedar “kebutuhan” atau “keinginan”. Nafsu juga lah yang sering menjadi perdebatan dalam kehangatan hidup berkeluarga, bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Nafsu yang positif itu sekaligus sangat bisa menjadi energi positif dalam memenuhi kebutuhan yang positif pula. Namun dilain waktu dan kesempatan seperti uraian diatas, manusia menjadikan nafsu sebagai panglima yang menyebabkan manusia sering gelap mata, lupa diri dan keluarga dan bahkan terkadang bisa melupakan kita sebagai manusia sebagai makhluk terhadap Sang Penciptanya.
Manusia sering mengesampingkan akal sehat yang secara sengaja atau pun tidak dapat menggelapkan suasana hati yang mulia. Manusia kehilangan kesantunannya. Manusia lupa bahwa ada Sang Pencipta.
Agama telah mengajarkan kepada ummatnya bahwa untuk memeluk sebuah keyakinan harus lah berdasarkan dan berlandaskan kepada sebuah kata bernama “logika”. Pertanyaannya adalah logika yang mana...? ternyata, logika itu adalah logika manusia yang mengikuti logika Tuhan-Nya sebagai Sang Pencipta.
Jangan di bolak balik...!!! Yaitu, jangan hanya mengandalkan logika manusia saja dan memaksa Tuhan untuk mengikuti logika kita sebagai manusia (makhluk). Kalau dilakukan maka kacau balau lah semuanya. Tidak jelas lagi yang mana hamba dan mana Sang Pencipta.
Sebagai ummat manusia (‘abdi) tidak perlu susah dan frustasi, sesungguhnya tuntunannya sudah lengkap, final, jelas dan mengikat yaitu kembali saja ke kitab-Nya serta Sunnnah Rosul-Nya untuk menemukan jalan terang dari akal sehat yang telah gelap dan luntur itu. Amiin YRA.
Wassalam,
Fikri Jamil Lubay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H