Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar Bernegara Pada Golkar

18 Mei 2016   12:28 Diperbarui: 18 Mei 2016   12:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Golongan Karya yang lahir pada akhir  zaman orde lama (tahun 1964) yang bernama sekber golkar itu, kemudian di zaman orde baru menjadi kendaraan politik rezim soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Organisasi Golongan Karya ini telah menjadi fenomena sendiri karena “selalu” memenangkan pertarungan politik dizaman itu melawan Partai Persatuan Indonesia dan Partai Demokrasi Perjuangan.

Setelah pemerintahan Soeharto usai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.

Pembelajaran kebernegaraan seperti apa yang bisa dipetik dari Partai Golkar..?

Partai Golkar diduga akan hancur dan tenggelam oleh arus reformasi namun masih bisa selamat mengarungi samudera luas dengan bebatuan karang dan dinding terjal yang terkadang terdapat air terjun bebas yang selalu siap menghantam dan menjadi badai agar partai ini bisa “tenggelam” terutama diawal-awal lahirnya reformasi dan tumbangnya orde baru.

Tuntutan agar Golongan Karya yang menjelma menjadi Partai Golongan Karya agar dibumi hanguskan menjadi arus kuat dalam penegakan hukum dialam reformasi. Tokoh-tokoh Partai Golongan Karya saat itu yang dikomandani oleh Bung Akbar Tanjung, serta Presiden RI yang ditunjuk oleh Presiden Soeharto yaitu Presiden BJ. Habibie dan kader Golkar tangguh lainnya bahu-membahu dengan kompak menyelamatkan golongan karya sebagai sebuah partai hingga bisa seperti sekarang.

Bahkan Partai Golkar sempat menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah (wikipedia.com). Pada tahun 2004 itu terjadi ketidakpuasan masyarakat pemilih terhadap kinerja Megawati sebagai Presiden pengganti Gus Dur dan PDIP sebagai partai yang menaunginya.

Namun, Partai Golkar kembali terpuruk pada Pemilu tahun 2009 dan 20014.  Pada tahun 2009 suara Partai Golkar berada dibelakang suara Partai Demokrat dengan SBY sebagai simbolnya,  dan pada pemilu legislatif tahun 2014 yang lalu Partai Golkar berada di belakang PDI-P dengan Partai Golkar mendapat 91 kursi (16,3%) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2014, setelah mendapat sebanyak 18.432.312 (14,75%).

Pemilihan Presiden langsung tahun 2009 yang memenangkan Jokowi sebagai Presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Preseiden menyisakan duri dalam daging bernama Partai Golkar yang ditandai dengan carut marut dan centang perenangnya partai mapan seperti Partai Golongan Karya dibawah Aburizal Bakri (Ical).

Pilihan untuk menjadi oposan dengan mendukung Koalisi Merah Putih pada saat Pilpres dan berlanjut ke Parlemen memberikan pembelajaran pahit buat Partai Golkar. “Campur tangan” pemerintah yang menjadikan dualisme kepengurusan Partai Golkar Bali dan Ancol menjadikan energi Partai Golkar terkuras habis dan berimbas sampai ke DPD I dan DPD II.

Namun kemenangan kubu Bali atas kubu Ancol di depan pengadilan dan dikeluarkannya keputusan untuk mengesahkan kepengurusan Bali oleh Menkumham menjadi titik tolak bangkitnya Partai Golkar. Sebetulnya bisa saja kubu Bali tidak perlu menggelar Munaslub dan tetap melanjutkan masa kepemimpinan Ical. Namun Ical begitu legowo untuk menggelar Munaslub dan terselenggaralah Munaslub yang baru berakhir di Bali yang menetapkan Setya Novanto menjadi Ketua Umum setelah melalui fase yang panjang, menegangkan, dan menguras biaya serta energi.

Dari ini lah kita bisa memetik pembelajaran berbangsa dan bernegara menjadi penting dari Partai Golkar yaitu :

  • Jiwa kenegarawanan dari beberapa kader Partai Golkar patut dicontoh dan diteladani. Jiwa ini sudah mulai luntur pada diri anak bangsa terutama pada calon pemimpin dan pemimpin bangsa itu sendiri. Salut untuk Aburizal Bakri, Ade Komarudin, Aziz Syamsudin, Syahrul Yasin Limpo dan lain-lain.
  • Silaturrahim, pertemanan dan persahabatan melebihi segalanya. Hal ini merontokkan adagium politik bahwa “tidak ada kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi”. Partai Golkar membantah dan memberikan contoh yang tegas dan elegan bahwa silaturrahim, pertemanan dan persahabatan bisa abadi.  Dengan elegan seorang Ical dan Agung Laksono tidak mencalonkan diri untuk menjadi Ketua Umum. Ade Komarudin yang memiliki kesempatan untuk masuk kedalam pemilihan tahap kedua langsung menyerahkan suaranya dan mendukung Setya Novanto. Tidak boleh juga dilupakan jasa Gubernur Syahril Yasin Limpo yang bermanuver “menyelamatkan” Partai Golkar.
  • Keinginan membesarkan partai untuk memajukan bangsa. Hampir seluruh visi-misi yang disampaikan didalam debat kandidat yang disiarkan secara live oleh salah satu stasiun televisi swasta itu kalau dirangkum menjadi satu bisa menjadi flatform membangun Bangsa Indonesia. Sumbangan pemikiran dari para calon Ketum Partai Golkar itu bila disatukan dan  bisa menjadi energi pembeda dalam bingkai persatuan dan kesatuan yang ber-Bineka Tunggal Ika Negara Kesatuan Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun