Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Berfoya-foya untuk..

23 September 2016   10:08 Diperbarui: 23 September 2016   10:21 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah.. dengan demikian tidak lah salah bila saya mencoba sebisa mungkin meminjam istilah itu untuk mencoba membaliknya menjadi kata yang positif karena ada kesempatan ‘dsb’ dalam definisi berfoya-foya itu, semisal :

  • Berfoya-foya untuk bersodakoh.;
  • Berfoya-foya untuk berzakat;
  • Berfoya-foya untuk berbagi uang dengan yang membutuhkan;
  • Berfoya-foya untuk menonton tausiyah ustad/ustadzah...;
  • Berfoya-foya untuk membeli fizza dan membagikannya dengan anak-anak yang kurang mampu dan hidup dipinggiran.

Dan, sepertinya tidak lah juga salah kalau kata berfoya-foya tersebut digunakan untuk mengajak seperti dalam kalimat ini :

  • Mari berfoya-foya untuk berzikir;
  • Mari berfoya-foya untuk sholat;
  • Mari berfoya-foya untuk bersholawat;
  • mari berfoya-foya untuk melakukan kebaikan;
  • Dst.

Kekayaan dan Khazanah Kosa Kata Bahasa Indonesia 

Melihat arti yang sebenarnya yang telah ada (denotatif) dan arti sampingan (konotatif) menjadikan kata-kata dalam bahasa Indonesia enak untuk diolah dan sekaligus membingungkan ahli bahasa terutama ahli hukum.

Hal ini sering kali terjadi dengan niatan si pengguna kosa kata. Dan juga kekuasaan telinga si pendengar. Kata yang secara denotatif tidak lah baik bahkan sangat negatif,  bisa jadi akan sangat terdengar dan terasa postif akibat pemakaian yang tepat secara konotatif. Dan sekaligus sebaliknya.

Kesepakatan akan sebuah penggunaan kosa kata yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia seringkali menjadi penyebab kesalah pahaman. Distorsi terhadap suku kata dalam Bahasa Indonesia seringkali juga menyebabkan prahara.

Mencoba memahami makna baik denotatif maupun konotatif tentu menjadi lebih bijak dengan banyak mendengar, menyimak dengan baik dan menelaah lebih mendalam agar distorsi kosa kata dalam bahasa Indonesia itu tidak terkesan menghakimi dan menimbulkan rasa yang wajar.

Bahasa indonesia menjadi lebih berkhazanah ketika dikasih tanda kutip (“...”). misal : karena dia suka bekerja dan kerjanya mendapatkan hasil yang baik maka Dia akan diberi gelar orang yang “gila” kerja. Yang bersangkutan dengan senang hati memahaminya sebagai sebuah pujian dan tidak tersinggung dibuatnya.

Atau, juga bisa “Anda sudah “gila”...? “ (sambil seorang rekan menunjukkan mimik yang serius) tapi tetap saja kita tidak marah. Bisa juga juga begini...”anda memang sudah “gila”,  sambil rekan kita mengulurkan tangan dan memberikan ucapan selamat karena keberhasilan kita mengerjakan sesuatu.

Coba anda dibilang begini...”Anda sedang stress...!” (Apa yang anda rasakan...?)... marah, naik pitam. Padahal “stress” lebih rendah kadarnya dari gila lho...tapi rasanya itu...”sesuatu banget”.

Ternyata dalam suatu utak atik makna terhadap kosa kata dalam bahasa indonesia itu begitu bisa memperkaya diri dan khazanahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun