Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nestapa di Hari Pendidikan Nasional

4 Mei 2016   13:27 Diperbarui: 4 Mei 2016   13:37 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi : lagi.com

BY. Fikri Jamil Lubay

Nestapa di Hari Pendidikan Nasional”, mungkin itu adalah kata dan kalimat yang cocok sekaligus juga mungkin pas untuk melukiskan kejiadian yang berjadi bersamaan dengan perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2016 ini yang bertemakan “Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-Cita”. 

Salah satu sub tema Hari Pendidikan Nasional ini adalah “Semua Murid, Semua Guru”, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Anies Baswedan pada saat menjadi co-host di salah satu televisi swasta saat mewawancarai Najeela Sihab pada hari Senin malam, tanggal 2 Mei 2014, turut menyesuaikan isi sambutannya terkait dengan hari pendidikan yang mengutamakan : (1) Pentingnya Kualitas Manusia; serta (2) Ketrampilan yang utuh dan melekat yang meliputi : karakter, literasi dan kompetensi.

Pendidikan tanpa batas yang tergambar dalam wawancara itu sebetulnya cukup mewakili kegundahan banyak khalayak yang mengaku berbudaya sebagai mana pondasi mental yang coba dibangun oleh Ki Hajar Dewantara dan teman-teman dengan tiga semangatnya yang terkenal itu : (1) Ing Ngarsa Sung Tuladha, (2) Ing Madya Mangun Karsa; dan (3) Tut Wuri Handayani. Tiga semangat itu dititipkan betul oleh para pendiri bangsa dengan harapan generasi selanjutnya seperti kita dapat belajar menjadi cerdas, menciptakan generasi emas dan membangun dengan baik sejarah dan peradaban bangsa sebagaimana yang mereka lakukan dulu.

ki-hajar-klikkabar-com-5729957eae7a613c05e06947.jpg
ki-hajar-klikkabar-com-5729957eae7a613c05e06947.jpg
ilustrasi :klikkabar.com

Guru sebagai mana juga yang sering disampaikan selama ini merupakan orang yang patut digugu dan ditiru adalah peletak dasar kehidupan selanjutnya setelah anak-anak kita ke luar dari rumah masing-masing untuk mendapatkan pendidikan barkarakter dan berbudaya dengan harapan mereka menjadi orang yang mampu menjaga dan mengemban titipan itu untuk generasi emas berikutnya.

Pembentukan karakter anak diusia perkembangannya sebagai “raja” (0-7 tahun) yang merupakan usia emas selanjutnya untuk mendidik karakter berkualitas lebih mendalam dan membangun jiwa. Si anak yang baru masuk lingkungan sekolah sudah barang tentu ketemu sang idola baru yaitu “guru”. Si anak akan selalu menyebut dan mencontoh apa saja yang dilakukan oleh guru. Guru yang baik sudah barang tentu juga akan menjadi figur yang baik dan menjadi teladan. Sering kali pada saat itu orang tua menjadi terheran-heran karena kepatuhan si anak terhadap guru terkadang berlebihan. Karena itu lah kelaziman, kepatutan dan kesesuaian zamannya.

Memasuki masa SMA, si Anak telah menjadi remaja dan si anak pun akan hidup berkoloni alias berkelompok. Teman-teman se-group akan menjadi modal atau basis dalam pergaulan. Remaja yang tidak berkelompok biasanya akan dianggap aneh. Mulai timbul perilaku remaja yang terkadang berlebihan (bizzare) dari si anak karena “amanat” yang diemban dalam kehidupan berkelompok. Si anak yang sudah remaja ini terkadang mulai tidak hanya tidak patuh dengan orang tuanya tetapi juga mulai tidak patuh dengan sang pendidik yaitu “guru”.

Pada saat remaja inilah mereka mulai memetakan kehidupannya itu apakah harus berkelompok atau malah hidup solitaire (menyendiri). Tapi kalau remaja itu menyendiri, maka biasanya label yang diberikan terkadang begitu kejam dan terkesan menghakimi. Kata-kata seperti “kampungan”, “kurang gaul” atau bahkan “tidak gaul”, kemudian dikucilkan dari komunitas sekolah, kelompok bermain dan lain-lain. Remaja ini umumnya akan menjadi tidak percaya diri dan miss-figured.

Nah... disinilah peran guru dan orang tua seharusnya  menjadi dominan. Figur yang kuat tetap akan dipercaya oleh remaja. Mereka tetap akan disegani dan menjadi “perbincangan” hangat diantara kelompok para remaja. Mereka tetap akan meng-idola-kan para figur yang disegani itu.

Ternyata... betapa pun itu tetap terjadi juga “duka dan sekaligus nestapa” di hari pendidikan nasional tahun ini. Membaca berita headline dibeberapa media baik online maupun cetak, baik nasional maupun lokal, baik media yang populer maupun tidak, semua menulis dengan besar sebuah topik berita “MAHASISWA UMSU MENGHABISI DOSENNYA DI TOILET”, dan disaat yang bersamaan juga “SEORANG MAHASISWI TEWAS MENGENASKAN DISALAH SATU TOILET DIKAMPUS TERKENAL DI JOGJA”.

Tempo.co, Senin 2 Mei 2016 menyebutkan bahwa Roymardo Sah Siregar, merupakan  mahasiswa semester akhir FKIP UMSU yang melakukan pembunuhan keji terhadap dosennya sendiri Nur Ain Lubis. Nur Ain Lubis merupakan Dosen di Fakultas “Keguruan” dan “Ilmu Pendidikan” (FKIP) UMSU Medan. Sedangkan Roymardo Sah Siregar adalah calon guru PKN. Ingat bahwa PKN itu lah nanti yang akan mengajarkan budi pekerti, karakter, mental, wawasan kebangsaan, toleransi dan lain-lain.

nestapa-1-572995d8b47a61ea07a77f6f.jpg
nestapa-1-572995d8b47a61ea07a77f6f.jpg
ilustrasi : medanketemuberita.com dan okeku.com

Pertanyaannya adalah mengapa harus Dosen dan mengapa juga harus mahasiswa yang “dibunuh”..? mengapa juga harus di toilet...?. Mereka semua mati sia-sia.  “apa yang salah dengan sistem pendidikan kita..?” dan siapa yang salah...?.

Mana jargon “semua murid, semua guru... Mr. Anies? Oh iya pada lupa...Mr. Anies kan bukan Menristek Dikti.... hehe... (mohon maaf...).

Namun,  menilik pernyataan Menteri Anies Baswedan “semua murid, semua guru”, maka tidak perlu dicari lagi siapa yang salah dan siapa yang benar. Kasus Pidana terus sajalah bergulir dan para pelaku harus dihukum sesuai dengan perbuatannya. Namun yang terpenting apa yang harus dilakukan setelah itu...? apa yang harus dibenahi...? dan yang terpenting juga adalah Hari Pendidikan Nasional itu Merefleksikan apa...?

Gaung HARDIKNAS yang tahun ini dirancang sedemikian rupa dengan harapan tidak melupakan momen yang terjadi sebagai sebuah sejarah. Sayang sejarah itu tidak pernah difikirkan matang atau bahkan cenderung kelam. Sepertinya HARDIKNAS dari tahun ke tahun hanyalah menjadi acara seremonial  saja dan terkesan melepas kewajiban prototipe saja. Kewajiban “ragawi” yang tidak menyentuh akar persoalannya yaitu “kualitas manusianya”.

Disisi lain, penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang selalu naik dan terasa amat mahal terutama diperguruan tinggi terkemuka menjadi masalah tersendiri. Pendidikan menjadi mahal dan menjadi tidak linier dengan pengembangan pengajaran dan pendidikan yang berbasis budaya yang mengutamakan nilai-nilai etika dan moralitas. Seharusnya inilah yang menjadi akar revolusi mental yang pada saat ini sepertinya terkesan hanya sebagai basa-basi politik saja.

Pendidikan murah menjadi naif. Institusi pendidikan terhormat hanya menjadi milik kalangan tertentu dan berduit saja. Kalau pun ada orang miskin yang berhasil menembus dan mengaksesnya, tentu kalau mau jujur tidak lebih dari 10 persen dari jumlah mahasiswa. Angka yang hampir sepuluh persen itu lah yang selama ini dihembuskan dan di blow-up serta dibesar-besarkan sebagai keberpihakan negara terhadap pengembangan pendidikan dan pengajaran bermutu kalau tidak mau dibilang pencitraan.

Nggak percaya, coba lihat dan tanya berapa biaya total mau jadi dokter umum apalagi dokter spesialis...?  Angkanya pasti ratusan juta atau bahkan malah milyaran rupiah harus disiapkan hanya untuk mendidik anak negeri menjadi dokter.  Akibatnya bisa dibayangkan, setelah mereka lulus, nuraninya pasti terketuk untuk mengembalikan uang kuliahnya dulu. 

Biaya berobat semakin mahal, siapa bilang semakin murah dan terjangkau.  Rakyat miskin yang mendapatkan asuransi melalui BPJS pun hanya mendapatkan pelayanan basa-basi juga. Masalah pelayanan kesehatan menjadi menumpuk. Dimana sumber utamanya..? jawabannya berpangkal dan bermula dari “institusi pendidikan”.

Nestapa di hari pendidikan nasional juga semakin menjadi, isu lama yang selalu berhembus yaitu “kesejahteraan tenaga pendidik” baik itu guru maupun dosen. Rasa-rasanya dulu semua kita kenal lagu lama yaitu “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Uniknya dizamannya lagu itu benar-benar dihayati. Atau sebuah lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals yang melegenda itu “Oemar Bakri”.

Dulu tidak ada guru yang cemburu kalau anak didiknya “berhasil”  dan “jadi orang”. Para guru pasti haru dan bangga mendengar muridnya sukses bahkan sering menjadikan bahan ceritanya di sekolah untuk contoh para junior-nya. Dan si murid pun biasanya “tahu diri” dengan tetap berkunjung dan bersujud dengan para gurunya. Perlakuannya biasanya sama dengan orang tuanya.

Sekarang, tunjangan sertifikasi, tunjangan guru, tunjangan dosen, dan lain-lain berbagai tunjangan lainnya, tetap terasa belum cukup dan memadai. Ternayata sepertinya para guru dan pendidik tidak pernah menyepakati arti perbedaan antara “keinginan” dengan “kebutuhan”. Aslinya adalah “GURU ADALAH MANUSIA”. Mereka juga butuh hidup layak dan sama dengan manusia lainnya.

Tidak ada lagi “pahlawan tanpa tanda jasa” dan tidak ada lagi “Oemar Bakri” yang selalu melegenda. Bahkan terkadang sang murid juga sering lupa siapa guru kimianya. Bahkan ada beberapa lulusan perguruan tinggi tidak pernah paham dan tahu siapa dosen yang mengajar serta mata kuliah apa yang pernah diambilnya di perguruan tinggi tersebut. Memalukan sekaligus menggelikan.

Mereka ini lah yang jadi pejabat publik dan melayani masyarakat yang ber-evolusi mental. Masyarakat pun ribut..., padahal mereka juga lah salah satu yang menjadi penyebabnya.  Kasus Nur Ain Lubis yang dibunuh oleh Mahasisanya sendiri yang kemungkinan bermotif sepele seperti  masalah diberi nilai buruk untuk salah satu mata kuliahnya (Sumatra Ekpres, 3 Mei 2016). Sang Dosen yang dikenal disiplin itu harus ditebas sedemikian rupa seperti meninggalkan dan menanggalkan peradaban kekinian yanhg katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral, berkarakter dan berbudaya. Kalau sudah begitu..”apanya yang berkarakter dan berbudaya”.

Sudah saatnya para guru kembali ber-“nurani” dan menjadi “Oemar Bakri” masa kini, biar bisa digugu dan ditiru. Walaupun kesejahteraannya tetap tidak boleh diabaikan, karena kita juga mafhum mereka juga manusia biasa. Terpenting adalah pendidikan dan pengajaran harus kembali ke khittah seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara : Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani. Cukup lah nestapa berakhir di hari pendidikan nasional tahun ini. Tahun depan pasti datang dan kita sambut dengan semangat menantang dan membentang harapan dengan kalimat “jangan sekali-kali melupakan sejarah”.

Di akhir tulisan ini, insya allah mungkin ini bisa jadi renungan untuk para guru. Yang perlu diingat lirik lagu dari Sartono ini mudah-mudahan bisa kembali menggugah  lagi :

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

---bangsa yang besar, bangsa yang menjadikan agama, pendidikan dan kebudayaan sebagai pondasi---

***fikrijamillubay, Mei 2016***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun