Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

No Perfect Crime

9 Agustus 2016   10:36 Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:42 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


By. Fikri Jamil Lubay

Iya, tidak ada kejahatan yang sempurna atau No Perfect Crime. Itu lah sepenggal kalimat yang tertanam ketika seseorang sangat ingin bekerja dan berlatih menjadi seorang auditor atau analis apalagi sebagai “pemeriksa”. Pepatah lain yang sangat sering dan sudah pasti tidak sumir adalah “sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga” atau “sepandai-pandai menyimpan bangkai, akan tercium juga baunya”.

“Tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak”. Dan sebetulnya emas pun sulit sekali mencari yang berkadar pas 24 karat. Atau angka manakah yang bersifat absolut 100% terhadap suatu benda. Dan si kembar satu telur pun sudah pasti mempunyai suatu ciri khas yang sepertinya sama pada hal sungguh berbeda sekali.

Kasus meninggalnya Mirna yang menghantarkan seorang Jessica Kumala Wongso ke persidangan adalah sebuah bukti yang sangat memungkinkan bahwa tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak.

Disanalah pentingnya ilmu pengetahuan forensik dan keilmuan forensik yang saat ini telah berkembang dengan pesat. Namun perlu ditegaskan bahwa yang saya bicarakan ini bukan hanya forensik sebagai ilmu kedokteran yang telah lebih dulu dikenal, akan tetapi forensik sebagai kesatuan ilmu secara keseluruhan.

Wikipedia.org menyebutkan bahwa Forensik (berasal dari bahasa Latin forensis yang berarti "dari luar", dan serumpun dengan kata forum yang berarti "tempat umum") adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains.

Ilmu forensik ini sangat mungkin mengungkapkan secara sistematik apa yang terjadi dengan masa lalu termasuk kesaksian seorang Haris Azhar yang mencoba menabrak kultur hukum-hukum umum yang mengharuskan bukti yang hadir secara otentik.

Juga bukan rahasia lagi bahwa aparat memiliki kemampuan penguasaan teknologi (IT) melebihi para penjahat. Bukan kah sudah ada cabang keilmuan forensik teknologi yang mampu mengurai-cacingkan sebuah perangkat dari hardware sampai ke software-nya. Mengapa itu tidak digunakan ketika kesaksian seorang Haris Azhar menemui jalan buntu karena Freddy Budiman sudah mati. Apakah hanya juga butuh kesaksian seorang Freddy Budiman untuk menjadikan pernyataan seorang Haris Azhar menjadi terang benderang...?

Kalau itu alasannya, berarti kita sudah kalah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh manusia sendiri.., atau jangan-jangan kita tidak serius mengungkap Kesaksian seorang Haris Azhar menjadi terang benderang karena akan menimbulkan luka lebih dan “kegoncangan” yang tidak biasa yang berujung kepada instabilitas negeri.

Sesungguhnya kejujuran sangat dibutuhkan disini. Hak masyarakat adalah untuk memperoleh keyakinanan bahwa oknum aparat yang diserempet dan dituduhkan namun sepertinya tidak bisa diungkap oleh seorang Haris Azhar adalah orang-orang yang kapabel dibawah tingginya kepercayaan masyarakat terhadap ketiga institusi yang disebutkan oleh Ketua Kontras itu.

Adalah hak masyarakat juga untuk mengetahui lebih mendalam pernyataan seorang Ketua Kontras yang telah membangun ruang opini masyarakat yang kadung menuduh bahwa Haris Azhar selaku Ketua Kontras tidak bicara sembarangan.

Kebakaran jenggot atas nama baik institusi yang terganggu atas pernyataan seorang Haris Azhar sebetulnya tidak perlu menaifkan dugaan yang sudah sering terbukti melibatkan banyak oknum aparat selama ini terhadap narkoba. Dan narkoba itu oleh negara sendiri sudah dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa yang seharusnya juga diatasi dengan cara yang luar biasa pula termasuk harus melakukan strategi pendekatan yang luar biasa.

Apakah ada hipotesis linier yang menyatakan bahwa dengan lahirnya BNN maka pengguna, pemakai dan pengedar serta bandar narkoba menjadi turun...? ternyata jawabannya tidak sama sekali. Semakin hari pengguna, pemakai, pengedar dan bandar  narkoba semakin semakin membludak. Hari ini 5 juta rakyat Indonesia adalah pengguna narkoba.

Harusnya aparat negara ini fokus saja menangani pengguna narkoba dan pencegahan terhadapya serta menjadikan kesaksian seorang Haris Azhar sebagai entry point (port de entrë) untuk melihat lebih kedalam (introspeksi) dan tidak rejective apalagi reaktif dan terkesan emosional walaupun dianggap sudah mencoreng dan melukai muka aparat.

Johari Window sudah membagi kedalam empat kuadran serta sudah mengajarkan ke kita bahwa salah satu kuadran terkadang kita bisa melihat kelemahan orang lain dan orang lain itu tidak bisa melihat kelemahannya. Sebagaimana juga kata pepatah “kuman diseberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat”. Pepatah tersebut sebetulnya tidak hanya bermakna negatif namun juga bisa disikapi positif, untuk bahan introspeksi.

Filipina dengan presiden Rodrigo Duterte mungkin bisa menjadi rujukan dalam keseriusan menangani kejahatan narkoba. Sudah hampir 800 orang mati ditembak. Dan yang luar biasa adalah peryataan beliau sebagaimana dikutip dari jpnn.com (9 Agustus 2016), “Duterte sendiri mengaku kenal bahkan memiliki hubungan baik dengan beberapa nama yang masuk daftar hitam tersebut. Namun, dia tetap membacakannya di depan umum karena ingin menepati janjinya. Bertindak adil dalam melaksanakan perang terhadap narkoba”. Hasilnya...?, silahkan berselancar sendiri didunia maya.

Karena itu kehadiran ahli-ahli forensik seperti forensik accounting dan forensik IT  serta forensik-forensik lainnya akan sangat mungkin membantu mengungkap jejak Freddy Budiman yang telah dikemukakan secara sumir (samar) oleh seorang hamba bernama Haris Azhar dengan prinsip no perfect crime.

Selamat mencoba dan semoga bermanfaat...Wassalam.

prabumulih, 9 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun